DRAMA SCHOOL FROM HOME
School from Home alias SFH
memang ada-ada saja dramanya. Mulai drama menyebalkan, melelahkan, sampai
menggemaskan. Semalam, aku mengalaminya.
Di tugas Zi, ada pertanyaan:
"Apa yang akan kamu lakukan
saat menemukan barang yang bukan milikmu?"
Kebanyakan anak-anak mungkin
akan menjawab, "mengembalikan pada pemiliknya."
Tahu jawaban Zi apa?
"Biarkan saja siapa tahu
pemiliknya datang."
Krik ... krik ....
Iya sih bener. Tapi kan ....
Saat diberi saran, dia
berpendapat,
"Di soal nggak ada
keterangan kita kenal orangnya, lho. Hayo gimana balikinnya? Kalau kita nggak
kenal, ya mending dibiarkan. Siapa tahu orangnya nyadar barangnya ilang, terus
langsung balik lagi."
Perdebatan pun berlangsung alot,
hingga akhirnya aku akali dengan memberinya beberapa skenario. Jadi jawabannya
nggak cuma satu karena dia tetap kekeuh dengan pendapat "biarkan saja
siapa tahu pemiliknya datang."
Akhirnya dia menjawab,
1. Biarkan saja siapa tahu
pemiliknya datang.
2. Dikembalikan ke pemiliknya
bila tahu.
3. Diberikan kepada guru bila di
sekolah.
MaasyaAllah
***
Zia dan jawaban cerdas plus kritis anak zaman now |
Gemeeees Masya Allah sama Zia, anaknya Mimi. Dulu ketemu pas masih bayi 5 hari sekarang sudah tumbuh jadi anak salihah cantik dan super cerdas. Siang ini sebelum posting tulisan di blog, aku sempat membaca postingan Mimi (Fissilmi Hamida) itu di FB. Hihi. Itu baru salah satu cuplikan drama pembelajaran di rumah. Masih buanyak drama lainnya saat pembelajaran daring yang pastinya seru abiz untuk dibahas.
***
Selalu ada hikmah di balik setiap musibah. Pandemi
Covid-19 memaksa kita untuk tetap tinggal di rumah. Pada situasi sekarang ini
telah terjadi perubahan mendasar salah satunya dalam dunia pendidikan.
Aktivitas orang tua dan anak menjadi satu di rumah. Sementara itu, pembelajaran
yang biasanya dijalani dengan bertatap muka kini melalui daring. Orang tua yang
biasanya berangkat kerja ke kantor sebagian juga menjalani kebijakan WFH (Work from Home).
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud),
Nadiem Makarim, memutuskan, seluruh proses pembelajaran anak usia sekolah
dilakukan melalui pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau daring selama masa darurat
Covid-19. Awalnya, banyak bersliweran di jagad
sosmed, bagaimana gagapnya para pendidik, stresnya orangtua yang mendampingi
anak-anaknya belajar di rumah, dan tentunya bagaimana siswa kebingungan
menghadapi tumpukan tugas yang aneh-aneh dari para pendidik yang sedang gagap.
Semuanya serba kompleks karena memang semua lini dituntut untuk segera
beradaptasi.
Memang tidak semua anak dapat menjalani
secara konsisten pembelajaran daring karena berbagai keterbatasan. Misalnya,
ketiadaan fasilitas gawai (ponsel, laptop, dan tablet), rendahnya pemahaman
tentang media digital, terbatasnya kemampuan membeli pulsa, dan keterbatasan
sinyal. Namun, hampir sebagian besar siswa telah merasakan pembelajaran daring
(dalam jaringan). Pembelajaran daring adalah pembelajaran yang dilakukan tanpa
melakukan tatap muka, tapi melalui platform yang telah tersedia.
Literasi Digital
Sebelum era pembelajaran jarak jauh
menggunakan sistem daring, banyak orang tua yang memiliki kekhawatiran ketika
anaknya memegang gawai. Kekhawatiran tersebut antara lain: anak akan kacanduan
gawai, main game online sampai lupa diri, bahkan berpotensi melihat konten
dewasa (pornografi) dan konten yang mengandung kekerasan. Kekhawatiran itu
semakin menjadi karena nyatanya memang ada anak-anak yang terjerumus dalam
penyalahgunaan gawai dan teknologi informasi tersebut, mereka lepas kontrol
atau bisa jadi karena tidak ada pengawasan dari orang dewasa di sekitarnya.
dulu dan sekarang. hehe |
Saat ini, anak-anak memanfaatkan gawai dan
akses internet untuk proses pembelajaran. Anak-anak mulai belajar bagaimana
memanfaatkan media sosial untuk tatap muka daring dengan guru sekaligus bersua
secara virtual dengan teman-temannya. Anak-anak juga mengasah keterampilan TIK
(teknologi informasi dan komunikasi)-nya mulai dari mengetik tugas dengan
Microsoft Word, membuat paparan dengan Power Point, membuat gambar atau poster,
membuat video pendek, dan keterampilan teknologi informasi lainnya.
Anak-anak juga belajar menggunakan surat
elektronik, mengunduh materi, memasukkan lampiran ke dalam surat elektronik,
dan memasukkan tugas ke dalam aplikasi tertentu. Mereka juga belajar mencari
informasi melalui dunia maya untuk menunjang pembelajaran.
Menurut Ibu Rita Pranawati, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI), pembelajaran
dengan teknologi informasi pada era Covid-19 ini merupakan proses literasi
digital yang tidak disadari banyak anak-anak kita. Selama ini proses literasi
digital berlangsung lambat dan parsial. Namun, hari-hari ini anak-anak
mengalami pembelajaran yang luar biasa untuk memahami apa itu gawai, bagaimana
pemanfaatan gawai dan teknologi informasi secara baik. Anak-anak juga belajar
bagaimana memanfaatkan media sosial dan aplikasi-aplikasi lain untuk mendukung
pembelajaran jarak jauh yang mereka jalani. Sebuah proses literasi digital yang
sangat luar biasa positif bagi anak-anak.
