Ahad, 23 Mei 2010 Pukul 08.00 sarapan nasi pecel sambil melihat film kartun favorit, Doraemon. Kali ini film imut asal Jepang tersebut mengisahkan tentang Nobita yang disidang oleh Giant dan Suneo. Nobita diejek Giant dan Suneo bahwa yang dikatakannya tentang adanya monster berwujud dinosaurus hanya omong kosong belaka. Akhirnya, dengan bantuan Dorami (adik Doraemon), Nobita bisa membuktikan omongannya. Hayah, kok malah nyeritain Doraemon. Pukul 08.30 akhirnya berangkat berpetualang!!!
Keluar kost langsung menuju jalan Otista Raya. Alhamdulillah, langsung naik angkot 06 menuju Pasar Rebo. Turun di bawah fly-over dekat Pasar Rebo. Weleh, bingung juga selanjutnya kan naik 510 (berdasarkan petunjuk jalan dari Mba Iecha), tapi bus 510-nya kok ga ada. Pandangan kuedarkan di sekeliling. Malu bertanya sesat di jalan. Akhirnya, bertanya ke penjual koran setelah sebelumnya beli korannya dulu. Hehe, taktik! Akhirnya bapak penjual koran itu menunjukkan letak jalur bus 510. Sip, langsung nyebrang jalan (sambil sedikit lari tentunya, maklum... Jakarta!). Di seberang jalan, pas lampu merah, ada 510 berhenti. Langsung naik! Trus mencari kondektur (Lhah, malah cari kondektur dulu daripada tempat duduk). Kondekturnya ternyata bergelayutan di pintu belakang. Langsung kutanya, ”Pak, lewat UIN Ciputat kan?”.
Kondektur itu pun menjawab, ”Oh, Mbak naik 510 yang dari sana!” (sambil menunjuk jalan di sebelah timur)
Akhirnya aku turun lagi dan menyeberang jalan. Saat sampai di seberang, ada ibu-ibu yang mendekati dari arah belakang.
”Mau naik 510 ya Mbak. Saya juga. Bareng aja”
Plong.. alhamdulillah...
Sampai di seberang jalan, berjalan ke arah timur agak jauh. Jalannya becek.. ga ada ojek.. weleh 3x! Akhirnya ketemu juga dengan bis 510. Penuh! Bergelayutan deh. Road to Ciputat!
Sambil bergelayutan, tengok kanan-kiri, cari UIN Ciputat. Setelah kurang lebih 15 menit sampai juga... Alhamdulillah...
Agenda di UIN kali itu ”meeting” bersama 8 orang yang sangat inspiratif di beranda Fakultas Dakwah UIN. Ada tender bisnis yang harus digarap dan aku bagian dari tim tersebut. Bisnis apa??? Hmm, kalau yang ini masih dirahasiakan. Doakan sukses ya!
Saat adzan berkumandang, kami mengakhiri meeting itu. Lanjut ke masjid kampus UIN Syarif Hidayatullah untuk sholat trus makan siang di depan warung depan masjid.
Setelah sholat, berpisah dengan rekan-rekan. Aku naik angkot 02 putih menuju terminal Lebak Bulus. Sebenarnya mau menuju Kampung Melayu (tujuan utama ke Gramedia Matraman), tanya sopir angkotnya, ternyata dia ga tahu. Weleh... akhirnya turun di dekat terminal Lebak Bulus. Eh, ada Kopaja 20. Tanya ke kondektur, ”Bisa ke Kampung Melayu?”
”Bisa, tapi turun di Mampang.”
Mendung bergelayut. Gelap. Tapi mendung ga selalu berarti hujan kan? Hanya mendung memberikan asumsi pada kita bahwa probabilitas hujan akan turun lebih besar (ga perlu diuji hipotesis kok! Hehe..).
