Sebenarnya saya tidak ingin
mengenangnya lagi. Tapi tak apalah, semoga tulisan ini bisa jadi katarsis
sekaligus dokumentasi tersendiri. Dan cerita pun dimulai…
Dua hari sebelum OSPEK (tepatnya hari
Sabtu), saya kembali belajar naik motor sama Mas Dodoy dengan si Vega Merah.
Waktu itu saya sudah lumayan lancar keliling kampung. Saya yang mengendarai di
depan dan Mas Dodoy mbonceng di belakang. Laju motor saya sudah cukup stabil,
Mas Dodoy sudah tidak lagi membantu saya memegangi stang sepeda.
Ngeng…
Ngeeeng…
Senang rasanya sudah mulai lancar naik
motor. Dalam hati sih yakin, kalau sering naik motor pasti lama-lama akan
lancar dan berani mengendarai di jalan raya.
Saat putaran ke sekian kalinya,
sampailah saya di belokan jalan yang aspalannya masih baru. Tiba-tiba…
sreeeeeeeeeeeeet, saya panik karena banyak kerikil kecil, jalanannya jadi
licin. Karena kaget, entah kenapa yang saya lakukan bukan ngerem motornya tapi
malah nge-gas. Alhasil saya tidak bisa mengendalikan si Vega Merah dan nyungsep
ke depan. Mas Dodoy jatuh dan lututnya lecet-lecet. Lalu apa yang terjadi
dengan saya? Saya pun menangis karena dari mulut banyak keluar cairan merah.
Ya, darah mengucur deras.Ternyata gigi kelinci saya patah. Mas Dodoy langsung
memeluk saya dan orang-orang yang ada di sekitar situ langsung mengerubuti
kami. Saya sempat diberi minum air putih.
“Mas, gigi Dik Nung hilang satu, hiks…
hiks…” saya baru sadar kalau gigi kelinci saya yang satunya hilang sampai
akar-akarnya dan yang satunya patah separo. Yang hilang sampai akar-akarnya itu
ketemu, yang hilang separo ngilunya luar biasa. Dahi saya juga berdarah-darah.
Benturan tadi cukup keras ternyata. Hiks… hiks…
Saya pun pulang ke rumah dibonceng Mas
Dodoy. Sampai di rumah, semuanya kaget dan syok melihat kondisi saya. Babe aja
hampir pingsan. Ibuk lalu membersihkan luka di dahi dan menyuruh saya
kumur-kumur dengan air hangat. Lalu, Mas Dodoy mengantarkan saya ke UGD RSUD
Wonogiri. Dahi saya pun dijahit. Perih sekali rasanya. Untuk luka di gigi, saya
dapat obat nyeri dan rencananya setelah OSPEK baru akan saya periksakan ke
dokter gigi.
Hari Minggunya saya tetap ke Solo. Hari
Senin saya tetap PD mengikuti kegiatan OSPEK meskipun dengan kondisi ‘gigi
kelinci ompong separo’. Saya tetap PD aja waktu harus ke depan kelas
memperkenalkan diri, ngobrol dengan teman-teman. Memang sih banyak yang
bertanya saya kenapa karena di dahi ada perban yang cukup besar. Tapi, saya
sangat bersyukur luka akibat jatuh dari motor itu tidak terlalu parah. Meskipun
pada akhirnya saya harus kehilangan dua gigi kelinci asli ciptaan Allah SWT
itu. Setelah ke dokter gigi, beliau menyarankan agar yang patah separo dicabut
saja sekalian karena bisa infeksi dan bikin ngilu. Saya pun nurut saja dan
dokter membuatkan saya gigi kelinci palsu lengkap dengan langit-langit dan
kawat yang dikaitkan di gigi-gigi tepi kanan dan kiri. Untuk menunggu cetakan
gigi kelinci palsu itu jadi, butuh waktu sekitar seminggu. Jadi saya sempat
kemana-mana pakai masker. Hihihi.
Nah, itu cerita saya. Tragedi yang
bikin saya jadi ngeri untuk naik sepeda motor. Tapi sekarang, Alhamdulillah
kengerian itu saya coba untuk buang jauh-jauh. Dibantu suami, saya mencoba
untuk menyembuhkan diri dari trauma naik motor. Alhamdulillah, saya sudah
berani keliling kampus UNDIP, meskipun belum berani 100% untuk naik motor di
jalan raya yang ramai. Tapi, saya harus semangat, saya harus berani lagi naik
sepeda motor biar mobilitas semakin banyak. Memang sih, sampai sekarang pun ke
mana-mana saya lebih nyaman naik angkot oranye, naksi, atau mbonceng Macis.
Kengerian itu semoga cepat berlalu…
[Sabtu,
9 April 2016]
Day#13 One Day One Post
FUNBLOGGING
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.
Salam,
Keisya Avicenna