Jejak Karya

Jejak Karya

Thursday, August 12, 2010

Pahala VS Dosa

Thursday, August 12, 2010 0 Comments
Samudera pahala bergelombang datang silih berganti, memecah tiap karang dosa yang telah mengeras... mari berlomba! karena setiap kita punya kesempatan untuk jadi pemenang di bulan nan mulia ini...
(Aisya Avicenna)

H-1 Ramadhan

Thursday, August 12, 2010 0 Comments
Detik-detik kedatangannya dan akan menjadi Ramadhan pertamaku di Jakarta. Moga full barokah dan penuh dengan kisah-kisah yang indah.. aamiin.. Marhaban Ya Ramadhan... Mohon maaf atas segala khilaf yaaa... ^^v

Aisya Avicenna

Saat Aisya Bertemu RI 23

Thursday, August 12, 2010 0 Comments


10 Agustus siang, suasana Direktorat Impor agak berbeda dari biasanya. Sekitar pukul 13.00, beberapa pejabat eselon I dan II bertandang untuk koordinasi singkat di ruang INSW yang biasa kami sebut “akuarium” (karena berupa ruangan kaca). Selang berapa lama, Bapak Wakil Menteri Perdagangan, Mahendra Siregar masuk ruang INSW. Beliau juga sempat berkeliling dan berfoto bersama kami. Setelah Pak Mahendra keluar dari Direktorat Impor, masuklah ibu Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu. Diskusi sebentar di ruang INSW lanjut beramah tamah dengan kami. Beliau menyampaikan permohonan kerja sama dan memberi motivasi agar kami lebih meningkatkan pelayanan khususnya di bidang perizinan impor. Sebelum beranjak pergi, sempat berfoto bersama juga dengan beliau. Kedatangan Pak Mahendra dan Bu Mari merupakan kelanjutan dari peluncuran layanan online INATRADE di Kemendag tadi pagi. Memang, kami di Direktorat Impor memang salah satu pihak yang berperan langsung dalam implementasi INATRADE ini. Berikut reportase lengkap mengenai peluncuran INATRADE di Kemendag**
Mendag Luncurkan Layanan Online INATRADE
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu didampingi Wamendag Mahendra Siregar dan Sekjen Ardiansyah Parman, pada tanggal 10 Agustus 2010 menggelar jumpa pers terkait Peluncuran Layanan Online INATRDE di Kantor Kementerian Perdagangan Jakarta.
Menteri Perdagangan pada kesempatan tersebut mengatakan bahwa sebagai salah satu pendukung sistem Indonesia National Single Window (NSW), INATRADE diharapkan menjadi ujung tombak sistem pelayanan perizinan perdagangan terpadu dari seluruh lini yang terkait dengan perizinan perdagangan nasional yang modern. Selain itu dengan dibukanya online INATRADE diharapkan dapat menghilangkan resiko data yang tidak akurat dalam layanan publik. Lebih lanjut dikatakan Mendag, bahwa hingga tahun 2014 sesuai dengan Rencana Strategis Kemendag, seluruh perizinan yang diterbitkan oleh Kemendag sudah dapat dilakukan secara online dan paperless sehingga diharapkan tidak ada lagi tatap muka antara pelaku usaha dengan pemroses perizinan.
Peluncuran Layanan Online INATRADE ditandai dengan penekanan tombol secara bersama-sama oleh Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar bersama Sekjen Ardiansyah Parman, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Subagyo, Kepala Bappebti Deddy Saleh dan Deputi Menko Perekonomian Bidang Perdagangan dan Industri, Edy Putra Irawady. Pada kesempatan tersebut juga disampaikan testimonial dari layanan perdagangan luar negeri oleh ADR Group Procurement Head PT. Selamat Sempurna Tbk., Ronald Boernardi, Testimonial dari layanan Bappebti oleh Direktur Utama PT. Solid Gold Berjangka, Iriawan Widadi dan testimonial dari layanan perdagangan dalam negeri oleh Regional Director ERA Commerce, Lukas Bong dan dilanjutkan dengan peninjauan Pusat Layanan Online INATRADE.
***
Implementasi Reformasi Birokrasi di Lingkungan Kemendag:
Mendag Luncurkan Layanan Online INATRADE
Jakarta, 10 Agustus 2010 – Sebagai bagian dari upaya meningkatkan pelayanan publik serta mengimplementasi program reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Perdagangan, Menteri Perdagangan diwakili oleh Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar, hari ini meluncurkan program unggulan (quick wins) layanan online INATRADE untuk proses Perizinan Perdagangan Luar Negeri dan Perdagangan Dalam Negeri. “Sebagai salah satu pendukung sistem Indonesia National Single Window (INSW), INATRADE diharapkan menjadi ujung tombak sistem pelayanan perizinan perdagangan terpadu dari seluruh lini yang terkait dengan perizinan perdagangan nasional yang modern. Selain itu, dengan dibukanya layanan online INATRADE, diharapkan dapat menghilangkan resiko data yang tidak akurat dalam layanan publik,” kata Mendag Mari Pangestu.
Sesuai dengan mottonya “hadir melayani anda, cepat, tepat, mudah”, layanan online INATRADE memang dihadirkan untuk mempercepat, memudahkan dibarengi dengan ketepatan dalam proses perizinan perdagangan. Cepat karena pendaftaran dapat dilakukan secara online, waktu layanan menjadi lebih cepat dibandingkan secara manual, seperti tercantum dalam Service Level Arrangement (SLA) yang telah ditetapkan. Tepat karena seluruh informasi tersedia dengan benar dan akurat pada web INATRADE sehingga pelaku usaha dapat secara tepat mengajukan permohonan yang diperlukan. Mudah, karena layanan secara online dengan koneksi internet memberikan kemudahan untuk melakukan pendaftaran dimana dan kapan saja. Dengan disediakannya tracking dokumen, maka pelaku usaha dapat mengetahui apakah perizinan yang diajukan telah selesai atau sedang diproses. Hingga saat ini, terdapat 26 perizinan impor di sektor Perdagangan Luar Negeri dari 93 perizinan ekspor dan impor, serta 12 perizinan di sektor Perdagangan Dalam Negeri yang dapat diajukan secara online melalui INATRADE. Tahun 2010, ijin impor yang dapat dilakukan secara online akan bertambah menjadi 40 perizinan dan secara bertahap seluruh layanan perizinan dan non perizinan pada Kementerian Perdagangan dapat dilakukan secara online. “Diharapkan hingga tahun 2014, sesuai dengan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Perdagangan, seluruh perizinan yang diterbitkan oleh Kemendag sudah dapat dilakukan secara online dan paperless, sehingga diharapkan tidak ada lagi tatap muka antara pelaku usaha dengan pemroses perizinan,” tambah Mendag.
Bersamaan dengan peluncuran ini juga dilakukan percepatan pelayanan perizinan/persetujuan perdagangan Komoditi Berjangka dan Sistem Resi Gudang yang diterbitkan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Percepatan pelayanan yang sebelumnya dibutuhkan waktu 45 hari untuk pemeriksaan fisik dan fit and proper terhadap pengurus perusahaan secara spesifik, kini dipersingkat menjadi 32 hari. Dan pada tahun 2014 diharapkan dapat lebih cepat lagi menjadi 20 hari. INATRADE dapat diakses melalui Web Kementerian Perdagangan http://www.depdag.go.id dan Web INATRADE : http://inatrade.depdag.go.id Melalui peluncuran layanan online INATRADE ini diharapkan dapat menghemat biaya dan waktu sehingga menaikan daya saing nasional dan fasilitasi perdagangan dalam menghadapi persaingan global. “Kami juga berharap layanan online INATRADE ini akan menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia seperti halnya Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE),” kata Mendag.
Sumber : www.depdag.go.id
***

