by Bambang Trim on Sunday, October 17, 2010 at 8:46pm
Siapa sebenarnya yang meramaikan jalan buku itu? Dialah para pengarang dan penulis. Sumber utama nafas penerbitan adalah naskah dan para kreatornya adalah para pengarang dan penulis. Ide yang tebersit di otak mereka, lalu menjelma menjadi karya adalah peta masa depan industri perbukuan. Karena itu, sepatutnya memang para pengarang dan para penulis diberi sebuah peluang untuk bertumbuh dan berkembang dengan pupuk alami tanpa pestisida. :)
Sepuluhan lebih orang-orang muda meskipun di antaranya ada seorang bapak sepuh dari FLP Solo, sore ini mampir ke rumah kontrakan saya di daerah Colomadu. Kami langsung membuka diskusi soal penerbitan dan pernasakahan. Posisi sebagai tuan rumah juga merangkap menjadi pembicara sentral membuat saya bicara lepas. Maka saya bicara soal hal ideal yang dapat dilakukan penerbit kepada pengarang dan penulis; lalu soal jalan taktis menerbitkan buku; mainstream penulisan; dan banyak hal yang isinya masih seputar apa dan bagaimana menulis buku. Boleh jadi ini topik lama soal keinginan menjadi penulis dan bagaimana dapat direalisasikan. Namun, saya paham selalu lahir generasi baru penulisan pada setiap zaman atau satu dekade.
Saya adalah generasi remaja yang tumbuh bersama Imung, Lupus, dan Balada Si Roy. Saya generasi yang juga menikmati kedigjayaan gaya menulis populer Arswendo, Emha Ainun Nadjib, dan Jalaluddin Rakhmat. Saya masih bisa menikmati sisa kehebatan penulisan Romo Mangun, Kuntowijoya, Umar Kayam, hingga Motinggo Busye. Mereka para maestro tulisan yang tulisannya benar-benar memiliki daya pikat luar biasa. Lalu, lahir generasi baru penulis seperti Ayu Utami, Seno Gumira, Dewi Dee, HTR, hingga masa Kang Abik dan Andrea Hirata, bahkan ke masa Raditya Dika. Semua menunjukkan daya, di luar keabsurdan yang kadang disandang dari metode, gaya, hingga hasil karya.
Kini, para kaum muda tadi sedang mencari cara sekaligus model sebuah jalan buku yang akan mereka tempuh. Beruntung mereka berada pada zaman tumbuhnya industri penerbitan dan makin baiknya kompensasi penulisan. Mereka juga tumbuh pada zaman mudahnya mengakses informasi hanya dalam satu klik. Mereka juga tumbuh pada zaman yang tidak membutuhkan tip-ex untuk mengulang ketik tulisan yang keliru atau tak bermutu. Namun, dalam satu sisi kadang-kadang banyak dari mereka yang kehilangan orientasi dalam menulis. Menulis buku untuk apa? Mau ngapain? Caranya bagaimana?
Bergulat dengan industri buku sejak 1994, membawa saya mengikuti riuh rendah industri buku--sebuah industri kreatif pengemasan ide yang selalu dinamis. Dahulu para penulis muncul dan tumbuh dengan sebuah proses. Namun, proses itu kini semakin bersicepat dan kadang-kadang tak terpikirkan lagi. Tiba-tiba seseorang yang baru muncul sudah mengusung portofolio telah menulis puluhan hingga ratusan buku. Ada lagi yang mengusung portofolio bahwa bukunya adalah buku best seller meski namanya terasa baru terdengar dan bukunya tak pernah terlihat diekspose di toko buku modern. Zaman kini memang serba instan sampai menawarkan kemudahan. Hanya dengan menggunakan jasa digital printing dan POD, seseorang dapat menerbitkan buku sendiri tanpa harus melewati saringan bernama rapat redaksi ataupun editorial sebuah penerbit. Maka tak perlu mengurut dada tumbuhnya penulis karbitan ataupun tiba-tiba begitu banyak orang yang seolah menjadi penyair sekaligus novelis.