Kopaja 20 yang mengangkutku akhirnya sampai di Mampang juga. Langsung aku didepak. Hehe, ga ding. Ironis banget! Yang bener, aku langsung turun untuk ganti bis. Eh, ada Kopaja 602 jurusan Tanah Abang. Aku pikir pastinya Kopaja ini lewat Kampung Melayu. Seiring berjalannya waktu, aku mulai curiga. Karena Kopaja 602 ini malah menuju ke arah Kuningan. Berarti ga lewat Kampung Melayu dung! Ya sudahlah, mau turun juga ga enak banger. Hujan turun deras sekali. Beberapa ruas jalan terendam setinggi mata kaki. Banjir euy. Tapi aku sangat menikmati perjalanan ini. Hehe... Pada akhirnya aku turun di depan Blok A Tanah Abang. Jalan kaki lewat jembatan kecil, air masih setinggi mata kaki. Untungnya, trotoar jembatan lebih tinggi dari jalan sehingga tak perlu berbasah-basah ria! Hujan masih turun rintik-rintik.
Gamang.. Mau ke Gramedia Matraman harus naik Kopaja 502. Tapi kalau naik Kopaja 502 makan waktu lama plus harus siap basah-basahan. Akhirnya, di tengah kemacetan depan Blok A Tanah Abang, ada sebuah taksi yang ikut-ikutan berada di barisan itu. Hehe... Langsung aku ketok kaca jendela sopirnya. Dibuka sang sopir.
”Pak ke Matraman ya?? Gramedia!”
“Ya..”
Langsung masuk ke taksi. Awalnya taksi berjalan begitu pelan. Macet di tengah banjir. Tapi alhamdulillah, bisa keluar dari kemacetan dan melaju menuju Gramedia Matraman. Untungnya ongkosnya ga terlalu mahal (dah ketar-ketir nih... jatah beli buku kan bisa berkurang!)
Sampai jualah di Gramedia Matraman. Inilah salah satu tempat “nongkrong” favorit saya (buka rahasia nih). Selain bukunya komplit, bisa baca buku sampai puas (meski pada kenyataannya ga pernah merasa puas!).
Langsung meluncur ke Lantai 3. Memilah dan memilih beberapa buku yang wajib dibeli, tentunya disesuaikan dengan budget yang sudah dipatok sendiri (Ingat! Usahakan selalu ”besar tiang daripada pasak”...hehe... terus rajin menabung dan membeli buku... ^^v).
Setelah beberapa buku sudah dibeli (kali ini terpaksa juga beli ”Muslim Padat Karya” juga. Lha penulisnya pelit.. ga mau ngasih gratisan!! Peace boz!), lanjut turun ke lantai 2. Rencana mau bayar di kasir. Eh, ternyata ada BINCANG BUKU bersama Tasaro GK, penulis novel Muhammad : Lelaki Penggenggam Hujan. Tertarik. Wah, dah penuh... Akhirnya berdiri di deretan belakang. Selang berapa menit, alhamdulillah ada yang meninggalkan tempat. Bisa duduk deh (meski posisinya juga masih di belakang... ga papalah!).
