Sampai hari ini, sarana
transportasi di Indonesia masih memiliki banyak ‘pekerjaan rumah’ yang tidak
mudah. Faktor kenyamanan dan kemudahan masih menjadi tuntutan yang masih belum
bisa terpenuhi sepenuhnya di berbagai pilihan sarana transportasi yang ada.
Seperti halnya sarana transportasi darat. Rendahnya kualitas transportasi di
Indonesia ditandai dengan timbulnya masalah-masalah transportasi yang saling
mempengaruhi satu sama lain. Faktor-faktor penyebab rendahnya kualitas
transportasi di Indonesia juga disebabkan oleh berbagai hal dan masalah lain
yang cukup kompleks, diantaranya :
- Dana pengadaan atau peremajaan fasilitas transportasi yang tidak mencukupi.
- Kurangnya pengawasan dari pemerintah atau pihak yang terkait.
- Kurangnya kesadaran masyarakat untuk ikut menjaga fasilitas serta sarana dan prasarana transportasi.
- Kurangnya rasa disiplin dalam diri masyarakat itu sendiri.
Blue Bird, armada taksi yang sangat populer
di Indonesia. Blue Bird hadir dengan memberikan karakter pelayanan yang khas.
Armada taksi dengan simbol ‘burung biru’ ini merupakan salah satu jasa
transportasi yang mengedepankan kepuasan dan kenyamanan pelanggan. Kualitas
prima yang diperlihatkan Blue Bird menjadikan armada taksi ini menempati
peringkat teratas dari armada taksi yang ada di Indonesia.
Kesuksesan
Blue Bird tidak diperoleh dengan mudah atau dalam hitungan waktu yang singkat.
Kita tidak hanya melihat bagaimana sebuah perusahaan transportasi taksi dibangun. Namun, lebih dari itu. Blue
Bird kini adalah akumulasi dari perjuangan, tekad, keteguhan dalam menjaga
prinsip dan mempertahankan idealisme, hingga usaha armada taksi ini tumbuh dan
berkembang dikelilingi oleh nilai-nilai yang baik.
Bu Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono |
Keteguhan dan Kekuatan Hati Seorang Ibu
Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono, nama
lengkap sosok perempuan tangguh itu. Bu Djoko, demikian ia akrab dipanggil.
Rasa sedih dan kehilangan yang sangat mendalam ia rasakan saat suaminya
tercinta kembali ke pangkuan Yang Maha Esa. Prof. Djokosoetono, S.H., beliau
mengembuskan nafas terakhirnya tanggal 6 September 1965. Bu Djoko seperti
kehilangan separuh dirinya. Namun, hati perempuan itu sangat kuat, meskipun
kesunyian terasa sangat menyayat sepeninggal suaminya. Ia pun bertekad untuk
membesarkan ketiga anaknya dengan penuh semangat. Bu Djoko adalah sosok
perempuan yang aktif, dinamis, dan penuh dengan ide-ide baru.
Keluarga
mereka hidup dengan sederhana. Meskipun suami Bu Djoko memiliki jabatan yang
sangat terhormat, yakni Gubernur PTIK dan PTHM. Terakhir, Pak Djoko menjadi
penasihat hukum Presiden RI, Ir. Soekarno. Pak Djoko juga memegang peranan
penting dalam pengambilalihan Universitas Indonesia dari tangan Belanda. Dan
sepeninggal Pak Djoko, Bu Djoko harus menjadi orang tua tunggal untuk Chanda
Suharto, Mintarsih Lestiani, dan Purnomo Prawiro. Bagi Bu Djoko, ketiga anaknya
itu adalah poros semangat yang habis-habis memberikannya kekuatan. Waktu itu,
Chandra dan Mintarsih telah kuliah, Purnomo masih duduk di bangku SMA.
Sosok
perempuan yang lahir di Malang, 17 Oktober 1921 itu sudah terbiasa hidup
sederhana sejak kecil. Ia terlahir dari orang tua yang kaya raya. Namun, saat
ia berusia 5 tahun, orang tuanya bangkrut. Sampai makan untuk keluarga saja tak
pernah cukup. Bu Djoko kecil pun mulai akrab dengan kehidupan yang serba sulit.
Bu Djoko tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang penuh semangat untuk mengejar
cita-citanya. Karena kekayaan materi tidak dimilikinya, ia bertekad memperkaya
diri dengan ilmu dan kepandaian.
