“Rafa, tumben akhir-akhir ini kamu jam
segini sudah mandi?” ledek Kak Mita yang sedang sibuk membantu Bunda mengelap
piring.
“Biarin!” Rafa malah menjulurkan
lidahnya ke kakak sulungnya itu. Bunda yang melihat kelakuan kakak-beradik itu
hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Sore itu, Rafa kembali asyik dengan
papan hitam-putih kesayangannya di teras rumah. Ia sedang menunggu seseorang.
Dua hari yang lalu, Ayah membelikan oleh-oleh papan catur untuknya. Rafa belum
mahir memainkannya. Tapi, ia sangat beruntung, ada yang mau mengajarinya.
Kreeek…
Pagar besi rumahnya terbuka. Rafa segera berlari ke arah pagar.
“Kamu dah wangi, Rafa! Anak rajin,”
kata orang yang baru datang itu sambil mengacak rambut Rafa.
“Ah, Kakek bisa saja. Ayo, Kek, masuk.
Sudah Rafa tunggu, lho!”
Rafa dan Kakek Tomo kini bersila
berhadap-hadapan di kursi bambu, di teras rumah Rafa. Sore ini, Rafa belajar
main catur lagi dengan Kakek Tomo. Rumah Kakek Tomo bersebelahan dengan rumah
Rafa.
“Ini aku sudah tata seperti yang sudah
Kakek ajarkan,” kata Rafa senang.
“Coba Kakek lihat. Sudah benar belum
posisinya.”
Kakek Tomo menatap Rafa dengan mata
berbinar lalu menggangguk.
“Coba ulangi lagi yang Kakek ajarkan
kemarin, Rafa,” pinta Kakek Tomo.
Rafa mulai menjelaskan kepada Kakek
Tomo kalau pion jalannya bergerak maju satu petak ke petak yang tidak
ditempati. Pion juga bisa bergerak secara menyerong atau diagonal untuk
menangkap bidak lawan, apabila bidak lawan berada satu petak di diagonal
depannya. Kalau benteng bisa bergerak sepanjang petak horizontal kayak gini,
maupun vertikal kayak gini, tapi tidak bisa melompati bidak lain. Gajah dapat
bergerak sepanjang petak secara menyerong atau diagonal, tapi juga tidak bisa
melompati bidak lain.
Tiba-tiba, Bunda datang sambil membawa
nampan berisi teh jahe hangat dan pisang goreng. Aromanya sungguh menggugah
selera.
“Wah, Rafa serius sekali belajarnya!
Terima kasih ya, Kakek Tomo. Sudah meluangkan waktu untuk mengajari Rafa main
catur,” kata Bunda.
“Sama-sama, Yunda. Dulu, tiap sore
gini, aku sama ayahmu juga suka main catur di tempat ini. Rafa sangat berbakat
jadi pemain catur, nih. Mungkin keturunan dari almarhum kakeknya,” kata Kakek
Tomo sambil terkekeh.
Bunda tampak senang.
“Ya sudah, silakan dilanjutkan
belajarnya. Rafa perhatikan dengan sungguh-sungguh apa yang diajarkan Kakek
Tomo, ya.”
Rafa pun mengacungkan dua jempol
tangannya.
“Ayo, kita lanjutkan. Nah, sekarang
kakek jelaskan tentang kuda, raja, dan ratu.”
Rafa memerhatikan dengan
sungguh-sungguh, kadang mengernyitkan dahi, lalu mengulangi penjelasan Kakek.
“Hmm, Raja dapat bergerak satu petak ke
segala arah, Ratu punya gerakan kombinasi dari Benteng dan Gajah, kalau Kuda
memiliki gerakan mirip huruf L, yaitu memanjang dua petak atau melebar satu
petak. Kuda itu satu-satunya bidak yang dapat melompati bidak-bidak lain,”
gumam Rafa sambil manggut-manggut.