Wah, dah telah nih!!! (agak nyesel : mode on). Tapi alhamdulillah masih ada kesempatan sharing dengan Kang Tasaro. Beliau cerita tentang reaksi penolakan ibunya saat beliau mengungkapkan keinginannya untuk menuliskan novel tentang Muhammad. Ibunya langsung bilang, ”OJO!!!” (Jangan!!!). Tapi akhirnya, Tasaro berhasil menuliskan novel itu dan mendedikasikan novel tersebut pada ibunya (bisa dibaca pada halaman awal novel tersebut)
Dedikasi buku : Kudedikasikan buku ini segenap hati untuk perempuan berbalung baja UMI DARIYAH, Engkau pernah begitu khawatir ketika aku memulai proyek ini. “Bahaya Le. Bagaimana kalau kamu nanti dicerca orang-orang?” tanyamu. Kujawab begini hari ini, “Ibu, jika kelak ada orang yang salah paham dengan terbitnya buku ini, aku yakin itu terjadi karena mereka mencintai Kanjeng Rasul. Dan, percayalah Ibu, aku menulis buku ini, disebabkan alasan yang sama
Hmm, awalnya saya mengenal Tasaro hanya dari seorang teman (inisal ”FC”) yang katanya mau mewawancarai Tasaro untuk komunitas yang kami kelola. Penasaran. Akhirnya, tahu juga kalau Tasaroa adalah seorang penulis novel tentang Muhammad. Tadi sempat mau beli novel itu, tapi akhirnya tertuju pada pilihan buku yang lain. Tasaro G.K lahir di Gunung Kidul, 1 September 1980. Tasaro pernah menjadi wartawan selama lima tahun. Penghargaan yang pernah diperoleh : FLP Award (2006), Penghargaan Menpora (2006), Juara Cerbung Femina (2006), Juara Skenario Nasional Direktorat Film (2006 & 2007), Penghargaan Adikarya Ikapi, 2009, Anugerah Pena (2009). Kini menjalani profesi sebagai editor, dan penulis tentunya! Sudah punya seorang istri, namanya Alit Tuti Taufiq, dan seorang anak : Senandika Himada (nama Himada terinspirasi dari nama Rasulullah SAW dan menjadi judul pada Bab I : Himada! Himada!). Hmm... mangtabz!
Pada bincang buku kali ini, Tasaro juga mengisahkan bahwa sosok yang memberi kritikan terbesar pada novelnya adalah sang editornya.
Pada kesempatan itu, juga ada testimoni dari seorang pengunjung yang beragama Kristen. Beliau sangat mengapresiasi novel karya Kang Tasaro tersebut..
Wah, karena keasyikan, jadi lupa belum bayar!
Akhirnya melangkah ke kasir. Membayar. Trus ke mushola untuk sholat Asar. Setelah sholat, pengin langsung pulang karena udah ada konser di perut (padahal masih sore). Antara kaki dan kepala tidak sinkron. Perut mengatakan : Pulang aja, dah laper! Isi kepala mengatakan : Ikut bincang buku lagi aja! Mumpung ada Kang Tasaro. Ternyata Menang isi kepala. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke lantai 2, melanjutkan bincang buku dengan Kang Tasaro. Rasa lapar langsung ku ’binasakan’, diganti rasa penasaran dan semangat untuk meraup inspirasi dari Kang Tasaro. Sampai di TKP, sudah sampai ke sesi pembagian doorprize. Walah, meski dah angkat tangan, tetap aja ga ditunjuk. Bukan rezekiku kali ya dapat kaos dan tasnya. Hehe...
Pada pembagian doorprize ini, ada seorang peserta yang diminta Kang Tasaro untuk membaca Jejaring Muhammad (setelah kubaca sendiri... DAHSYAT!!!)
Baca ya... nih.. (tapi yang lengkap ada di bukunya.. ini hanya sebagian...)
**
JEJARING MUHAMMAD
Pukul 00.55. Saya masih asyik dengan Facebook. Saya ketakutan. Kepala saya seperti digerayangi kengerian. Merinding. Seperti ada yang memperhatikan saya. Sumpah, ini bukan soal jin tomang, kuntilanak, sundel bolong, suster ngesot, dan pasukannya. Ini lebih… spiritual. . Saya seperti merasakan kehadiran Tuhan. Apapun itu. Media apa pun itu. Ini benar-benar sangat spiritual. Mengerikan, tapi juga menenangkan.
Semua bermula dari kementokan.
Saya tidak sanggup bergerak setelah novel itu sampai di halaman folio 252 spasi satu. Ada yang salah. Saya tahu ada yang salah. Menuliskan kisah Muhammad SAW bukan sekedar mengumpulkan sudut pandang Haikal, Martin Lings, Tariq Ramadhan, karen Armstrong, Ibnu Hisyam , dan para penulis yang memahat namanya pada dinding sejarah Muhammad. Tidak. Bukan sesederhana itu. Sebab, saya telah melakukannya dan tetap saja merasa ada yang salah.