Bu Djoko remaja sangat suka
membaca buku-buku inspiratif yang diperoleh dengan meminjam. Salah satu kisah
legendaris yang selalu menghiburnya adalah kisah “Si Burung Biru” atau “Bird of
Happiness.” Bagi Bu Djoko, kisah Si Burung Biru bisa jadi pembakar semangat,
penabur inspirasi, dan pemacu cita-cita dalam dirinya.
Sekilas
tentang “Bird of Happiness”
Sebuah kisah mengharukan tentang gadis cilik yang miskin dan hidup dalam penderitaan.
Tapi, ia senantiasa bersemangat dengan harapan yang berkobar dan pikiran yang
positif. Tak pernah bosan ia berdoa meminta petunjuk untuk mendapatkan
kehidupan yang lebih baik. Sampai suatu ketika ia bermimpi. Dalam mimpinya itu,
si gadis cilik yang miskin itu diperintahkan untuk mencari burung biru. Burung
biru yang dipercaya dapat membawa kehidupannya menjadi lebih bahagia. Burung
biru itu terletak di tempat yang jauh dan sulit dicapai. Banyak sekali
tantangan dan perjalanan yang panjang untuk menemukannya.
Si
gadis cilik segera melakukan perintah itu. Ia melakukan perjalanan panjang yang
penuh dengan kesulitan. Ia mengikuti petunjuk dalam mimpinya. Begitu banyak
alasan untuk membuatnya berhenti dan menyerah. Tapi, ia tidak menyerah dan
tidak pernah putus asa. Hingga akhirnya, di ujung perjalanan, gadis kecil itu
menemukan burung biru seperti yang ada di dalam mimpinya. Perjalanan panjang
dan berat itu berubah menjadi kebahagiaan yang tak terkira bagi si gadis kecil.
Itulah kisah “Si Burung Biru” yang
legendaris dan kemudian difilmkan di Hollywood, gadis kecil diperankan oleh Shirley Temple dan menjadi box office di tahun 50-an.
Kisah
“Si Burung Biru” itu begitu meresap ke sanubari Bu Djoko. Dari kisah itu, Bu
Djoko meyakini bahwa kemiskinan tidak akan abadi melekat dalam kehidupan
manusia jika ada usaha dan keyakinan untuk keluar dari kondisi itu.
Jejak-jejak Perjuangan Bu Djoko
Lembaran demi lembaran
kisah pun bergulir…
Saat Pak Djoko masih hidup,
Bu Djoko tidak pernah gengsi juga tidak pernah terbersit rasa malu dalam
dirinya untuk berjualan batik door to
door. Bu Djoko tidak takut
direndahkan oleh sesama istri pejabat tinggi. Ia lakukan itu semua murni
sebagai kepedulian istri untuk membantu suami mencari nafkah. Ketiga anak Bu
Djoko pun telah terbiasa hidup sederhana, bersabar menghadapi kesulitan hidup,
dan mandiri. Setelah bisnis berjualan batik berhenti, Bu Djoko beralih ke
bisnis berjualan telur. Waktu itu, jualannya Bu Djoko sangat laris manis. Rumah
mereka di Jalan HOS Cokroaminoto penuh dengan telur-telur dagangan Bu Djoko.
Hingga akhirnya Pak Djoko meninggal dunia. Meski kesedihan menyergap hatinya,
namun bisnis yang sudah berjalan itu tetap ia kelola dengan baik. Bahkan muncul
ide-ide bisnis baru.
Kala itu, keluarga Bu Djoko
mendapatkan hadiah dari pemerintah dua buah mobil sedan. Bu Djoko berkata
kepada Chandra, Mintarsih, dan Purnomo kalau akan menjadikan dua buah sedan
–Opel dan Mercedes- itu sebagai… TAKSI.
Bu Djoko lalu
mengkhayalkan, taksinya nanti akan menjadi angkutan yang sangat dicintai oleh
penumpangnya. Orang-orang akan merindukan naik taksinya karena perasaan aman,
nyaman, dan senang karena kondisi taksi yang prima.
Inilah fase yang sangat
penting dalam sejarah kelahiran Blue Bird. Yakni, ketika Bu Djoko mantap
memulai bisnis taksi dalam rancangan idealisme yang ia buat. Walau di
hadapannya hanya ada dua mobil saja, tapi Bu Djoko mampu berpikir visioner,
jauh ke depan. Bayangan indah tentang sebuah perusahaan taksi di masa depan
sudah tergambar jelas di benaknya.
