Senin, 25 Oktober 2010. Hari ini jadwalku stand by di Unit Pelayanan Perdagangan (UPP). Minimal seminggu sekali, kami (beberapa staf baru Direktorat Impor) memang mendapat jatah tugas untuk menjadi front liner (layaknya di bank). Tugas kami cukup signifikan dalam menentukan proses importasi. UPP adalah “pintu utama” keluar masuknya perizinan impor di Kementerian Perdagangan. Kami biasa bertugas dari jam 9 sampai jam 5 sore. Semuanya serba online.
Hari ini, rencananya setelah tugas di UPP mau langsung pulang. Tapi ternyata hujan turun dengan lebatnya. Akhirnya, aku naik saja ke lantai 9 (Direktorat Impor). Malah dapat tugas untuk menjawab surat dari importir. Berbahasa Inggris pula. A good challenge for me! Habis Maghrib, jawaban untuk surat itu tinggal editing saja. Setelah pekerjaan selesai, aku putuskan untuk pulang meski air masih terus dimuntahkan dari langit. Saat itu pukul 18.30.
Awalnya mau naik taksi saja karena perut ini tak bisa diajak kompromi. Desminor, hari pertama! Menunggu di dekat pintu gerbang kantor, tapi taksi selalu berisi penumpang. Akhirnya, berjalan menuju tempat biasa menanti Kopaja 502. Subhanallah, banyak juga ‘pesaing’nya. Ternyata sejak tadi mereka juga menunggu kedatangan Kopaja 502. Tak seperti biasanya, Kopaja 502 jarang lewat. Sekalinya lewat, sudah tak ada sisa ruang untuk mengangkut kami yang masih berjajar di sepanjang trotoar. Menunggu dan terus menunggu. Taksi kosong yang sliweran di depanku tak mau berhenti saat aku mencoba menghentikannya. Ada apa ini? Aku merapal doa.
Satu jam berlalu. Kaki rasanya sudah kaku. Perut serasa diremas-remas. Kesabaran dan kekuatan (terutama fisik) tengah diuji! Ya Rabb, semoga hamba kuat. Lahaula walaquwwata ila billah... Berdzikir, sesekali bernasyid lirih...
Di sini aku mengharap ridho-Mu
Di sini aku mengiba rahmat-Mu
Di sini aku tambat munajatku
Di sini aku kembali
(Izzatul Islam)
Ibuk SMS. Mencemaskan keadaanku setelah beliau melihat berita di TV tentang banjir dan kemacetan yang melanda ibukota. Aku ceritakan keadaanku, bukan bermaksud menambah cemas beliau, tapi aku mengharapkan doa terbaik dari bunda tercinta. Tiba-tiba… Brakkk! Di depanku ada empat motor yang tabrakan dan jatuh. Pengendara motor yang tahu kalau motornya agak rusak, langsung marah-marah pada pengendara yang menabrak. Hmm, akhirnya aku berjalan ke arah utara beberapa meter, takut kalau berlama-lama di situ. Tapi sepertinya tidak sampai terjadi perkelahian.
Saat itu masih gerimis. Alhamdulillah, akhirnya bertemu dengan Mbak Prima, teman kantor. Jadi ada teman ngobrol. Mbak Prima mengenalkanku dengan seorang temannya, Mbak Neny. Ternyata Mbak Neny juga mengarah ke daerah Kampung Melayu. Berhubung tidak ada Kopaja 502 yang bisa dinaiki, maka aku dan Mbak Neny sepakat naik bajaj sampai ke Senen. Alhamdulillah, dapat ‘bajaj biru’, jadi cukup nyaman. Mbak Prima pulang berjalan kaki karena kostnya memang dekat dengan kantor.
Alhamdulillah, sampai juga di Senen. Eh, ongkosnya dibayar Mbak Neny dan tak mau diganti. Rezeki di kala hujan! Subhanallah, tambah terkejut lagi karena di Senen jumlah orang yang menunggu angkot juga sangat banyak. Ramai sekali. Awalnya, aku dan Mbak Neny sepakat untuk naik taksi saja. Tapi ternyata tak satu juapun taksi yang mau berhenti saat kami ‘STOP’. Mbak Neny memutuskan untuk naik busway. Aku tak mengikutinya karena jarak shelter busway ke kostku cukup jauh. Aku tetap menunggu angkot atau taksi yang lewat. Angkot 01 tak kunjung lewat. Naik bajaj saja sampai ke Kampung Melayu. Begitu pikirku. Tak lama kemudian, ada ‘bajaj biru’ yang berhenti di depanku. Mau menawarnya, keduluan seorang ibu muda yang berdiri di sampingku.