Masya Allah, keren sekali, ya. Jika kita
mampu memetik hikmah positif karena pandemi Corona yang mengharuskan sekolah
dari rumah. Demikian juga dengan kegiatan di DNA saya off kan sejak pertengahan
Maret dan pembelajaran pun kami laksanakan secara daring. Banyak sekali
perbedaan yang kami rasakan. Ya, anak-anak tentu saja kangen tatap muka,
belajar langsung di kelas DNA, bisa bebas membaca buku dan meminjam buku di
perpustakaan. Tapi untuk saat ini, sabar adalah kata kunci utama dan terus
berdoa semoga semua bisa kembali normal seperti sedia kala. Aamiin.
Peran Orang tua dan Guru dalam Pembelajaran
Daring
Guru memiliki fungsi yang penting agar anak
dapat mengatur dan mengelola diri dalam memanfaatkan gawai dan koneksi
internet. Guru memberikan tugas-tugas agar anak-anak dapat mengelola diri,
memanfaatkan gawai dan internet untuk mendukung pembelajaran jarak jauh. Guru
juga bertugas mengontrol aktivitas pembelajaran daring sekaligus memberikan
masukan agar siswa terus memanfaatkan gawai, aplikasi, dan koneksi internet
untuk mengembangkan pengetahuan.
Saat ini dengan sistem pembelajaran daring
membuat guru yang gagap teknologi “terpaksa” harus belajar dan beradaptasi
dengan banyak hal baru. Guru belajar untuk keluar dari zona nyaman dan harus
berusaha menjadi guru kreatif dengan memanfaatkan kemajuan teknologi.
Orang tua pun memiliki tanggung jawab untuk
mendampingi, memberikan masukan, dan mengawasi anak-anak dalam memanfaatkan
penggunaan gawai pada era pembelajaran daring ini. Orang tua perlu membuka
komunikasi yang produktif dan membangun keterbukaan agar anak dapat
menyeimbangkan belajar daring dan refreshing.
Hal itu mengingat anak mengakses internet di
rumah dan tidak jarang pula di tengah-tengah belajar atau sesudah belajar
anak-anak berselancar di dunia maya, bermain game, atau mengakses media sosial
lainnya. Orang tua perlu mendorong anak-anak agar dapat bertanggung jawab
terhadap pemanfaatan gawai untuk hal-hal yang produktif. Kemampuan mengatur
diri itu akan menjadi kecerdasan emosi anak untuk menghadapi era industri 4.0.
Selain itu, orang tua juga harus dapat memenuhi kebutuhan anak dengan menyiapkan camilan bergizi, makanan dan minuman sehat untuk menunjang aktivitas belajar anak-anak di rumah. Karena biasanya anak-anak jadi gampang lapar. Hehe.
Selain itu, orang tua juga harus dapat memenuhi kebutuhan anak dengan menyiapkan camilan bergizi, makanan dan minuman sehat untuk menunjang aktivitas belajar anak-anak di rumah. Karena biasanya anak-anak jadi gampang lapar. Hehe.
EPILOG
Prinsip pembelajaran daring harus selalu diselaraskan dengan 4 pilar pendidikan yang disusun oleh UNESCO, yaitu Learning to Know (belajar untuk mengetahui), Learning to Do (belajar untuk melakukan sesuatu), Learning to Be (belajar untuk menjadi sesuatu), dan Learning to Live Together (belajar untuk hidup bersama), maka saat ini adalah kesempatan paling tepat untuk mengatur ulang arah dunia pendidikan kita yang selama sudah tersesat jauh dari tujuan. Pada prinsipnya, belajar atau sekolah itu tidak hanya terbatas pada sekat-sekat ruang kelas saja.
Prinsip pembelajaran daring harus selalu diselaraskan dengan 4 pilar pendidikan yang disusun oleh UNESCO, yaitu Learning to Know (belajar untuk mengetahui), Learning to Do (belajar untuk melakukan sesuatu), Learning to Be (belajar untuk menjadi sesuatu), dan Learning to Live Together (belajar untuk hidup bersama), maka saat ini adalah kesempatan paling tepat untuk mengatur ulang arah dunia pendidikan kita yang selama sudah tersesat jauh dari tujuan. Pada prinsipnya, belajar atau sekolah itu tidak hanya terbatas pada sekat-sekat ruang kelas saja.
Dunia pendidikan harus kembali
mengajarkan cara belajar (Learning How to Learn), bukan Learning
What to Learn (belajar tentang sesuatu). Dengan adanya internet
peserta didik dapat belajar untuk tahu, belajar untuk melakukan, belajar untuk
menjadi sesuatu, dan belajar untuk hidup bersama dengan pendekatan yang sangat
berbeda di masa pra internet di mana guru menjadi satu-satunya sumber belajar.
Para pendidik cukup memfasilitasi bagaimana peserta didik dapat mencari tahu
sumber belajar yang dapat dipercaya, bukan hoax, dan bukan sekedar
opini seseorang yang kredibilitasnya masih diragukan.
Semoga dimudahkan semuanya
menjalani lika-liku pembelajaran di era Covid sekarang ini. Semoga Allah
senantiasa mudahkan,yang terpenting jangan pernah lupakan adab-adab dalam
belajar dan bermajelis ilmu. Semoga hari-hari kita senantiasa dalam payung
keberkahan. Aaamiin.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.
Salam,
Keisya Avicenna