Malam itu, sampai pukul 00.00, editor saya bertandang ke rumah. Sedari Maghrib kami berbincang banyak. Dia pemuda fantastik yang sudah tidak butuh pujian. Orang memanggilmu filsuf muda, saya menjulukinya santri gaul.
“Apa yang akan kita bahas malam ini?” tanyanya.
Saya tahu dia bingung. Naskah saya belum berkembang. Padahal, penerbit ingin naskah ni sudah launching awal Januari 2010. Saya katakan kepadanya, saya merasa ada yang salah. Kami kemudian sedikit sekali berbicara tentang teknis naskah. Kami lebih banyak berbincang tentang hidup dan tentang Muhammad.
Dia meyakinkan saya, tidak ada yang kebetulan. Kami saling mengenal sungguh dengan cara baik. Saya tahu dia, dia tahu saya. Tapi kami belum pernah bertemu. Hingga ada seseorang yang membuat kami tak sanggup lagi menampik “jejaring” itu; kami memang harus saling mengenal. Sebelum penerbit meminta dia menjadi editor saya, sudah sejak lama saya memintanya secara pribadi. Dulu dia selalu menolak. Tiga kali saya minta, tiga kali dia menolak.
Ini tentang Muhammad SAW.
Setelah berbulan-bulan saya menggeluti segala literature tentang Muhammad SAW, saya merasa menyerah. Tak sanggup lagi. Saya merasa terkait dengan Rasulullah. Terkait secara emosional. Yang saya lakukan hanyalah menovelkan kisah hidupnya. Itu tidak cukup. Saya benar-benar menyerah. Salman Faridi, petinggi Penerbit Bentang salah orang ketika mendatangi saya dan meminta saya menulis novel tentang Muhammad SAW.
Salah orang. Saya ini Muslim yang payah sekali. Kualitas keimanan saya belum juga membaik. Saya kadang terlalu rasional. Tidak merasa terkait dengan Tuhan. Shalat sekadarnya saja. Doa tidak dibarengi percaya. Ini benar-benar kecelakaan. Salman salah orang.
Malam tadi, ketika sang editor, Fahd Djibran, pamitan, saya berkata, “Seperti pembuat keris, tampaknya saya butuh sebuah ‘ritual’ khusus. Entah apa itu. Sesuatu yang membuat saya yakin untuk menyelesaikan proyek ini.”
Setelah dia benar-benar pulang, saya merenung. Apa sebenarnya yang terjadi pada saya? Sejak kecil saya selalu meyakini Allah dengan cara sendiri. Lingkungan tidak menjanjikan sebuah pemahaman tauhid yang paripurna. Tapi saya tahu, saya terjaga. Entah bagaimana, bisa. Bahkan saya cuma sesekali ikut TPA. Saya bisa membaca hijaiyah umur 22. Sangat terlambat. Tapi entah bagaimana, saya merasa terjaga. Saya tidak menjadi penyembah keris, pohon, atau klenik lainnya. Saya percaya Allah. Saya menghindari makanan yang diharamkan. Begitu saja. Tanpa ilmu sama sekali.
Kemudian waktu berjalan cepat. Saya tumbuh. Sisi spiritual saya tidak tertatah. Maksiat… oh… maksiat. Mungkinkah itu yang membangun tembok antara saya dan Tuhan. Saya tetap sadar Dia mengelilingi saya dengan “matanya”. Tapi saya tidak terlalu peduli. Saya malas belajar lagi untuk mendekati-Nya. Saya hanya menggulirkan hari-hari. Saya tahu saya religius. Minimal sebagai pengarang, saya tidak menulis dengan gaya Fredy S, atau model Nick Carter (bacaan saya waktu SMP). Tapi religiusitas itu sampai di situ saja. Sampai pada tahap saya tidak mau panen royalti di akhirat nanti. Royalti keburukan. Tidak lebih dari itu.