Aisya Avicenna

Pasar Murah Kemendag

Thursday, August 12, 2010 0 Comments

Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu didampingi Sekretaris Jenderal, Ardiansyah Parman dan Ketua Aprindo, pada tanggal 9 Agustus 2010 melakukan pengguntingan rangkaian bunga melati menandai peresmian pasar murah di lingkungan kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta. Pasar murah ini digelar dalam rangka menyambut bulan puasa tahun 2010 dan dimaksudkan untuk membantu masyarakat sekitar dalam mendapatkan kebutuhan pokok dengan harga yang terjangkau.
Pasar murah yang rutin diselenggarakan oleh Kemendag bekerjasama dengan stakeholders ini akan berlangsung hingga 10 Agustus 2010, menyediakan 102 stand yang terdiri dari 60 stand produk pangan yang berlokasi di halaman parkir dan 42 stand produk non pangan yang berada di ruang Dahlia dan Palmboyan. Untuk stand pangan menyediakan paket-paket kebutuhan pokok, pangan olahan, makanan siap saji dan aneka jajanan lainnya, juga tersedia paket murah yang disediakan oleh 6 (enam) peritel peserta pasar murah. Sedangkan stand non pangan menyediakan fashion batik, busana muslim, sepatu, tas, aksesori dan garmen.
Menteri Perdagangan dalam sambutan pembukaannya memberikan apresiasi atas dukungan para stakeholders sehingga terselenggara pasar murah yang menjual produk-produk asli Indonesia ini. Menurut Mendag, dalam rangka menjaga kestabilan harga dan penyediaan bahan kebutuhan pokok yang cukup menjelang puasa dan lebaran, Kemendag telah melakukan koordinasi dengan instansi terkait. Ditegaskan Mendag bahwa stok untuk semua bahan pokok mencukupi sampai lebaran dan akhir tahun. Sedangkan untuk menjaga kestabilan harga beras, pemerintah telah menjamin dan melaksanakan operasi pasar beras di daerah-daerah yang memiliki kecenderungan harga beras naik dan membagikan Raskin untuk 2 (dua) bulan hingga bulan Agustus 2010. Sementara untuk pelaksanaan pasar murah, hingga saat ini telah dilakukan di 20 (dua puluh) titik di seluruh Indonesia dan diharapkan seluruh Pemerintah Daerah untuk bisa melaksanakan pasar murah.
Sumber : www.depdag.go.id

***
Siangnya, aku & teman-teman berencana ke pasar murah ini, tapi ternyata hujan deras...Pasar murahnya kebanjiran euy... hmm... Tapi bisa juga mencicip "nasi kucing" yang beli di pasar murah. Makan siang bareng sesubdit. Serunya!!!
akhirnya hari kedua (10 Agustus 2010) baru bisa ke sana. Beli gudeg solo dan srabi... enak nian! Aku membelikan pimpinanku, dan mereka juga bilang enak! ^^v


Aisya Avicenna

Tuesday, August 10, 2010

Buatlah kami Merindukan-Mu...

Tuesday, August 10, 2010 0 Comments


Ya Allah buatlah kami merindukanMu
betapa penatnya jiwa ini dengan berbagai urusan dunia
tak habis-habis dan terus berbaris
mengetuk pintu pagi
pintu siang
dan bahkan pintu petang
dan malam ...

Ya Allah tolong kami untuk merindukanMu
jiwa yang lelah mestinya merapat kepadaMu
tapi lemahnya ia, bahkan menjauh dariMu

Ya Allah benarkah ini urusan yang baik bagi kami
jika malah membuat menjauh dariMu?
Ya Allah jika tidak karena bimbinganMu
betapa jauh langkah-langkah ini dari kebenaran
Ya Allah andaikan bukan karena kemurahanMu
betapa menderitanya jiwa dalam kegersangan yang melelahkan

Ya Allah ampuni dosa kami ...
maafkan atas segala kelemahan diri ini
nikmatMu tiada batas menyelimuti hidup kami
ada di setiap hembusan napas karuniaMu
ada di setiap detak jantung
pada setiap tetes darah yang membawa kekuatan kehidupan

Ya Allah tolong kami untuk merindukanMu
hati yang mestinya tak pernah berhenti bersyukur kepadaMu
bahkan lebih sering berpaling
terbutakan berbagai urusan sesaat
lemahnya ia, bagaimana menolak nikmatMu?
padahal nikmatMu tiada batas menyelimuti hidup kami
ada di setiap karunia penciptaan
ada di setiap karunia pemeliharaan
pada setiap kepemurahanMu yang tiada batas

Ya Allah di penghujung Sya'ban ini
buatlah kami merindukanMu
demi memasuki Ramadhan yang penuh keberkahan
tolong kami untuk merindukanMu
menata kembali semua urusan dalam rahmatMu
untuk ridhoMu ...

Ya Allah, Engkau Maha Pemurah
tiada kebaikan kecuali dariMu semata
tiada daya dan kekuatan kecuali anugerahMu semata
tiada pujian kecuali milikMu semata...

[Di Penghujung Sya'ban....dalam 'puncak kerinduan']

PANDUAN SAHUR DAN ADABNYA

Tuesday, August 10, 2010 0 Comments
Orang yang berpuasa sangat dianjurkan untuk makan sahur. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Amru bin Al-‘Ash z bahwa Rasulullah n bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُوْرِ
“Perbedaan antara puasa kami dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim)

Dari Salman z, Rasulullah n bersabda:
الْبَرَكَةُ فِيْ ثَلاَثَةٍ: الْجَمَاعَةِ وَالثَّرِيْدِ وَالسَّحُوْرِ
“Berkah ada pada 3 hal: berjamaah, tsarid (roti remas yang direndam dalam kuah), dan makan sahur.” (HR. Ath-Thabrani, 6/251, dengan sanad yang hasan dengan penguatnya, lihat Shifat Shaum An-Nabi oleh Ali Al-Halabi, hal. 44)

Disukai untuk mengakhirkan makan sahur berdasarkan hadits Anas dari Zaid bin Tsabit z, ia berkata:
Kami makan sahur bersama Rasulullah n kemudian beliau bangkit menuju shalat. Aku (Anas) bertanya: “Berapa jarak antara adzan1 dan sahur?” Beliau menjawab: “Kadarnya (seperti orang membaca) 50 ayat.” (Muttafaqun ‘alaih).

Namun apa yang diistilahkan oleh kebanyakan kaum muslimin dengan istilah imsak, yaitu menahan (tidak makan) beberapa saat sebelum adzan Shubuh adalah perbuatan bid’ah karena dalam ajaran nabi n tidak ada imsak (menahan diri) kecuali bila adzan fajar dikumandangkan. Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا أَذَّنَ بِلاَلٌ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍِ
“Apabila Bilal mengumandangkan adzan (pertama), maka (tetap) makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Bahkan bagi orang yang ketika adzan dikumandangkan masih memegang gelas dan semisalnya untuk minum, diberikan rukhshah (keringanan) khusus baginya sehingga dia boleh meminumnya.

Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إِذَ سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءُ وَاْلإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Jika salah seorang kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya) ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkannya hingga menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut).” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Al-Jami’ Ash-Shahih, 2/418-419)

Hukum makan sahur adalah sunnah muakkadah. Berkata Ibnul Mundzir: “Umat ini telah bersepakat bahwa makan sahur hukumnya sunnah dan tidak ada dosa bagi yang tidak melakukannya berdasarkan hadits Anas bin Malik z bahwa Rasulullah n bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“Makan sahurlah, karena sesungguhnya pada makan sahur itu ada barakahnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dianjurkan makan sahur dengan buah kurma jika ada, dan boleh dengan yang lain berdasarkan hadits Abu Hurairah z, bahwa Rasulullah n bersabda:
نِعْمَ السَّحُوْرِ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ
“Sebaik-baik sahur seorang mukmin adalah buah kurma.” (HR. Abu Dawud, 2/2345, dan Ibnu Hibban, 8/3475, Al-Baihaqi, 4/236, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
Jika seseorang ragu apakah fajar telah terbit atau belum, maka boleh dia makan dan minum sampai dia yakin bahwa fajar telah terbit. Firman Allah:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar ….”(Al-Baqarah:187).

Berkata As-Sa’di: “Padanya terdapat (dalil) bahwa jika (seseorang) makan dan semisalnya dalam keadaan ragu akan terbitnya fajar maka (yang demikian) tidak mengapa.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 87).

Kepompong Romadhon

Tuesday, August 10, 2010 0 Comments



Seekor ulat berbulu bergelayut di batang pohon jambu. Sebab terpaan angin, ulat tadi tidak mampu bertahan di dahan hingga akhirnya si ulat jatuh. Namun karena ia memiliki jaring yang kuat akhirnya tubuhnya tidak sampai jatuh terbanting ke tanah. Cukup lama ia bergelayut, sementara angin masih bertiup menggoyangkannya. Dan akhirnya, ulat itu berhasil sampai ke tanah. Lalu berjalan mempercepat langkahnya dengan kaki-kakinya yang mungil, tubuhnya tampak bergeliat menggelikan.

