MENGASAH
CAKRAWALA RASA DALAM DEKAPAN UKHUWAH
*Norma Keisya Avicenna
Judul Buku : Dalam
Dekapan Ukhuwah
Penulis : Salim A. Fillah
Penerbit : Pro-U Media, Yogyakarta
Tahun Terbit : 2010
Jumlah Halaman : 472
ISBN
: 979-1273-66-9
Alangkah
syahdu menjadi kepompong; berkarya dalam diam, bertahan dalam kesempitan.
Tetapi bila tiba waktu untuk jadi kupu-kupu, tak ada pilihan selain terbang
menari; melantun kebaikan di antara bunga, menebar keindahan pada dunia. Dan
angin pun memeluknya, dalam sejuk dan wangi surga.
Kalimat pembuka yang manis dan sarat
makna. Rangkaian kalimat yang menyiratkan sebuah perjalanan hidup manusia,
sebuah metamorfosis kehidupan.
Ustadz Salim mengawali bahasan dalam
buku Dalam Dekapan Ukhuwah ini dengan prolog ‘Dua Telaga’. Prolog yang
menggambarkan dua kisah sarat hikmah. Telaga pertama adalah air telaga yang
wanginya semerbak melebihi wangi kasturi. Telaga yang rasanya lebih lembut dari
susu, lebih manis dari madu, dan lebih sejuk dari salju. Di telaga itu, ada
seorang lelaki yang kerap memberi minum mereka yang kehausan. Wajahnya selalu
berseri dan selalu menanti kedatangan umatnya. Telaga dengan segala
keistimewaannya itu adalah Al-Kautsar dan lelaki itu adalah Muhammad, namanya terpuji di langit dan
bumi. Telaga yang kedua berkisah tentang Narcissus yang selalu bercermin di
telaga untuk mengagumi pesona dirinya, mengagumi bayangannya. Narcissus
menggambarkan sosok jiwa manusia yang hanya takjub pada dirinya sendiri.
Kisah dua telaga ini, mengajak
pembaca untuk berhijrah dari kecintaan pada diri sendiri menjadi cinta sesama
yang melahirkan peradaban cinta. Awal untuk memulainya adalah IMAN. Iman yang akan menjadi ukuran
kualitas hubungan kita dengan sesama.
Ukhuwah
disebut juga persaudaraan. Persaudaraan ini tidak dibangun atas dasar darah,
nasab, dan keluarga, tetapi atas dasar keimanan dan ketaqwaan kepada Allah.
Dalam buku ini, Ustadz Salim memilah
bahasan besar tentang ukhuwah menjadi beberapa bab dengan judul-judul yang
sangat menggugah, yang menjelma menjadi bata demi bata yang akan menyusun
menara cahaya. Dalam setiap bab itu
masih dibagi lagi menjadi beberapa judul tulisan.
‘Ambil
Cintamu di Langit, Tebarkan di Bumi’ menjadi
judul di bab pertama. Bab ini menjelaskan tentang ukhuwah, kedudukan ukhuwah
dalam Islam, serta pentingnya bekerja dan beramal karena keduanya adalah bentuk
kesyukuran terindah.
Bab selanjutnya adalah ‘Tanah Gersang’. Salah satu judul yang menarik dalam
bab ini yaitu ‘Segalanya adalah Cermin’
(halaman 83). Kita akan belajar dari kisah Mu’awiyah dan ‘Uqail ibn Abi Thalib.
Darinya kita belajar setiap saudara adalah tempat kita bercermin untuk melihat
bayang-bayang kita.
Bab berikutnya adalah ‘Sebening Prasangka’. Prasangka adalah batu bata
cahaya dalam membangun menara ukhuwah. Salah satu nikmat terbesar dalam dekapan
ukhuwah adalah keberanian untuk menerima penilaian atau kritikan dari orang
lain sebagai masukan yang sangat berharga. Itu sikap agung yang telah diambil
oleh Az-Zubair (penjaga setia Sang Nabi), Thalhah, ‘Ali, Sa’d ibn Abi Waqqash,
‘Abdurrahman ibn ‘Auf, dan juga ‘Utsman ibn ‘Affan (halaman 215).