Bu Djoko lalu menyusun
semua konsep dan rancangan untuk perusahaan taksinya. Ia mengandaikan dirinya
sebagai penumpang. Jadi, taksi yang akan ia operasikan nanti harus memiliki
nilai kenyamanan, keamanan, dan kepastian. Sedangkan jantung dari usahanya itu
terletak pada pelayanan. Selain sukses melayani penumpang, agar bisnisnya nanti
mendulang keuntungan maka harus dibuat manajemen yang rapi, seperti perhitungan
yang cermat untuk pengeluaran bensin, komisi pengemudi, dan bengkel. Begitulah,
konsep sederhana dari perempuan dengan semangat baja itu. Bu Djoko pun akan
memperlakukan para karyawannya nanti seperti keluarganya sendiri. Bu Djoko
yakin, bisnis taksinya akan berumur panjang juga berkembang besar.
Awalnya, Chandra –si
sulung- mendapatkan kepercayaan untuk mengelola langsung bagian operasional,
dengan bimbingan Bu Djoko. Di Jakarta, bisnis taksi gelap –berplat hitam- sudah
merebak. Chandra dan Purnomo pun selalu siap menarik taksi bila mereka tidak
kuliah. Taksi milik Bu Djoko pun terkenal dengan sebutan Taksi Chandra.
Bisnis taksi ini pun
berkembang pesat, Taksi Chandra memiliki banyak pelanggan. Bu Djoko akhirnya
menambah armada taksi dan merekrut pengemudi dan karyawan.
Banyak pengalaman menarik
yang manusiawi selama menjalankan bisnis Taksi Chandra pada tahun pertama.
Pernah usai menarik taksi hingga tengah malam, Purnomo dengan letih menemui
ibunya. Ada dompet penumpang yang tertinggal di jok belakang taksi. Bu Djoko
pun menyuruh Purnomo untuk mengantarkan dompet itu ke sang pemilik. Hingga
akhirnya, sang pemilik dompet itu merasa sangat terharu dengan apa yang
dilakukan oleh Purnomo. Dari peristiwa itu, Purnomo sendiri belajar tentang kepercayaan, kejujuran, dan ketulusan.
Tiga poin penting yang selalu Bu Djoko ajarkan.
Perjuangan Mendapatkan Lisensi
Pengalaman yang diperoleh
keluarga Bu Djoko selama menjalankan taksi gelap menghasilkan banyak “ide-ide
berharga”. Idealisme yang kuat, konsep manajemen, sistem, pengelolaan karyawan,
dan penguasaan medan, ditambah dengan ‘jam terbang’ dalam mengatasi situasi
sulit adalah simpul-simpul kekuatan yang akhirnya melahirkan “BLUE BIRD”.
Memasuki tahun 1971, Bu
Djoko mulai mengupayakan surat izin operasional untuk Taksi Chandra. Namun, ia
ditolak oleh pejabat DLLAJR. Bu Djoko dianggap tak layak mengajukan surat izin
bisnis taksi karena tidak memiliki pengalaman yang memadai. Bu Djoko dan
keluarganya kecewa. Namun, hari itu saja mereka kecewa. Esoknya, bisnis Taksi
Chandra tetap berjalan dan upaya untuk memperoleh surat izin tetap Bu Djoko
perjuangkan. Berkali-kali Bu Djoko ke kantor DLLAJR, tapi tetap ditolak. Alasan
penolakan kesekian kalinya yang sangat menyakitkan hati Bu Djoko adalah karena
Bu Djoko itu perempuan dan perusahaan angkutan adalah dunia laki-laki. Namun,
Bu Djoko tetap tegar dan tak gentar.
Sampai akhirnya, Bu Djoko
mendapatkan ide untuk mengumpulkan komentar dan tanda tangan dari orang-orang
yang merasa bahwa Taksi Chandra adalah taksi yang baik dan berkualitas. Bu
Djoko juga mengajak para janda pahlawan untuk bersama-sama menyerukan petisi
kemampuan perempuan dalam memimpin usaha. Mereka mendatangi kantor Gubernur dan
menghadap langsung Ali Sadikin. Hingga akhirnya, Ali Sadikin memberikan izin
usaha untuk mengoperasikan taksi.