Lalu ulat itu naik kembali ke batang jambu, dan berdiam diri hingga lama. Semakin lama ia berubah bentuk menjadi kepompong, dalam waktu kurang lebih 14 hari ulat yang menggelikan ini menjadi kupu-kupu yang cantik dan menggemaskan. Subhanallah, mantap…. Ulat bisa jadi kupu-kupu! Si ulat menjalani prosedur metamorfosa dengan sangat tertib dan taat. Andai ia menjalani aturan seenaknya dan masa bodoh dengan prosedurnya, pastilah gagal dan membusuk.

Nah, Romadhon kali ini hadir sebagai ladang untuk berubah. Sebagaimana niat yang direncanakan, maka perubahan itu sesuai dengan apa yang kita niatkan. Setelah niat direncanakan, mari ikuti prosedur yang ada. Mengapa harus ikut prosedur? Sebab itulah aturan mainnya supaya bisa jadi juara.

Allah memerintahakan orang beriman untuk berpuasa tidak sekedar menahan lapar dan haus, melainkan menahan diri dari segala perbuatan yang tidak baik. Hingga pakar kimia pun tidak berani membuat suatu percobaan dengan sembarangan, apa lagi tanpa mengikuti takaran yang sudah ditentukan. Kelebihan atau kekurangan bahan bisa membuahkan hasil yang mengecewakan.

Maha suci Allah yang membentangkan hamparan pahala sebanyak-banyak di bulan yang berkah. Alangkah ruginya bila wadah untuk menampung curahan pahala itu teramat kecil, lebih baik kita sediakan wadah yang lebih besar. Yaitu dengan totalitas ibadah yang lebih meningkat dari biasanya. inysaAllah….


(Dari Tarbawi, Hidayatullah dan sedikit pengalaman mengamati ulat. ^_^)


selamat menunaikan Ibadah Puasa, Mohon maaf lahir dan batin ya...

RINGKASAN RISALAH PUASA RAMADHAN

Tuesday, August 10, 2010 0 Comments
PENGERTIAN PUASA: Menahan diri dari perkara-perkara tertentu dengan niat, dari terbit fajar kedua/subuh hingga terbenam total matahari.

HIKMAH PUASA, antara lain:
a. Melatih sifat jujur dan amanah, sebab puasa adalah rahasia antara hamba dengan Allah subhanahu wata’ala.
b. Melatih sifat sabar dan pengendalian diri, sebab puasa melemahkan jalan syaitan
c. Membiasakan zuhud terhadap dunia
d. Menumbuhkan kasih sayang kepada orang-orang miskin
e. Memberi manfaat kesehatan

ORANG YANG WAJIB PUASA:

Islam, baligh, berakal (waras), mampu, muqim, sehat.

ADAB-ADAB PUASA:
1. Makan sahur
2. Makan sahur dengan kurma
3. Menunda makan sahur hingga akhir waktu
4. Menyegerakan berbuka
5. Berbuka dengan ruthab (kurma segar), atau tamr (kurma kering), atau air putih
6. Do’a ketika sedang puasa dan setelah berbuka
7. Menjaga diri dari segala bentuk maksiat dan dosa
8. Shadaqah
9. Membaca Al Qur’an
10. Bersungguh-sungguh dan meningkatkan ibadah pada sepuluh terakhir Ramadhan
11. I’tikaf
12. Siwak
13. Tidak berlebih-lebihan dalam berkumur atau membasuh hidung ketika berwudhu’
14. Tidak mendahului Ramadhan dengan puasa nafilah satu atau dua hari

RUKUN-RUKUN PUASA:
1. Niat. Untuk puasa wajib, harus niat sebelum masuk waktu shalat subuh
2. Tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa

PEMBATAL-PEMBATAL PUASA:
1. Riddah (keluar dari agama Islam)
2. Makan dan minum dengan sengaja
3. Jima’
4. Keluarnya mani dengan sengaja
5. Keluarnya darah haid atau nifas
6. Obat atau suntikan yang dapat mengganti fungsi makanan, termasuk transfusi darah
7. Muntah dengan sengaja
8. Keluarnya darah dalam jumlah banyak secara sengaja: hijamah, donor darah, dll

BUKAN PEMBATAL PUASA:
1. Celak mata
2. Obat tetes mata atau hidung atau telinga
3. Parfum dan wangi-wangian
4. Suntikan pengobatan
5. Keluarnya madzi
6. Debu atau lalat terbang yang masuk ke tenggorokan dan tertelan
7. Obat hirup
8. Obat kumur
9. Obat pada luka
10. Menelan air liur atau dahak biasa
11. Keluar sedikit darah, seperti luka atau pemeriksaan golongan darah
12. Pembatal-pembatal puasa yang dilakukan tanpa sengaja

ORANG-ORANG YANG TIDAK BERPUASA:
A. Kewajibannya adalah qadha’ (mengganti dengan puasa setelah Ramadhan sejumlah hari-hari yang dia tinggalkan)
1. Orang sakit sementara yang ada kemungkinan sembuh
2. Pingsan
3. Musafir
4. Haid
5. Orang yang sengaja membatalkan puasa karena uzdur syar’i
6. Wanita menyusui yang tidak puasa karena khawatir terhadap kondisi dirinya atau kondisi dirinya bersama bayinya (ket: ketetapan tidak mampu dapat lewat pengalaman atau pengamatan langsung kondisi ibu atau keterangan dokter terpercaya)
7. Wanita hamil yang meninggalkan puasa karena khawatir terhadap kondisi dirinya atau kondisi dirinya bersama janinnya

B. Kewajibannya adalah ith’aam (mengganti dengan memberi makan satu orang miskin sejumlah hari-hari yang dia tinggalkan)
1. Orang lanjut usia
2. Orang sakit permanen yang kecil kemungkinan untuk sembuh

C. Kewajibannya adalah tobat dan kaffarah (memerdekakan budak atau puasa dua bulan berturut-turut atau ith’aam 60 orang miskin): jima’

E. Tidak berdosa: puasa anak kecil yang mumayyiz tapi belum baligh (dewasa)


BEBERAPA KASUS:
1. Yang afdhal bagi musafir yang tidak menemui kesulitan apapun dalam melaksanakan puasa adalah yang lebih mudah bagi dirinya, antara puasa dan meninggalkannya dengan qadha’
2. Sopir atau pelaut:
(a) Bagi bujangan atau orang yang membawa serta keluarganya, dia wajib puasa. Karena perjalanannya tidak terputus
(b) Bagi orang yang memiliki keluarga tapi tidak dibawanya serta, dia boleh puasa dan boleh juga tidak dengan qadha’
3. Obat penunda haidh boleh digunakan, tapi tidak dianjurkan. Hal ini mengingat tidak sepinya obat-obatan kimiawi umumnya dari efek negatif bagi kesehatan
4. Orang yang bangun subuh dalam keadaan junub, tidak mengapa menunda mandi hingga masuk waktu shalat subuh. Dengan tetap melaksanakan shalat subuh berjamaah di mesjid.
5. Orang mimpi basah di siang hari tidak batal puasanya.
6. Orang yang udzurnya hilang di tengah hari puasa, melanjutkan puasanya. Contoh: suci dari haidh, masuk Islam,
mukim setelah safar, dll.
7. Qadha’ yang tertunda hingga melewati Ramadhan berikutnya:
(a) Bila dengan udzur, cukup diganti dengan qadha’ saja
(b) Tanpa udzur syar’I, disamping qadha’ juga ith’aam
8. Satu-satunya puasa yang ahli waris dianjurkan untuk mempuasakan orang yang telah meninggal adalah puasa nadzar
9. Satu kali niat untuk satu bulan cukup untuk puasa Ramadha

