Dalam setiap pilihan hidup, seorang mukmin beristikharah pada Allah.
Tetapi shalat istikharah itu hanyalah salah satu tahapan saja, sebagian dari tanda kepasrahannya kepada apa yang dipilihkan Allah bagi kebaikannya. Untuk dunia, agama, dan akhiratnya. Istikharah yang sesungguhnya dimulai jauh sebelum itu; dari rasa taqwa, menjaga kesucian ikhtiar, dan kepekaan dalam menjaga hubungan baik dengan Allah.
Ketika segala sebelumnya dijalani dengan apa yang diatur-Nya, maka istikharah adalah saat bertanya. Pertama tentang pantaskah kita dijawab oleh-Nya. Yang kedua, seperti apa jawab itu. Yang ketiga, beranikah kita untuk menerima jawab itu. Apa adanya. Karena itulah sejujur-jujurnya jawaban. Di situlah letak furqaan, kepekaan khas orang bertaqwa.
Karena soalnya bukanlah diberi atau tidak diberi. Soalnya, bukan diberi dia atau diberi yang lain. Urusannya adalah tentang bagaimana Allah memberi. Apakah diulungkan lembut dengan cinta, ataukah dilempar ke muka dengan penuh murka. Bisa saja yang diberikan sama, tapi rasa dan dampaknya berbeda. Dan bisa saja yang diberikan pada kita berbeda dari apa yang diharap di hati, tapi rasanya jauh melampaui. Di situlah yang kita namakan barakah.
Di jalan cinta para pejuang, ada taqwa yang menjaminkan barakah untuk kita…
(taken from Jalan Cinta Para Pejuang : Salim A. Fillah)
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.
Salam,
Keisya Avicenna