Tanggal 1 Oktober 1971,
kegembiraan menyeruak di rumah Jalan HOS Cokroaminoro nomor 107. Ada surat dari
DLLAJR. Isinya, Bu Djoko atas nama PT Sewindu Taksi akhirnya memperoleh izin
operasional. Kesabaran keluarga Bu Djoko membuahkan hasil baik. PT Sewindu
Taksi itulah yang merupakan cikal bakal PT Blue Bird di masa mendatang.
Lahirnya Blue Bird
Bu
Djoko pun memberikan ide nama taksi mereka “Blue Bird” dengan warna biru
sebagai nuansa logo dan badan taksi mereka. Biru dinilai sebagai warna yang
jernih, sejuk, dan mencerminkan energi. Logo Blue Bird dibuat oleh Pak Hartono
–pematung asal Yogyakarta-, berbentuk siluet burung berwarna biru tua yang
sedang melesat. Logo ini seperti menggambarkan cita-cita yang diilhami dari
kisah “The Bird of Happiness”.
Tanggal
1 Mei 1972, jalan-jalan di Jakarta mulai diwarnai taksi-taksi berwarna biru
dengan logo burung yang tengah terbang melesat. Blue Bird semakin berkembang
ketika diberlakukan alat dan pencatat tarif, argometer. Bisa dibilang tahun
1970-an itu merupakan masa penggodokan idealisme Blue Bird.
Setelah
sukses mengalirkan nafas perjuangan dan idealisme pada ketiga anaknya, Bu Djoko
juga berhasil menularkan semangat pada cucu-cucunya. Semua cucunya, dengan
pengabdian yang tinggi, turut andil dalam membesarkan perusahaan yang dirintis
sang nenek.
Setelah
perjuangan berat di era 70-an dan 80-an, maka era 90-an memberikan Blue Bir
Group buah yang manis. Kemajuan demi kemajuan tak terbendung lagi di tubuh Blue
Bird. Manajemen yang rapi, idealisme yang dijaga ketat, pengaturan finansial
yang sangat matang, dan strategi ekspansi yang arif, membuat perkembangan Blue
Bird semakin pesat.
Di
era 90-an, jumlah taksi mencapai hampir 5.000 mobil. Jumlah pool terus
bertambah. Blue Bird juga telah berkembang di sejumlah provinsi di Indonesia.
Gedung kantor pusat dengan megah berdiri di Jalan Mampang Prapatan, diresmikan
tahun 1991. Sebuah inovasi baru dimunculkan oleh Blue Bird Group dengan
peluncuran Silver Bird, executive taxi pada tahun 1993. Taksi kelas eksekutif
dengan tarif yang lebih tinggi dibandingkan Blue Bird.
Tanggal 1 Mei 1997, Blue Bird juga meresmikan
kelahiran Pusaka Group yang kemudian dikelola oleh cucu-cucu Bu Djoko.
Pengelolaan Pusaka Group sama dengan Blue Bird dari sisi kualitas. Setelah
Silver Bird ada inovasi baru dengan peluncuran Golden Bird. Beberapa tahun
kemudian, logo seluruh anak perusahaan di Blue Bird Group dibentuk lebih
seragam untuk menunjukkan visi dan semangat yang sama. Hanya warnanya yang
berbeda, Golden Bird memakai warna gold. Silver Bird, warna silver. Big Bird,
warna hijau. Dan Iron Bird, warna tembaga.
Noni
Purnomo –cucu Bu Djoko- sejak tahun 1997 mulai menggagas SOP dan pembaruan
dalam keseluruhan sistem kerja Blue Bird Group. Selain itu, dengan kemajuan
teknologi, Blue Bird Group pun mulai mengenalkan budaya baru, budaya kerja
berteknologi modern dengan kekayaan filosofi dari masa lalu. Blue Bird Group
terus terbang melesat meraih kesuksesan demi kesuksesan dengan perjuangan
orang-orang luar biasa di dalamnya.
Armada Blue Bird Group |
“Orang
yang berada dalam kondisi sulit atau diadang ujian berat adalah orang-orang
terhormat yang dipercaya Tuhan untuk belajar survive, untuk ditempa. Mereka
dilatih untuk mencari jalan keluar dan terlepas dari kesulitan.
Orang-orang
seperti itu akan mengisi hidupnya dengan terus berusaha, mereka memiliki
kapasitas besar untuk menjadi sukses.”
[Bu
Djoko]
Film Sejarah Blue Bird :
Sang Burung Biru, Alberthiene Endah
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.
Salam,
Keisya Avicenna