“Jatinegara berapa, Pak?” tanya ibu itu.
“Dua puluh lima ribu!” jawab sopir bajaj.
Aku mendekati sang ibu, “Ibu mau ke Jatinegara? Saya mau ke Kampung Melayu! Bareng saja Bu!” Ibu itu mengiyakan.
“Pak, ke Kampung Melayu ya? Berapa?” tanyaku pada sang sopir.
“Empat puluh ribu!” jawabnya.
“Tiga puluh ya Pak!” tawarku.
“Tiga lima deh!” jawab sang soper, final!
Sepakat. Tiga puluh lima ribu sampai terminal kampung Melayu. Di dalam bajaj, aku berkenalan dengan ibu muda yang bernama Dina itu. Mbak Dina ternyata akan dijemput suaminya di Kampung Melayu. Wah, enak juga ya kalau dah punya “jemputan”. Hehe... batinku!
But, the fight must go on....!!! Hujan sudah reda, tapi masih menyisakan dingin yang merasuk. Dan tentunya, kemacetan yang kian menggila.
Pak sopir mengambil jalan alternatif saat bajaj sudah memasuki kawasan Salemba. Sampai juga di Matraman. Subhanallah, sepanjang jalan banyak orang yang menunggu angkot. Tak sedikit juga yang berjalan kaki. Setelah melewati Gramedia Matraman, tiba-tiba bajajnya berhenti. Macet. Berulang kali pak sopir berusaha menyalakan, tapi tak kunjung bisa. Akhirnya, aku dan mbak Dina mau tak mau turun di situ. Tiga puluh ribu melayang. Wow, perjalanan masih jauh untuk bisa sampai di terminal Kampung Melayu. Sudah hampir pukul 22.00. Ya Rabb... jadi teringat semasa di Solo. Jam 20.00 sudah tidak boleh ‘berkeliaran’. Melanggar jam malam nih! Deg-degan juga...
Tak ada satupun angkot 01 yang lewat. Akhirnya kami memutuskan untuk jalan kaki. Alhamdulillah, kaki ini masih kuat untuk melangkah. Kami long march dari Matraman sampai Gang Kelor. Lumayan juga ‘jalan-jalan’nya! Alhamdulillah, di Gang Kelor kami bertemu dengan angkot 06 yang masih kosong dan akhirnya naik angkot itu. Sampai di kampung Melayu, Mbak Dina turun. Masih dengan angkot 06, aku menyusuri jalan Otista yang juga macet. Beberapa penumpang yang mobilnya terjebak di jalur busway, keluar dari mobilnya. Pukul 22.30 sampai jua di dekat ATM BCA Otista. Aku turun di situ.
Aku masih harus berjalan melewati gang-gang kecil untuk bisa sampai di kost. Saat aku menengadah ke atas, ada senyum purnama bertahta di singgasana langit. Subhanallah, indahnya. Jalanan sepi. Aku mempercepat langkah. Ada cemas sekaligus harap, semoga jalan samping kost tidak tergenang banjir. Alhamdulillah, Allah menjawab doaku. Bersyukur sekali ada penjual nasi goreng yang masih mangkal. Akhirnya, aku membeli sebungkus nasi goreng dulu. Lapar nian! Setelah itu, aku masuk gang menuju kostku. Masya Allah, ternyata sore tadi banjirnya parah. Beberapa warga masih terjaga. Mereka membersihkan rumah yang sempat kemasukan air. Ternyata kostku juga. Lantai 1 kebanjiran. Dua kamar milik sahabatku terpaksa ‘dievakuasi’ barang-barangnya. Alhamdulillah kamarku (Redzone) berada di lantai 2, jadinya aman-aman saja. Jam dinding merah bermerk “Ummi” tepat menunjukkan pukul 23.00 saat aku memasuki Redzone. Alhamdulillah... langsung telepon Ibuk. Ternyata Babe dan Ibuk masih terjaga menunggu kabar dariku. Setelah itu makan malam bersama my supertwin yang tengah kelaparan menanti makanan yang aku bawa. Afwan ya!
Subhanallah walhamdulillah, kisah yang luar biasa hari ini! Semoga bisa mengambil hikmahnya. Terus bersabar dan senantiasa bersyukur ya! Allah akan selalu bersama kita... aamiin...
Redzone, 27 Oktober 2010
Aisya Avicenna
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.
Salam,
Keisya Avicenna