Fiqh Puasa Ramadhan Bagi Wanita

Tuesday, August 10, 2010 0 Comments
Bulan yang ditunggu-tunggu sebentar lagi akan datang. Semangat berpuasa akan semakin terbimbing saat kita mengetahui amalan yang kita lakukan tersebut memiliki dalil penuntun sebagai salah satu syarat diterimanya puasa tersebut oleh Allah. Sehingga, puasa akan menjadi bernilai ibadah dan bukan hanya sekedar menahan lapar dan haus saja.
Puasa Ramadhan merupakan amalan yang Allah Ta’ala wajibkan bagi kaum muslimin dalam firmanNya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al Baqarah: 183)

Lebih khusus lagi, puasa Ramadhan diwajibkan kepada muslim yang baligh, berakal, dan mukim (tidak sedang bersafar) sebagaimana sabda Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam: “Pena (pencatatan amal) diangkat dari tiga jenis manusia (yakni) orang yang gila hingga sadar kembali, orang yang tidur hingga bangun kembali, dan anak-anak hingga dia dewasa” (Shohih, riwayat Ahmad dan Nasa’i) dan dalam firman Allah Ta’ala,
“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Al Baqarah: 184)

Bagi seorang wanita yang akan berpuasa, ditambahkan syarat suci dari haid dan nifas, yang disimpulkan dari perkataan Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam saat beliau shallallaahu’alaihi wa sallam menjelaskan mengenai kurangnya agama seorang wanita: “Bukankah wanita itu jika sedang haid dia tidak sholat dan tidak berpuasa?” (Shohih, Riwayat Bukhori)


Seorang wanita memiliki alasan-alasan khusus yang membolehkannya untuk tidak berpuasa wajib, antara lain:

1. Haid
Seorang wanita yang haid dan nifas dilarang untuk melakukan puasa berdalil dengan hadits Abu Sa’id al Khudriy -radhiyallaahu’anhu-, bahwasanya Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam: “Bukankah wanita itu jika sedang haid dia tidak sholat dan tidak berpuasa? Itulah kekurangan agamanya.” (Shohih, Riwayat Bukhori)
Di balik segala sesuatu pasti ada hikmahnya, meskipun kita tidak mampu membuka tabir hikmah tersebut. Lalu, apa hikmah dilarangnya seorang wanita yang mengalami haid untuk tidak berpuasa? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah berkata dalam Majmu’ Fatawa-nya: “Haid menyebabkan keluarnya darah. Wanita yang sudah mendapat haid dapat berpuasa di selain saat-saat merahnya yaitu dalam kondisi tidak keluar darah (tidak haid). Karena puasa pada waktu itu adalah puasa dalam kondisi fisik yang seimbang dimana darah, yang merupakan inti kekuatan tubuh, tidak keluar.

Puasanya di saat haid akan menguras darah sehingga berdampak pada menurun dan melemahnya tubuhnya dan puasanya pun tidak pada kondisi fisik yang seimbang. Oleh karena itu, wanita diperintahkan untuk berpuasa di luar waktu-waktu haidnya.”
Wanita haid tersebut wajib meng-qadha’ (mengganti) puasa yang ditinggalkannya pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan, berdasarkan hadits dari ‘Aisyah -radhiyallaahu’anha- : “Kami mengalami haid di masa Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam, maka kami diperintahkan untuk meng-qadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk meng-qadha’ sholat.” (Shohih, dalam Shohih Jami’ no. 3514)
Qadha’ boleh ditunda karena adanya udzur (alasan). Akan tetapi, hendaknya tidak menunda qadha’ tanpa udzur hingga masuk bulan Sya’ban atau justru beberapa hari sebelum Ramadhan tiba karena hal tersebut justru akan memberatkan fisik kita dalam persiapan bulan Ramadhan. Apalagi lingkungan kita yang umumnya penuh godaan, seperti banyaknya warung makan yang buka.

Sebagaimana keadaan orang yang junub, seorang wanita yang suci dari haid sebelum fajar namun baru mandi setelah terbit fajar maka sah puasanya. Sah juga jika wanita tersebut mendapatkan haid setelah tenggelamnya matahari meskipun ia belum sempat untuk berbuka puasa.

Jika seorang wanita suci di tengah hari bulan Ramadhan, maka diperbolehkan untuk makan dan minum. Namun, untuk menghormati orang lain yang sedang berpuasa hendaknya ia tidak makan dan minum secara terang-terangan di antara orang yang berpuasa.
Terkadang, seorang wanita dapat mengeluarkan darah, namun bukan darah yang menjadi kebiasaan wanita tersebut. Keadaan tersebut dinamakan dengan darah istihadhoh. Pada keadaan ini, wanita tersebut tidak memiliki alasan untuk tidak berpuasa sebagaimana wanita haid. Artinya, ia tetap harus melaksanakan sholat dan puasa. Hukum istihadhoh seperti halnya keadaan wanita dalam keadaan suci kecuali pada beberapa masalah saja. (Akan datang pembahasannya, insya Allaah).

2. Wanita Hamil dan Menyusui
Bagi wanita yang hamil, jika khawatir akan membahayakan dirinya atau bayinya, maka diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Begitu juga dengan wanita yang sedang menyusui, apalagi jika tidak dapat mencari pengganti wanita lain yang dapat menyusui bayinya. Maka, wanita yang mengalami dua keadaan tersebut, menurut pendapat yang lebih kuat, adalah wajib baginya untuk membayar fidyah yaitu memberi makan orang miskin sebanyak hari yang dia tinggalkan, tanpa perlu meng-qadha’ puasanya, sebagaimana fidyah bagi orang yang telah renta (Al Wajiz, hal. 199)

Fidyah yang harus diberikan berupa makanan pokok negeri tersebut, misalnya beras atau roti, sebanyak 0,5 sha’ (500 gram) makanan untuk selain burr jayyid (tepung yang sangat halus). Adapun burr jayyid, ditentukan sebesar 0,25 sha’ (510 gram). Bisa juga diberikan bersama lauk pauknya. Fidyah tersebut bisa diberikan dengan cara mengumpulkan fakir miskin sebanyak hari yang ditinggalkan atau memberikannya secara terpisah (sendiri-sendiri), yaitu setiap satu orang miskin hanya berhak mendapat jatah satu kali fidyah. (Fushul fi Ash Shiyam, hal. 9). Yang perlu diperhatikan dalam hal ini, fidyah tidak bisa digantikan dengan dengan uang senilai 0,5 sha’ makanan pokok, sebagaimana yang lazim dipahami oleh sebagian orang, karena lafadz dalil adalah “memberi makanan”, bukan “memberi uang”.

Yang perlu menjadi perhatian dari seluruh penjelasan di atas bahwa jika seseorang yang masih memiliki hutang puasa namun ia belum meng-qadha’ puasa pada Ramadhan yang lalu hingga datang bulan Ramadhan berikutnya, maka ia harus meng-qadha’ puasanya tersebut dan membayar fidyah sebanyak hari yang ia tinggalkan. Hal ini sebagaimana difatwakan oleh beberapa shahabat seperti Abu Hurairah dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallaahu’anhuma.

Selain itu, seorang wanita tidak diperbolehkan untuk berpuasa sunnah kecuali dengan seijin suaminya. Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata: bahwasanya Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal seorang wanita berpuasa sedang suaminya berada di rumahnya kecuali dengan seizinnya.” (Hadits Riwayat Bukhori dan Muslim). Pada riwayat lain: “kecuali Ramadhan.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Daud).

PENJELASAN LENGKAP TENTANG SHOLAT TARAWIH

Tuesday, August 10, 2010 0 Comments
Salam Setiap Dua Raka’at
Para pakar fiqih berpendapat bahwa shalat tarawih dilakukan dengan salam setiap dua raka’at. Karena tarawih termasuk shalat malam. Sedangkan shalat malam dilakukan dengan dua raka’at salam dan dua raka’at salam. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at.”

Istrihat Tiap Selesai Empat Raka’at
Para ulama sepakat tentang disyariatkannya istirahat setiap melaksanakan shalat tarawih empat raka’at. Inilah yang sudah turun temurun dilakukan oleh para salaf. Namun tidak mengapa kalau tidak istirahat ketika itu. Dan juga tidak disyariatkan untuk membaca do’a tertentu ketika melakukan istirahat. Inilah pendapat yang benar dalam madzhab Hambali.