Saya berpikir lagi. Ada apa dengan saya? Ini kesalahan besar. Orang yang semacam saya, mengapa menulis tentang Muhammad SAW? Siapa saya? Saya bentangkan lagi apa pun yang pernah terjadi pada hidup saya. Perlahan tetapi pasti, saya merasa ada keanehan-keanehan. Iseng saya mengecek koleksi buku saya. Tiga buku tentang Muhammad SAW saya ambil. Sekedar ingin tahu, saya mengecek halaman awalnya. Dulu saya punya kebiasaan mencatatkan tanggal, bulan, dan tahun membeli buku.
Seketika saya merasa ada yang tidak biasa. Tiga buku itu : Muhammad sang Pembebas, saya beli pada 12 November 2003, Muhammad sang Nabi pada 14 November, dan Dialah Muhammad pada 20 Muhammad 2003. Dahi saya berkerut. Saya merasa tidak akrab dengan Rasulullah, tidak berkoneksi dengan baik, tidak mengenalnya. Namun, bagaimana mungkin enam tahun lalu, dalam sebulan saya membeli buku tebal-tebal tentang beliau?
Jeda pembelian buku itu memperlihatkan sebuah antusiasme. Tiga buku itu pun sangat lusuh. Artinya saya tidak membelinya sebagai koleksi. Saya benar-benar membacanya. Jadi, enam tahun lalu saya pernah begitu cinta kepada Muhammad SAW. Sesuatu yang selama bertahun-tahun kemudian mongering. Bahkan saya lupa pernah begitu penasaran terhadap dirinya.
“Keanehan” itu lalu saya beritahukan kepada Fahd melalui SMS, Dia membalas dengan sebuah perintah yang membuat saya shock. “Masih ingat diskusi kita tentang cahaya Tuhan yang ditampakkan kepada Musa? Bacalah Surat Tha Ha/Muhammad (20) ayat 12 dan 14, malam ini juga. Lihat maknanya. Perhatikan konfigurasi angkanya. Tidak ada peristiwa yang kebetulan, bukan?”
Saya belum mandi. Belum berwudu. Merasa kotor. Tapi saya tidak peduli. Saya raih Al Qur’an. Lalu mencari dua ayat itu.
“Sungguh, Aku adalah Tuhanmu, maka lepaskan kedua terompahmu. Karena sesungguhnya engkau berada di lembah suci, Tuwa.” (Q.S. 20 : 12)
“Sungguh aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakan sholat untuk mengingat Aku.” (Q.S. 20 :14)
Perlahan tapi sangat pasti, saya merasa ada yang menggerayangi kulit kepala saya. Merinding bukan main. Sedikit histeris ketika akhirnya sadar, angka-angka itu! 12… 14… 20. Tanggal-tanggal itu!
Setelah saya curhat tentang tembok antara saya dengan Tuhan, tidak ada koneksi antara saya dengan Rasulullah, seperti seketika ayat-ayat itu disorongkan ke depan mata saya, “LEPASKAN TEROMPAHMU!” Lepaskan duniamu, logikamu, rasionalitasmu, kesombonganmu! (saat menuliskan ini, air mata saya meleleh, tangis saya muncrat dengan suara jelek sekali).
“Kita tidak pernah tahu apa yang menggerakkan Mas Tasaro membeli buku-buku tentang Muhammad pada tanggal 12, 14, dan 20 dalam satu bulan yang sama. Aku juga tidak tahu (si)apa yang menggerakkan untuk membuka Al-Qur’an surah 20 ayat 12 dan 14 dan menyarankanmu membacanya.”
Itu SMS dari Fahd setelah saya mengabarinya sesuatu yang jarang terjadi, “Fahd, akhirnya aku menangis!”