Inilah industri yang riuh rendah dan diramaikan oleh para pengarang/penulis seperti pendekar dari berbagai golongan. Mereka ada yang unjuk gigi, dan ada pula yang 'low profile' lebih mengandalkan unjuk gigih. Jurus yang mereka mainkan kini bermacam-macam: ada yang menggunakan senjata milist, facebook, twitter, atau cara-cara kuno. Ada juga yang menggunakan jurus Dewa Mabuk, Kunyuk Melempar Buah, atau Tendangan Tanpa Bayangan. Sampai di sini banyak penerbit yang terkecoh, ada yang langsung mati terkapar, dan ada juga yang mampu berkelit, jumpalitan. Tak dimungkiri bahwa peran para pengarang/penulis inilah yang membuat industri penerbitan menjadi riuh rendah, termasuk juga adanya kehadiran pendekar asing, seperti JK Rowling, Stephanie Meyer, Dan Brown, Rhonda Byrne, Dr. Oz, dan Malcom Godwell yang juga turut menggoyang pasar buku Indonesia.
Sekumpulan teman-teman FLP tadi memang seperti sedang mencari ilmu kanuragan. Seperti ini yang saya suka, proaktif mendatangi para penggiat dunia buku dan literasi, lalu berdiskusi secara informal. Pesan saya bahwa seberapa banyak pun mereka mengikuti seminar atau training penulisan takkan berarti apa-apa manakala tak terlihat jalan sedikit pun untuk berkarya dan menancapkan eksistensi. Betul, persaingan semakin hari semakin tinggi. Namun, Allah akan mempertemukan peluang bagi mereka-mereka yang mau mengambil jalan berpayah-payah atau menggumpalkan segenap cinta dan cita di dunia perbukuan. Lalu, yang dibutuhkan selanjutnya adalah strategi dan taktik jitu--bukan sekadar motivasi atau berita baik bahwa menulis buku itu mudah, bisa dilakukan siapa saja, bahkan dengan embel-embel kisah sukses para penulis. Lha, para penulis sukses itu secara kebetulan atau memang sudah rezekinya bertemu peluang karena sebuah jalinan takdir sehingga bukunya terbit--sebagian dari mereka memiliki sejarah rumit sebagai penulis hingga bisa diterbitkan. Karena itu, antara motivasi dan kisah sukses harus dijalin dengan metode, strategi, dan keprigelan mengamati situasi, tren, serta kecenderungan penerbitan buku.
Masalahnya siapa yang benar-benar mau membuka 'rahasia' metode, taktik, dan ilmu prigel itu secara up-to-date sekaligus membumi kepada mereka? Boleh jadi kita berharap para begawan akan turun gunung atau para pendekar-pendekar bernama akan mencari murid-murid untuk melanggengkan ajaran mereka. Di sinilah kita berharap pucuk dicinta, ulam pun tiba. Literasi harus babat alas masuk ke segala sendi untuk mendapatkan murid-murid berbakat. Para penerbit harus mampu menciptakan para pendekar di dunia editor dan penulisan untuk kemudian mendampingkannya dengan para junior-junior yang siap menjalani proses.
Jujur, tak mudah melahirkan penulis jitu dari rahim penerbit. Dan memang tak mudah mendapatkan penulis-penulis jitu dalam satu dekade ketika jalan buku terlalu banyak persimpangan yang menyesatkan: beberapa penulis yang sesungguhnya potensial itu akhirnya malah tersesat ke hutan belantara. Terkadang justru penerbit sendiri yang 'mengusir' para penulis tadi hanya karena tampil seperti 'pendekar pengemis'. Padahal, ia memiliki senjata mustika. Maka ada pepatah bijak: "Kenali pohon-pohonnya, bukan hutannya."
Ditunggulah perjodohan dahsyat: penulis jitu bertemu editor nagasastra dan penerbit segala tahu. :)
::catatan kreativitas Bambang Trim
Praktisi Perbukuan Indonesia yang kini mukim di Solo
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.
Salam,
Keisya Avicenna