Dasar dari hal ini adalah perkataan ‘Aisyah yang menjelaskan tata cara shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat 4 raka’at, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya. Kemudian beliau melaksanakan shalat 4 raka’at lagi, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya.” Yang dimaksud dalam hadits ini adalah shalatnya dua raka’at salam, dua raka’at salam, namun setiap empat raka’at ada duduk istrirahat.
Sebagai catatan penting, tidaklah disyariatkan membaca dzikir-dzikir tertentu atau do’a tertentu ketika istirahat setiap melakukan empat raka’at shalat tarawih, sebagaimana hal ini dilakukan sebagian muslimin di tengah-tengah kita yang mungkin saja belum mengetahui bahwa hal ini tidak ada tuntunannya dalam ajaran Islam.
Ulama-ulama Hambali mengatakan, “Tidak mengapa jika istirahat setiap melaksanakan empat raka’at shalat tarawih ditinggalkan. Dan tidak dianjurkan membaca do’a-do’a tertentu ketika waktu istirahat tersebut karena tidak adanya dalil yang menunjukkan hal ini.”

“Ash Sholaatul Jaami’ah” untuk Menyeru Jama’ah dalam Shalat Tarawih?
Tidak ada tuntunan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan Ash Sholaatul Jaami’ah. Ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca: bid’ah). Juga dalam shalat tarawih tidak ada seruan adzan ataupun iqomah untuk memanggil jama’ah karena adzan dan iqomah hanya ada pada shalat fardhu.


Surat yang Dibaca Ketika Shalat Tarawih
Tidak ada riwayat mengenai bacaan surat tertentu dalam shalat tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, surat yang dibaca boleh berbeda-beda sesuai dengan keadaan. Imam dianjurkan membaca bacaan surat yang tidak sampai membuat jama’ah bubar meninggalkan shalat. Seandainya jama’ah senang dengan bacaan surat yang panjang-panjang, maka itu lebih baik berdasarkan riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan.

Ada anjuran dari sebagian ulama semacam ulama Hanafiyah dan Hambali untuk mengkhatamkan Al Qur’an di bulan Ramadhan dengan tujuan agar manusia dapat mendengar seluruh Al Qur’an ketika melaksanakan shalat tarawih.

Mengerjakan Shalat Tarawih Bersama Imam Hingga Imam Selesai Shalat
Sudah selayaknya bagi makmum untuk menyelesaikan shalat malam hingga imam selesai. Dan kuranglah tepat jika jama’ah bubar sebelum imam selesai. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam. Itulah yang lebih tepat.

Shalat Tarawih bagi Wanita
Jika menimbulkan godaan ketika keluar rumah (ketika melaksanakan shalat tarawih), maka shalat di rumah lebih utama bagi wanita daripada di masjid. Hal ini berdasarkan hadits dari Ummu Humaid, istri Abu Humaid As Saa’idiy. Ummu Humaid pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata bahwa dia sangat senang sekali bila dapat shalat bersama beliau. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاَةَ … وَصَلاَتُكِ فِى دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاَتُكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِى
”Aku telah mengetahui bahwa engkau senang sekali jika dapat shalat bersamaku. … (Namun ketahuilah bahwa) shalatmu di rumahmu lebih baik dari shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.”
Namun jika wanita tersebut merasa tidak sempurna mengerjakan shalat tarawih tersebut di rumah atau malah malas-malasan, juga jika dia pergi ke masjid akan mendapat faedah lain bukan hanya shalat (seperti dapat mendengarkan nasehat-nasehat agama atau pelajaran dari orang yang berilmu atau dapat pula bertemu dengan wanita-wanita muslimah yang sholihah atau di masjid para wanita yang saling bersua bisa saling mengingatkan untuk banyak mendekatkan diri pada Allah, atau dapat menyimak Al Qur’an dari seorang qori’ yang bagus bacaannya), maka dalam kondisi seperti ini, wanita boleh saja keluar rumah menuju masjid. Hal ini diperbolehkan bagi wanita asalkan dia tetap menutup aurat dengan menggunakan hijab yang sempurna, keluar tanpa memakai harum-haruman (parfum), dan keluarnya pun dengan izin suami. Apabila wanita berkeinginan menunaikan shalat jama’ah di masjid (setelah memperhatikan syarat-syarat tadi), hendaklah suami tidak melarangnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian melarang istri-istri kalian untuk ke masjid, namun shalat di rumah mereka (para wanita) tentu lebih baik.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ إِلَى الْمَسَاجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ
“Jika istri kalian meminta izin pada kalian untuk ke masjid, maka izinkanlah mereka.” Inilah penjelasan Syaikh Musthofa Al Adawi hafizhohullah yang penulis sarikan

Dari penjelasan para ulama di atas dapat kita simpulkan bahwa shalat tarawih untuk wanita lebih baik adalah di rumahnya apalagi jika dapat menimbulkan fitnah atau godaan. Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih mengatakan bahwa shalat bagi wanita di rumahnya lebih baik daripada di masjidnya yaitu Masjid Nabawi. Padahal kita telah mengetahui bahwa pahala yang diperoleh akan berlipat-lipat apabila seseorang melaksanakan shalat di masjid beliau yaitu Masjid Nabawi.
Namun apabila pergi ke masjid tidak menimbulkan fitnah (godaan) dan sudah berhijab dengan sempurna, juga di masjid bisa dapat faedah lain selain shalat seperti dapat mendengar nasehat-nasehat dari orang yang berilmu, maka shalat tarawih di masjid diperbolehkan dengan memperhatikan syarat-syarat ketika keluar rumah. Di antara syarat-syarat tersebut adalah: (1) menggunakan hijab dengan sempurna ketika keluar rumah sebagaimana perintah Allah agar wanita memakai jilbab dan menutupi seluruh tubuhnya selain wajah dan telapak tangan, (2) minta izin kepada suami atau mahrom terlebih dahulu dan hendaklah suami atau mahrom tidak melarangnya, dan (3) tidak menggunakan harum-haruman dan perhiasan yang dapat menimbulkan godaan.
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah (2/9640), ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa seandainya seseorang melaksanakan shalat tarawih empat raka’at dengan sekali salam, shalatnya tidak sah. Shalatnya batal jika sengaja melakukannya dan mengetahui hal ini. Jika tidak batal, minimal yang ia kerjakan hanyalah shalat sunnah mutlak. Bisa seperti ini karena shalat tarawih mirip dengan shalat fardhu karena sama-sama dilaksanakan secara berjama’ah. Maka seharusnya tidak diubah sesuai yang diajarkan. Demikian dikatakan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah. Kami pun menemukan penjelasan yang sama sebagaimana dalam kitab Kifayatul Akhyar, hal. 138.

Akan tetapi ada keterangan berbeda dari ulama Syafi’iyah lainnya. Ulama besar Syafi’iyah, An Nawawi ketika menjelaskan hadits “shalat sunnah malam dan siang itu dua raka’at, dua raka’at”, beliau rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud hadits ini adalah bahwa yang lebih afdhol adalah mengerjakan shalat dengan setiap dua raka’at salam baik dalam shalat sunnah di malam atau siang hari. Di sini disunnahkan untuk salam setiap dua raka’at. Namun jika menggabungkan seluruh raka’at yang ada dengan sekali salam atau mengerjakan shalat sunnah dengan satu raka’at saja, maka itu dibolehkan menurut kami.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/30)


Bolehkah Menambah Raka’at Shalat Tarawih Lebih dari 11 Raka’at?
Mayoritas ulama terdahulu dan ulama belakangan, mengatakan bahwa boleh menambah raka’at dari yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.”
Yang membenarkan pendapat ini adalah dalil-dalil berikut.

Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai shalat malam, beliau menjawab,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat malam itu dua raka’at-dua raka’at. Jika salah seorang di antara kalian takut masuk waktu shubuh, maka kerjakanlah satu raka’at. Dengan itu berarti kalian menutup shalat tadi dengan witir.” Padahal ini dalam konteks pertanyaan. Seandainya shalat malam itu ada batasannya, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya.

Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).”
Ketiga, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
“Sesungguhnya engkau tidaklah melakukan sekali sujud kepada Allah melainkan Allah akan meninggikan satu derajat bagimu dan menghapus satu kesalahanmu.” Dalil-dalil ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa kita dibolehkan memperbanyak sujud (artinya: memperbanyak raka’at shalat) dan sama sekali tidak diberi batasan.