Setelah detik itu lalu saya mengurai lagi apa yang sebenarnya telah mengantar saya ke hari ini. Sebuah jejaring raksasa pada sebuah nama, sebuah konsep, sebuah keagungan: MUHAMMAD. Yah… ini semua… 29 tahun ini… semua sedang menuju sebuah titik : MUHAMMAD
-bersambung-
Tasaro GK
**
SUBHANALLAH!!!!
***
Setelah acara selesai, aku langsung beli bukunya Kang Tasaro. Trus berjalan ke panggung, minta tanda tangan, kata inspiratif, dan foto bareng deh!!!
Pada halaman depan buku Muhammad, Lelaki Penggenggam Hujan itu, Kang Tasaro menuliskan :
”Buat ETIKA… Ada yang mulia dalam namamu…”
Sempat ngobrol sebentar dan memperkenalkan diri. Kang Tasaro bercerita kalau novel ini digarap dalam waktu 6 bulan. Setelah itu sedikit ”memaksa” Kang Tasaro untuk menuliskan lagi kata inspiratif buatku.
”Menulis sampai mati” (Tasaro GK).
Makasih banget ya Kang Tasaro!!!
***
Pulang dari Gramed langsung update status :
”Laksana burung yg pergi pagi dan pulang di senja hari dgn perut kenyang! Alhamdulillah, seharian ni berPETUALANG yg sungguh INSPIRATIF, pulang bw bnyk "oleh-oleh".. Pngalaman, proyek bisnis, buku2, ilmu, ukhuwah, ktmu ma pnulis trkenal, dll. Terima kasih Ya Allah.. Siap ditulis dan upload d blog.. Jgn lp brknjung k zona inspirasi Aisya Avicenna => THICKO ZONE ^^v”
***
Dalam perjalanan ke kost, membaca cover belakang novel setebal 540-an itu...
Kashva pergi dari Suriah, meninggalkan Khosrou, sang penguasa Persia, tempatnya mengabdikan hidup demi menemukan lelaki itu : Muhammad, Al-Amin yang kelahirannya akan membawa rahmat bagi semesta alam, pembela kaum papa, penguasa yang adil kepada rakyatnya. Kehidupan Kashva setelah itu berubah menjadi pelarian penuh kesakitan dan pencarian yang tiada henti terhadap sosok yang dijanjikan. Seorang Pangeran Kedamaian yang dijanjikan oleh semua kitab suci yang dia cari dari setiap ungkapan ayat-ayat Zardhusht sampai puncak-puncak salju di perbatasan India, Pegunungan Tibet, biara di Suriah, Istana Heraklius, dan berakhir di Yatsrib, sang Kota Cahaya. Hasrat dalam diri Kashva sudah tak terbentung lagi. Keinginannya untuk bisa bertemu dengan Muhammad demikian besar hingga tak ada sesuatu pun yang membuatnya jerih. Bahkan maut yang mengintai dari ujung pedang tentara Khosrou tak juga meyurutkan kerinduannya bertemu Muhammad. Kisah pencarian Kashra yang syahdu dalam novel ini akan membawa kita menelusur Jazirah Arab, India, Barrus, hingga Tibet.
Bagaimana kisah selengkapnya???
Hmm, aku akan segera menemukan jawabannya!!!
Bacaan wajib pekan ini nih...
”Buat ETIKA… Ada yang mulia dalam namamu…”
Tulisan Kang Tasaro itu menginspirasi untuk lebih mengenal siapa sejatinya diri ini. Karena ... dengan begitu akan mengenal Allah SWT dan orang-orang yang dicintaiNya, termasuk Rasulullah SAW..
Jakarta, 24 Mei 2010, 17:07
Aisya Avicenna
owh... owh... senang ny bisa bertemu langsung Pak Tasaro. Saya yg mengikuti buku2 nya dari dulu blm pernah ketemu apalagi liat wajah nya...
ReplyDeleteberuntung kali mbk Thicko ni...
^^
keep posting,,