[*]
Hari-hari berlalu, setiap sore Kakek
Tomo mengajari Rafa teknik bermain catur yang benar. Rafa pun mulai mahir. Sampai suatu hari,
“Rafa, coba baca apa yang Kakek bawa
ini!” Kakek Tomo menyerahkan selembar kertas.
“Apa ini, Kek?” Rafa membaca isi kertas
yang diberikan Kakek Tomo.
“Lomba catur junior?” Rafa menatap
Kakek.
“Kamu coba ikut, ya, untuk mengasah
kemampuanmu bermain catur,” Kakek Tomo menawarkan.
“Nanti Rafa tanyakan ke Ayah dan Bunda
dulu, ya, Kek.”
“Oke, ayo, kita latihan lagi!”
Kakek Tomo sangat senang karena Rafa
bisa menjadi sahabat kecilnya yang menyenangkan. Rafa sudah dianggap seperti
cucunya sendiri. Kakek Tomo tidak kesepian lagi karena di rumah, ia hanya
tinggal dengan anak bungsunya. Kedua anaknya yang lain tinggal di luar kota,
istrinya sudah meninggal 5 tahun yang lalu.
Akhirnya, Rafa diperbolehkan ikut lomba
catur junior. Rafa semakin giat berlatih.
[*]
“Kek, kenapa ya, aku sudah berkali-kali
ikut lomba catur, tapi selaluuu saja kalah,” keluh Rafa suatu sore.
“Rafa, catur itu tidak hanya olahraga,
tapi juga olah rasa. Harus dengan hati, tidak saja mengandalkan otak yang
cerdas dan strategi yang jitu saja,” nasihat Kakek Tomo.
“Jadi, Rafa harus gimana dong, Kek?”
Kakek Tomo lalu memberikan trik khusus.
“Minggu depan ada perlombaan lagi, Kek.
Doakan Rafa bisa menjadi juara ya, Kek.”
Kakek Tomo mengangguk mantap.
“Kamu pasti bisa, Rafa!”
[*]
Perlombaan catur dimulai. Rafa
mengingat-ingat apa yang sudah diajarkan Kakek Tomo.
Ayah, Bunda, Kak Mita, dan Kakek Tomo
turut datang untuk menyemangati Rafa. Satu per satu, lawan-lawan pecatur junior
itu berhasil Rafa taklukkan hingga ia masuk final dan beradu dengan pecatur
yang sudah sering menang di kompetisi nasional. Tapi, Rafa terus bersemangat.
Bidak-bidak catur yang ada di depannya
itu ia anggap seperti sahabatnya. Pion-pion kecil itu adalah pion-pion
kemenangan untuknya. Ia harus bisa menjaganya dengan baik agar tidak bisa
dikuasai lawan. Rafa melangkahkan bidak-bidak caturnya dengan perlahan, namun
pasti, penuh dengan strategi.
Sampai akhirnya, “skak mat!” Rafa berteriak sambil tersenyum lebar. Rafa memenangkan
lomba catur kali ini.
Kini Rafa mengerti, kalau ingin juara,
maka harus tekun berlatih, dan terus semangat.
Semuanya bahagia. Akhirnya, Rafa bisa
jadi juara.
BIODATA PENULIS
Norma Keisya
Avicenna
Terlahir
kembar pada tanggal 2 Februari 1987. Alhamdulillah, 30an buku (baik solo maupun antologi) sudah ditulis. Sejak
2013 mendirikan sebuah komunitas sekaligus markas pelatihan menulis cerita
untuk anak-anak dan remaja, yaitu DNA Writing Club di Semarang. Komunitas ini
sudah melahirkan lebih dari 100 penulis cilik dan remaja. Penulis bisa
dihubungi di:
~ WA : 085647122033
~ IG: @keisyaavicenna
~ FB: Norma Keisya Avicenna
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.
Salam,
Keisya Avicenna