Keempat, pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memilih shalat tarawih dengan 11 atau 13 raka’at ini bukanlah pengkhususan dari tiga dalil di atas.
Alasan pertama, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan ucapan beliau sendiri, sebagaimana kaedah yang diterapkan dalam ilmu ushul.
Alasan kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang menambah lebih dari 11 raka’at. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at, akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. … Barangsiapa yang mengira bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki bilangan raka’at tertentu yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh ditambahi atau dikurangi dari jumlah raka’at yang beliau lakukan, sungguh dia telah keliru.”
Alasan ketiga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan shalat malam dengan 11 raka’at. Seandainya hal ini diperintahkan tentu saja beliau akan memerintahkan sahabat untuk melaksanakan shalat 11 raka’at, namun tidak ada satu orang pun yang mengatakan demikian. Oleh karena itu, tidaklah tepat mengkhususkan dalil yang bersifat umum yang telah disebutkan di atas. Dalam ushul telah diketahui bahwa dalil yang bersifat umum tidaklah dikhususkan dengan dalil yang bersifat khusus kecuali jika ada dalil yang bertentangan.

Kelima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat malam dengan bacaan yang panjang dalam setiap raka’at. Di zaman setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang begitu berat jika melakukan satu raka’at begitu lama. Akhirnya, ‘Umar memiliki inisiatif agar shalat tarawih dikerjakan dua puluh raka’at agar bisa lebih lama menghidupkan malam Ramadhan, namun dengan bacaan yang ringan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.”

Keenam, manakah yang lebih utama melakukan shalat malam 11 raka’at dalam waktu 1 jam ataukah shalat malam 23 raka’at yang dilakukan dalam waktu dua jam atau tiga jam?
Yang satu mendekati perbuatan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam dari segi jumlah raka’at. Namun yang satu mendekati ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari segi lamanya. Manakah di antara kedua cara ini yang lebih baik?
Jawabannya, tentu yang kedua yaitu yang shalatnya lebih lama dengan raka’at yang lebih banyak. Alasannya, karena pujian Allah terhadap orang yang waktu malamnya digunakan untuk shalat malam dan sedikit tidurnya. Allah Ta’ala berfirman,
كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
“Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.” (QS. Adz Dzariyat: 17)
وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا
“Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari.” (QS. Al Insan: 26)


Oleh karena itu, para ulama ada yang melakukan shalat malam hanya dengan 11 raka’at namun dengan raka’at yang panjang. Ada pula yang melakukannya dengan 20 raka’at atau 36 raka’at. Ada pula yang kurang atau lebih dari itu. Mereka di sini bukan bermaksud menyelisihi ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun yang mereka inginkan adalah mengikuti maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu dengan mengerjakan shalat malam dengan thulul qunut (berdiri yang lama).
Sampai-sampai sebagian ulama memiliki perkataan yang bagus, “Barangsiapa yang ingin memperlama berdiri dan membaca surat dalam shalat malam, maka ia boleh mengerjakannya dengan raka’at yang sedikit. Namun jika ia ingin tidak terlalu berdiri dan membaca surat, hendaklah ia menambah raka’atnya.”

Mengapa ulama ini bisa mengatakan demikian? Karena yang jadi patokan adalah lama berdiri di hadapan Allah ketika shalat malam.

Berbagai Pendapat Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih
Jadi, shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat.

Pendapat pertama, yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena inilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pendapat Syaikh Al Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih.

Pendapat kedua, shalat tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk witir). Inilah pendapat mayoritas ulama semacam Ats Tsauri, Al Mubarok, Asy Syafi’i, Ash-haabur Ro’yi, juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat lainnya. Bahkan pendapat ini adalah kesepakatan (ijma’) para sahabat.
Al Kasaani mengatakan, “’Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”
Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”

‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di berbagai negeri.”
Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah banyak.”
Pendapat ketiga, shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir. Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari riwayat Daud bin Qois, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih.

Pendapat keempat, shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk witir. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam sebanyak 40 raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan jumlah raka’at yang tak terhitung sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah, anaknya

Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.
Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.

Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.” Dari penjelasan di atas kami katakan, hendaknya setiap muslim bersikap arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan ini. Sungguh tidak tepatlah kelakuan sebagian saudara kami yang berpisah dari jama’ah shalat tarawih setelah melaksanakan shalat 8 atau 10 raka’at karena mungkin dia tidak mau mengikuti imam yang melaksanakan shalat 23 raka’at atau dia sendiri ingin melaksanakan shalat 23 raka’at di rumah.

Yang Paling Bagus adalah Yang Panjang Bacaannya
Setelah penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun berdirinya agak lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
“Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.”
Dari Abu Hurairah, beliau berkata,
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.” Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud.

Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Karena ingatlah bahwa thuma’ninah (bersikap tenang) adalah bagian dari rukun shalat.

Tata cara Sholat Tarawih & Witir Nabi SAW

Tarawih merupakan bentuk jamak dari kata tarwihah. Secara bahasa berarti jalsah (duduk). Kemudian perbuatan duduk pada bulan Ramadhan setelah selesai shalat malam 4 rakaat disebut tarwihah; karena dengan duduk itu orang-orang bisa beristirahat setelah lama melaksanakan qiyam Ramadhan.
Menegakkan Shalat malam atau tahajud atau tarawih dan shalat witir di bulan Ramadhan merupakan amalan yang sunnah. Bahkan orang yang menegakkan malam Ramadhan dilandasi dengan keimanan dan mengharap pahala dari Allah akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu.

Sebagaimana dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ قاَمَ رَمَضَانَ إِيـْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »
“Siapapun yang menegakkan bulan Ramadhan dengan keimanan dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Muslim 1266)
Pada asalnya shalat sunnah malam hari dan siang hari adalah satu kali salam setiap dua rakaat. Berdasarkan keterangan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah shalat malam itu?” Beliau menjawab:
« مَثْنىَ مَثْنىَ فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ »
“Dua rakaat – dua rakaat. Apabila kamu khawatir mendapati subuh, maka hendaklah kamu shalat witir satu rakaat.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang lain dikatakan:
« صَلاَةُ اللَّيْلِ وَ النَّهَارِ رَكْعَتَانِ رَكْعَتَانِ »
“Shalat malam hari dan siang hari itu dua rakaat – dua rakaat.” (HR Ibn Abi Syaibah) (At-Tamhiid, 5/251; Al-Hawadits, 140-143; Fathul Bari’ 4/250; Al-Muntaqo 4/49-51)

Maka jika ada dalil lain yang shahih yang menerangkan berbeda dengan tata cara yang asal (dasar) tersebut, maka kita mengikuti dalil yang shahih tersebut. Adapun jumlah rakaat shalat malam atau shalat tahajud atau shalat tarawih dan witir yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah lebih dari 11 atau 13 rakaat.
Shalat tarawih dianjurkan untuk dilakukan berjamaah di masjid karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melakukan hal yang sama walaupun hanya beberapa hari saja. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Nu’man bin Basyir rahimahullah, ia berkata:

“Kami melaksanakan qiyamul lail bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam 23 Ramadhan sampai sepertiga malam. Kemudian kami shalat lagi bersama beliau pada malam 25 Ramadhan sampai separuh malam. Kemudian beliau memimpin lagi pada malam 27 Ramadhan sampai kami menyangka tidak akan sempat mendapati sahur.” (HR. Nasa’i, Ahmad, Al-Hakim, Shahih)

Beserta sebuah Hadits dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dia berkata:
Kami puasa tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memimpin kami untuk melakukan shalat (tarawih) hingga Ramadhan tinggal tujuh hari lagi, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat sampai lewat sepertiga malam. Kemudian beliau tidak keluar lagi pada malam ke enam (tinggal 6 hari lagi – pent). Dan pada malam ke lima (tinggal 5 hari – pent) beliau memimpin shalat lagi sampai lewat separuh malam. Lalu kami berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Seandainya engkau menambah lagi untuk kami sisa malam kita ini?’, maka beliau bersabda:
« مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتىَّ يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ »
“Barang siapa shalat tarawih bersama imam sampai selesai maka ditulis baginya shalat malam semalam suntuk.”

