"Bahagialah bila kau masih punya mimpi…
hidup hanya sekali…berikanlah yang terbaik…
merindukan purnama…bertahan walau di dalam duka…
bersyukurnyalah kita…masih banyak yang sayangi kita…
merindukan purnama…meraih cinta…
cinta yang menyatukan kita…”
Terdengar lantunan senandung seorang pengamen jalanan yang membuat Nayla sejenak menghentikan aktivitasnya membaca di dalam bus kota sepulang kuliah. Lagu itu sudah tidak asing lagi bagi Nayla karena akhir-akhir ini ia merasa ‘terbius’ dengan lagunya Judika yang menjadi soundtrack film Rindu Purnama itu.
Seorang pemuda memainkan gitarnya, dengan gurat wajah yang tegas namun tersirat kesedihan yang mendalam. Tapi tetap ada lukisan senyum yang menghiasi wajahnya. Dari segi penampilan, ia bisa dibilang tidak terlalu lusuh dibanding beberapa pengamen jalanan yang sempat Nayla lihat. Ia memakai kaos biru bertuliskan “Solo, The Spirit of Java”. Nayla langsung terpesona dengan performance-nya, apalagi ia membawakan lagu itu dengan baik, penuh penghayatan.
Saat melewati Nayla sambil menyodorkan kantong plastik bekas bungkus permen, pemuda itu tersenyum. Dan Nayla pun membalas senyumannya. “Semoga kapan-kapan bisa menikmati lantunan suaranya lagi," batin Nayla berharap.
***
Keesokan harinya, setiap pulang kuliah, Nayla kembali menikmati aksi pengamen itu, hari-hari berikutnya juga. Nayla jadi penasaran, kenapa ia selalu menyanyikan lagu itu. Pada hari kelima setelah pertemuan yang pertama, rasa penasaran Nayla sudah tidak bisa dibendung lagi. Maklumlah, jiwa peneliti Nayla yang selalu merasa ingin tahu lebih mendominasi. Akhirnya, setelah menyelesaikan ‘tugas’ nya di bis kota, pengamen itu turun dan Nayla berinisiatif turun juga mengikuti jejak langkah pemuda itu.
Nayla mengamatinya dari kejauhan. Sekitar pukul 17.00, pemuda itu pergi dari area ‘dinas’nya, berjalan menuju suatu tempat. Nayla mengikutinya dari belakang. Sampailah mereka pada sebuah rumah. Sederhana. Bahkan sepertinya tidak layak untuk disebut rumah. Bangunan berbahan triplek yang berbentuk kubus. Pemuda itu masuk, keriuhan pun terjadi. Terdengar suara anak-anak kecil yang memperebutkan sesuatu.
“Eh, Ali, Budi, Ucik, Siti….jangan berebut ah...semua dapat satu-satu dari Kak Aan. Ayo, yang tenang ya, nanti nggak jadi Kakak bagi lho!” kata pemuda tadi.
“O…namanya Aan" batin Nayla. Ia bisa mengamati aktivitas di dalam rumah sederhana itu karena pintunya terbuka.
“Mbak, kenapa dari tadi berdiri di sana? Ada yang bisa saya bantu?” sebuah suara menghentikan lamunan Nayla. “Olala…kehadiranku ketahuan deh…”
“Oh…eh…kebetulan tadi saya lewat. Boleh saya masuk?”Nayla menyembunyikan rasa kagetnya. “Eh, kita belum kenalan. Nama saya Nayla.” kata Nayla sambil mengulurkan tangannya, mengajak bersalaman. Tapi pemuda di hadapannya itu hanya mengatupkan kedua tangan di depan dadanya.
“Iya boleh-boleh. Silahkan masuk Nayla…maaf tempatnya berantakan. Oya, namaku Aan." katanya. Nayla jadi sedikit kikuk. Tapi kemudian dia mencoba beradaptasi dan memulai percakapan. Ia ingin menemukan jawaban atas rasa penasarannya.
“Akhir-akhir ini tiap kali pulang kuliah saya sering melihat aksi Mas mengamen di perempatan Panggung, rasa penasaran saya memuncak tatkala tiap kali melihat aksi Mas selalu lagu itu yang Mas nyanyikan. Dan itu adalah lagu favorit saya. Makanya saya jadi penasaran dan jujur, saya tadi memang sengaja mengikuti Mas dan sampailah saya di sini. Kenapa Mas? Hm, maaf ya Mas. Saya kok jadi kayak wartawan gini. Hehe…," jelas Nayla sambil mengamati kondisi di dalam rumah itu. RUMAH PELANGI. Ada tulisan besar di atas sebuah rak buku.
“Nayla, aku terlahir di jalanan. Besar di jalanan, Aku hanyalah seorang anak yatim piatu. Tapi aku punya mimpi. Aku punya cita-cita besar untuk mengubah nasibku. Alhamdulillah, aku bisa sekolah sampai SMA. Rezeki dari Allah SWT yang Dia titipkan lewat tangan seorang dermawan yang menjadikanku anak asuhnya karena dulu aku tidak sengaja menemukan dompetnya yang terjatuh. Sekarang aku sudah bekerja di sebuah penerbitan di kota ini. Aku hanya ingin berbagi dengan para musisi jalanan itu. Mereka sering dianggap ‘sampah’ oleh banyak orang. Aku dulu pernah merasakan masa-masa pahit itu. Sampai sekarang sulit bagiku meninggalkan profesi sebagai pengamen. Profesi yang sudah aku lakukan sejak usiaku masih 7 tahun. Jadi sepulang bekerja dari jam 15.00-17.00 aku sempatkan untuk mengamen dulu. RUMAH PELANGI ini kudirikan dengan harapan besar agar aku bisa sedikit meringankan beban mereka, meski itu tak seberapa. Dan lagu itu, lagu itu kunyanyikan untuk mereka.” Nayla penuh perhatian mendengarkan penjelasan Mas Aan.
“Mereka jarang tersenyum bukan karena mereka enggan untuk tersenyum. Tapi hidup dan waktu seolah menuntut mereka menghabiskan sebagian besar kehidupan untuk bekerja keras sehingga terkadang mereka lupa bahwa ada waktu untuk tersenyum. Apa mereka lupa cara tersenyum? Atau karena mereka tak pernah menerima senyuman, makanya mereka tak tahu lagi bagaimana caranya tersenyum?” kata Mas Aan yang membuat hati Nayla gerimis.
Ada desiran yang tidak biasa di hatinya, saat matahari menggelincir dari titik kulminasinya…
[Keisya Avicenna, lembar ketiga Ramadhan...]
NB: Teruntuk para musisi jalanan yang tlah menghiburku setiap hari dalam setiap perjalananku. Kalian adalah inspirasiku untuk lebih mensyukuri hidup. Semoga Allah Swt senantiasa menghadirkan bahagia di hati-hati kalian... *pengagumrahasia!
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.
Salam,
Keisya Avicenna