Bahasan selanjutnya, ‘Selembut Nurani’. Kita bicara
tentang ruh-ruh yang diakrabkan iman, bicara tentang cinta, tentang jiwa yang
mendamba naungan Allah SWT dalam mencintai sesamanya.
‘Sehangat
Semangat’,
menjadi
judul bab selanjutnya. Semangat
menjadi modal untuk terus bergerak menuju kebaikan dan ber-fastabiqul khoirot. Seperti upaya-upaya ‘Umar untuk mengungguli Abu
Bakar yang terus berlangsung dalam setiap kesempatan. Cinta di antara mereka
telah saling menyengat dalam bentuk gelora untuk mempersembahkan yang terbaik
bagi Allah dan Rasul-Nya.
Selanjutnya, kita akan semakin
memahami indahnya persaudaraan yang ‘Senikmat
Berbagi’. Berbagi bagaikan cinta yang dapat menawarkan
luka.
Batu bata lain dalam menara cahaya
ukhuwah ini adalah ikrar. Kita membangun menara ukhuwah dalam ‘Sekokoh Janji’. Membangun rasa saling
percaya adalah puncak tertinggi kualitas hubungan.
Bagian epilog, kita diberikan jamuan
sebuah kondisi yang ‘Gelap, Tapi
Hangat’. Kita harus terus saling bercermin tanpa lelah hingga bisa
saling memahami dan mencintai saudara kita.
Buku
ini membuat kita lebih banyak merenung, lebih banyak menangis, dan gelisah
karena kita belum bisa menjadi saudara yang terbaik, belum bisa memahami
urgensi ukhuwah yang sebenarnya. Ustadz Salim
mengemas semuanya dengan bahasa yang akrab dan indah. Kombinasi kisah-kisah para sahabat,
ditambah pula dengan penelitian dari buku-buku seperti ‘Winning With People’ (John C. Maxwell), ‘Every Word Has Power’ (Yvonne Oswald) dan sebagainya, semakin
memperkaya bahasan dalam buku ini. Selain itu, hampir di setiap pergantian
judul baru, juga diselingi puisi yang mampu membuat diri ini menutup buku
sejenak lalu berpikir dan merenung.
Saya sangat kesulitan dalam mencari letak kekurangan buku
ini. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya berkata, “Temukan tujuh puluh dalih untuk menganggap benar perilaku saudara yang
tampak keliru di matamu. Dan jika setelah tujuh puluh alasan terasa tak masuk
akal juga, maka katakan pada dirimu: ’Saudaraku ini punya ‘udzur yang tak
kutahu.’” Memang, ‘tak ada karya yang tak retak’. Ada satu hal yang menjadi
kekurangan. Ustadz Salim dan buku Dalam Dekapan Ukhuwah ini telah membuat
pembacanya tidak tenang; setiap kali pembaca membuka halaman pertama, akan
muncul rasa penasaran untuk segera membaca halaman-halaman berikutnya hingga akhir.
Buku yang
dapat mengasah ‘cakrawala rasa’ ini, sangat saya rekomendasikan untuk dibaca
dan dikoleksi bagi siapapun yang berharap dan menginginkan kebaikan ukhuwah
dalam cinta-Nya. Buku ini juga sangat layak dibaca
oleh para pejuang dakwah, para remaja dan para orang tua yang ingin selalu
menggelorakan semangat untuk berlomba-lomba menyemai hikmah, memelihara
ukhuwah, memetik barokah, menjadi pribadi yang merindu dan dirindu Jannah.
*Resensi ini mendapatkan JUARA 1 dalam Lomba Resensi yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nuruh Huda UNS
|
|
|
|
||
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.
Salam,
Keisya Avicenna