Kemudian beliau tidak memimpin shalat lagi hingga Ramadhan tinggal tiga hari. Maka beliau memimpin kami shalat pada malam ketiga. Beliau mengajak keluarga dan istrinya. Beliau mengimami sampai kami khawatir tidak mendapatkan falah. Saya (perowi) bertanya ‘apa itu falah?’ Dia (Abu Dzar) berkata ’sahur’. (HR. Nasa’i, Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Daud, Ahmad, Shahih)

Hadits itu secara gamblang dan tegas menjelaskan bahwa shalat berjamaah bersama imam dari awal sampai selesai itu sama dengan shalat sendirian semalam suntuk. Hadits tersebut juga sebagai dalil dianjurkannya shalat malam dengan berjamaah.
Bahkan diajurkan pula terhadap kaum perempuan untuk shalat tarawih secara berjamaah, hal ini sebagaimana yang diperintahkan oleh khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu yaitu beliau memilih Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu untuk menjadi imam untuk kaum lelaki dan memilih Sulaiman bin Abu Hatsmah radhiyallahu ‘anhu untuk menjadi imam bagi kaum wanita.

Tata Cara Shalat Malam
Perlu kita ketahui bahwa tata cara shalat malam atau tarawih dan shalat witir yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada beberapa macam. Dan tata cara tersebut sudah tercatat dalam buku-buku fikih dan hadits. Tata cara yang beragam tersebut semuanya pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Semua tata cara tersebut adalah hukumnya sunnah.

Maka sebagai perwujudan mencontoh dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hendaklah kita terkadang melakukan cara ini dan terkadang melakukan cara itu, sehingga semua sunnah akan dihidupkan. Kalau kita hanya memilih salah satu saja berarti kita mengamalkan satu sunnah dan mematikan sunnah yang lainnya. Kita juga tidak perlu membuat-buat tata cara baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mengikuti tata cara yang tidak ada dalilnya.

Shalat tarawih sebanyak 13 rakaat dengan perincian sebagai berikut:
1. Beliau membuka shalatnya dengan shalat 2 rakaat yang ringan.
2. Kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang panjang.
3. Kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan tiap rakaat yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya hingga rakaat ke-12.
4. Kemudian shalat witir 1 rakaat.


Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Kholid al-Juhani, beliau berkata: “Sesungguhnya aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam, maka beliau memulai dengan shalat 2 rakaat yang ringan, Kemudian beliau shalat 2 rakaat dengan bacaan yang panjang sekali, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat witir 1 rakaat.” (HR. Muslim)

Faedah, Hadits ini menjadi dalil bolehnya shalat iftitah 2 rakaat sebelum shalat tarawih.
Shalat tarawih sebanyak 13 rakaat dengan perincian sebagai berikut:
1. Melakukan shalat 8 rakaat dengan sekali salam setiap 2 rakaat.
2. Kemudian melakukan shalat witir langsung 5 rakaat sekali salam.

Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan tidur malam, maka apabila beliau bangun dari tidur langsung bersiwak kemudian berwudhu. Setelah itu beliau shalat delapan rakaat dengan bersalam setiap 2 rakaat kemudian beliau melakukan shalat witir lima rakaat yang tidak melakukan salam kecuali pada rakaat yang kelima.”

Shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan perincian sebagai berikut:
1. Melakukan shalat 10 rakaat dengan sekali salam setiap 2 rakaat.
2. Kemudian melakukan shalat witir 1 rakaat.
Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah, beliau berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلّ الله عليه و سلّم يُصَلىِّ فِيْمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ – وَ هِيَ الَّتِي يَدْعُوْ النَّاسُ الْعَتَمَةَ – إِلىَ الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُسَلَّمُ بَيْنَ كُلّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوْتِرُ بِوَاحِدَةٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam atau tarawih setelah shalat Isya’ – Manusia menyebutnya shalat Atamah – hingga fajar sebanyak 11 rakaat. Beliau melakukan salam setiap dua rakaat dan beliau berwitir satu rakaat.” (HR. Muslim)

Shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan perincian sebagai berikut:
1. Melakukan shalat 8 rakaat dengan sekali salam setiap 4 rakaat.
2. Kemudian shalat witir langsung 3 rakaat dengan sekali salam.
Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Aisyah, beliau berkata:
مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلّ الله عليه و سلّم يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَ لاَ فِي غَيْرِهِ إِحْدَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى أَرْبَعًا، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلَـهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلَـهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثاً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah bilangan pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan selain Ramadhan dari 11 Rakaat. Beliau shalat 4 rakaat sekali salam maka jangan ditanya tentang kebagusan dan panjangnya, kemudian shalat 4 rakaat lagi sekali salam maka jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian shalat witir 3 rakaat.” (HR Muslim)
Tambahan: Tidak ada duduk tahiyat awal pada shalat tarawih maupun shalat witir pada tata cara poin ini, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut. Bahkan ada larangan menyerupai shalat maghrib.

Shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan perincian sebagai berikut:
1. Melakukan shalat langsung sembilan rakaat yaitu shalat langsung 8 rakaat, tidak duduk kecuali pada rakaat yang kedelapan tanpa salam kemudian berdiri 1 rakaat lagi kemudian salam.
2. Kemudian shalat 2 rakaat dalam keadaan duduk.
Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah, beliau berkata:
كُناَّ نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ وَ طَهُوْرَهُ، فَيَـبْعَثُهُ اللهُ مَا شَاءَ أَنْ يَـبْعَثَهُ مِنَ الَّيْلِ، فَيَتَسَوَّكُ وَ يَتَوَضَأُ وَ يُصَلِى تِسْعَ رَكْعَةٍ لاَ يَـجْلِسُ فِيْهَا إِلاَّ فِي الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ اللهَ وَ يَحْمَدُهُ وَ يَدْعُوْهُ، ثُمَّ يَنْهَضُ وَ لاَ يُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُوْمُ فَيُصَلِّى التَّاسِعَةَ، ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللهَ وَ يَحْمَدُهُ وَ يَدْعُوْهُ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيْمًا يُسْمِعْناَ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلِمُ وَ هُوَ قَاعِدٌ (رواه مسلم)
“Kami dahulu biasa menyiapkan siwak dan air wudhu untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atas kehendak Allah beliau selalu bangun malam hari, lantas tatkala beliau bangun tidur langsung bersiwak kemudian berwudhu. Kemudian beliau melakukan shalat malam atau tarawih 9 rakaat yang beliau tidak duduk kecuali pada rakaat yang kedelapan lantas membaca pujian kepada Allah dan shalawat dan berdoa dan tidak salam, kemudian bangkit berdiri untuk rakaat yang kesembilan kemudian duduk tahiyat akhir dengan membaca dzikir, pujian kepada Allah, shalawat dan berdoa terus salam dengan suara yang didengar oleh kami. Kemudian beliau melakukan shalat lagi 2 rakaat dalam keadaan duduk.” (HR. Muslim 1233 marfu’, mutawatir)

Faedah, Hadits ini merupakan dalil atas:
1. Bolehnya shalat lagi setelah shalat witir.
2. Terkadang Nabi shalat witir terlebih dahulu baru melaksanakan shalat genap.
3. Bolehnya berdoa ketika duduk tasyahud awal.
4. Bolehnya shalat malam dengan duduk meski tanpa uzur.
Shalat tarawih sebanyak 9 rakaat dengan perincian sebagai berikut:
1. Melakukan shalat dua rakaat dengan bacaan yang panjang baik dalam berdiri, ruku’ maupun sujud kemudian berbaring.
2. Setelah bangun kemudian shalat 2 rakaat lagi dengan bacaan yang panjang baik ketika berdiri, ruku’ maupun sujud kemudian berbaring.
3. Setelah bangun kemudian shalat 2 rakaat lagi dengan bacaan yang panjang baik ketika berdiri, ruku’ maupun sujud kemudian berbaring.
4. Setelah bangun shalat witir 3 rakaat.
Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
…ثُمَّ قَامَ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ فَأَطَالَ فِيْهْمَا الْقِيَامَ وَ الرُّكُوْعَ وَ السُّجُوْدَ ثُمَّ انْصَرَفَ فَنَامَ حَتَّى نَفَغَ ثُمَّ فَعَلَ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ سِتُّ رَكَعَاتٍ كُلُّ ذَلِكَ يَشْتاَكُ وَ يَتَوَضَأُ وَ يَقْرَأُ هَؤُلاَءِ الآيَاتِ ثُمَّ أَوْتَرَ بِثَلاَثٍ
“…Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri melakukan shalat 2 rakaat maka beliau memanjangkan berdiri, rukuk dan sujudnya dalam 2 rakaat tersebut, kemudian setelah selesai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring sampai mendengkur. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi hal tersebut sampai 3 kali sehingga semuanya berjumlah 6 rakaat. Dan setiap kali hendak melakukan shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak kemudian berwudhu terus membaca ayat (Inna fii kholqis samawati wal ardhi wakhtilafil laili… sampai akhir surat) kemudian berwitir 3 rakaat.” (HR. Muslim)
Faedah, Hadits ini juga menjadi dalil kalau tidur membatalkan wudhu
Shalat tarawih sebanyak 9 rakaat dengan perincian sebagai berikut:
1. Melakukan shalat langsung 7 rakaat yaitu shalat langsung 6 rakaat, tidak duduk kecuali pada rakaat yang ke-6 tanpa salam kemudian berdiri 1 rakaat lagi kemudian salam. Maka sudah shalat 7 rakaat.
2. Kemudian shalat 2 rakaat dalam keadaan duduk.
Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah yang merupakan kelanjutan hadits no.5 beliau berkata: “Maka tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tua dan mulai kurus maka beliau melakukan shalat malam atau tarawih 7 rakaat. Dan beliau melakukan shalat 2 rakaat yang terakhir sebagaimana yang beliau melakukannya pada tata cara yang pertama (dengan duduk). Sehingga jumlah seluruhnya 9 rakaat.” (HR. Muslim 1233)

Disunnahkan pada shalat witir membaca surat “Sabbihisma…” pada rakaat yang pertama dan membaca surat al-Ikhlas pada rakaat yang kedua dan membaca surat al-Falaq atau an-Naas pada rakaat yang ketiga. Atau membaca surat “Sabbihisma…” pada rakaat yang pertama dan membaca surat al-Kafirun pada rakaat yang kedua dan membaca al-Ikhlas pada rakaat yang ketiga.

Tata cara tersebut di atas semua benar. Boleh melakukan shalat malam atau tahajud atau tarawih dan witir dengan cara yang dia sukai, tetapi yang lebih afdhol adalah mengerjakan semua tata cara tersebut dengan berganti-ganti. Karena bila hanya memilih satu cara berarti menghidupkan satu sunnah tetapi mematikan sunnah yang lainnya. Bila melakukan semua tata cara tersebut dengan berganti-ganti berarti telah menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang banyak ditinggalkan oleh kaum Muslimin.

Adapun pada zaman Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu Kaum muslimin melaksanakan shalat tarawih sebanyak 11 rakaat, 13 rakaat, 21 rakaat dan 23 rakaat. Kemudian 39 rakaat pada zaman khulafaur rosyidin setelah Umar radhiyallahu ‘anhu tetapi hal ini khusus di Madinah. Hal ini bukanlah bid’ah (sehingga sama sekali tidak bisa dijadikan dalil untuk adanya bid’ah hasanah) karena para sahabat memiliki dalil untuk melakukan hal ini (shalat tarawih lebih dari 13 rakaat). Dalil tersebut telah disebutkan di atas ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang shalat malam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
« مَثْنىَ مَثْنىَ فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ »
“Dua rakaat – dua rakaat. Apabila kamu khawatir mendapati subuh, maka hendaklah kamu shalat witir satu rakaat.” (HR. Bukhari)

Pada hadits tersebut jelas tidak disebutkan adanya batasan rakaat pada shalat malam baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Batasannya adalah datangnya waktu subuh maka diperintahkan untuk menutup shalat malam dengan witir.

Para ulama berbeda sikap dalam menanggapi perbedaan jumlah rakaat tersebut. Jumhur ulama mendekati riwayat-riwayat tersebut dengan metode al-Jam’u bukan metode at-Tarjih (Metode tarjih adalah memilih dan memakai riwayat yang shahih serta meninggalkan riwayat yang lain atau dengan kata lain memilih satu pendapat dan meninggalkan pendapat yang lain. Hal ini dipakai oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam menyikapi perbedaan jumlah rakaat ini. Metode al-Jam’u adalah menggabungkan yaitu memakai semua riwayat tanpa meninggalkan dan memilih satu riwayat tertentu.

Metode ini dipilih oleh jumhur ulama dalam permasalahan ini). Berikut ini beberapa komentar ulama yang menggunakan metode penggabungan (al-Jam’u) tentang perbedaan jumlah rakaat tersebut:
• Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ia boleh shalat 20 rakaat sebagaimana yang masyhur dalam mazhab Ahmad dan Syafi’i. Boleh shalat 36 rakaat sebagaimana yang ada dalam mazhab Malik. Boleh shalat 11 dan 13 rakaat. Semuanya baik, jadi banyak atau sedikitnya rakaat tergantung lamanya bacaan atau pendeknya.” (Majmu’ al-Fatawa 23/113)
• Ath-Thartusi berkata: “Para sahabat kami (malikiyyah) menjawab dengan jawaban yang benar, yang bisa menyatukan semua riwayat. Mereka berkata mungkin Umar pertama kali memerintahkan kepada mereka 11 rakaat dengan bacaan yang amat panjang. Pada rakaat pertama imam membaca 200 ayat karena berdiri lama adalah yang terbaik dalam shalat. Tatkala masyarakat tidak kuat lagi menanggung hal itu maka Umar memerintahkan 23 rakaat demi meringankan lamanya bacaan. Dia menutupi kurangnya keutamaan dengan tambahan rakaat. Maka mereka membaca surat Al-Baqarah dalam 8 rakaat atau 12 rakaat.”
• Imam Malik rahimahullah berkata: “Yang saya pilih untuk diri saya dalam qiyam Ramadhan adalah shalat yang diperintahkan Umar yaitu 11 rakaat itulah cara shalat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun 11 dekat dengan 13.
• Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bazz berkata: “Sebagian mereka mengira bahwa tarawih tidak boleh kurang dari 20 rakaat. Sebagian lain mengira bahwa tarawih tidak boleh lebih dari 11 atau 13 rakaat. Ini semua adalah persangkaan yang tidak pada tempatnya, BAHKAN SALAH. Bertentangan dengan hadits-hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa shalat malam itu muwassa’ (leluasa, lentur, fleksibel). Tidak ada batasan tertentu yang kaku yang tidak boleh dilanggar.”
Adapun kaum muslimin akhir jaman di saat ini khususnya di Indonesia adalah umat yang paling lemah. Kita shalat 11 rakaat (Paling sedikit) dengan bacaan yang pendek dan ada yang shalat 23 rakaat dengan bacaan pendek bahkan tanpa tu’maninah sama sekali!!!

Doa Qunut dalam Shalat Witir
Doa qunut nafilah yakni doa qunut dalam shalat witir termasuk amalan sunnah yang banyak kaum muslimin tidak mengetahuinya. Karena tidak mengetahuinya banyak kaum muslimin yang membid’ahkan imam yang membaca doa qunut witir. Kadang-kadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai qunut dalam shalat witir dan terkadang tidak. Hal ini berdasarkan hadits:

كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقْنُتُ فِي رَكْعَةِ الْوِتْرِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang membaca qunut dalam shalat witir.” (HR. Ibnu Nashr dan Daraquthni dengan sanad shahih)
يَجْعَلُهُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ
“Beliau membaca qunut itu sebelum ruku.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud dan An-Nasa’i dalam kitab Sunanul Qubro, Ahmad, Thobroni, Baihaqi dan Ibnu ‘Asakir dengan sanad shahih)

Adapun doa qunut tersebut dilakukan setelah ruku’ atau boleh juga sebelum ruku’. Doa tersebut dibaca keras oleh imam dan diaminkan oleh para makmumnya. Dan boleh mengangkat tangan ketika membaca doa qunut tersebut.

Di antara doa qunut witir yang disyariatkan adalah:
الَلَّهُمَّ اهْدِناَ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِناَ فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّناَ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَباَرِكْ لَناَ فِيْماَ أَعْطَيْتَ، وَقِناَ شَرَّ ماَ قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّناَ وَتَعَالَيْتَ، لاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ »