Masyarakat Literat Indonesia
Bermartabat
Secara etimologis, istilah literasi berasal dari bahasa
Latin “literatus” yang artinya “orang
yang belajar”. Literasi merupakan suatu kemampuan seseorang untuk menggunakan
potensi dan keterampilan dalam mengolah serta memahami informasi saat melakukan
aktivitas membaca dan menulis. Literasi memiliki fungsi
penting dalam kehidupan. Kesadaran berliterasi akan mengantarkan sebuah
peradaban pada kedudukan yang terhormat dan bermartabat.
Sebagai negara berkembang, Indonesia harus mampu
mengembangkan budaya literasi sebagai prasyarat kecakapan hidup abad ke-21
melalui pendidikan yang terintegrasi, mulai dari keluarga, sekolah, sampai
dengan masyarakat. Enam literasi dasar mencakup literasi baca-tulis, literasi
numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi
budaya dan kewargaan. World Economic
Forum pada tahun 2015 menyebutkan bahwa enam literasi dasar tersebut sangat
penting untuk dikuasai oleh masyarakat, dari anak-anak sampai orang dewasa.
Tantangan saat ini di era digital adalah menariknya kegiatan
belajar yang “dikalahkan oleh” menariknya hiburan dunia digital. Karena itu,
perlu inovasi-inovasi kekinian untuk membudayakan literasi khususnya di
kalangan anak-anak dan lebih luas lagi di lingkungan masyarakat. Menumbuhkan minat literasi baca-tulis pada anak-anak memberikan
manfaat dan pengaruh yang sangat besar.
Semuanya bisa diawali di lingkungan terkecil, yakni keluarga. Dunia parenting (pengasuhan anak) yang kini semakin berkembang dengan beraneka rupa teori-teorinya, juga menitikberatkan akan pentingnya kecakapan literasi anak-anak sejak usia dini bahkan ada yang sudah memulainya sejak anak masih berada dalam kandungan ibunya. Orang tua harus bisa memberikan contoh dan selalu berupaya menumbuhkan budaya literasi di rumah. Dengan literasi baca-tulis, wawasan dan
pengetahuan akan bertambah, meningkatkan daya kreativitas, dan mengembangkan
keterampilan hidup.
Transportasi Literasi itu Bernama
Perpustakaan
Perpustakaan
menjadi salah satu alternatif tempat belajar yang menunjang untuk menumbuhkan
budaya literasi baca-tulis. Menurut saya, perpustakaan yang ideal adalah sebuah
perpustakaan yang mampu memberdayakan masyarakat, mampu melakukan revolusi
minat baca pada masyarakat, dan mampu mengubah karakter masyarakat dari tidak
suka membaca menjadi suka membaca. Perpustakaan juga seharusnya mampu mengubah masyarakat tuna informasi menjadi masyarakat yang berliterasi atau melek informasi.
Semua bermula karena saya sangat suka membaca lalu mengoleksi buku hingga akhirnya saya pun mendirikan perpustakaan DNA. Perpustakaan
mempunyai peranan yang sangat vital bagi peningkatan kualitas sumber daya
manusia.
- Pertama, perpustakaan berfungsi sebagai jantung pendidikan dan ilmu pengetahuan.
- Kedua, sebagai pusat pengumpulan dan penyimpanan sumber pengetahuan dan informasi.
- Ketiga, sebagai pusat kegiatan masyarakat setempat. Perpustakaan juga mempunyai peran yang sangat strategis dalam mempengaruhi tingkat taraf hidup masyarakat.
- Perpustakaan harus dapat berfungsi sebagai wahana belajar yang mampu mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang berilmu, cakap, kreatif, inovatif dan mandiri.
Bangsa yang literate adalah
bangsa yang mampu menjawab tantangan zaman. Peradaban yang berliterasi selalu
ditandai dengan kepedulian yang tinggi terhadap perpustakaan. Perpustakaan
selalu menjadi transportasi
literasi ketika suatu peradaban mencapai puncak
keemasan. Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sepanjang
peradaban manusia tidak dapat lepas dari perpustakaan.
Sebagian koleksi perpustakaan DNA |
Inkubator
Literasi ala Perpustakaan DNA
Saya seorang ibu rumah tangga
sekaligus penulis. Tidak sekadar ‘menjadi’ penulis, namun saya juga bertekad
‘menjadikan’ orang lain penulis (melahirkan generasi-generasi penulis cilik),
maka terbentuklah komunitas penulis cilik “DNA Writing Club”. Saya awali
semuanya dengan mendirikan Perpustakaan DNA di rumah. Berawal dari koleksi
pribadi yang jumlahnya ratusan kemudian terus bertambah juga menyiapkan beragam
kegiatan.
Perpustakaan DNA didirikan
sejak November 2013. Bertempat di Jalan Jati Barat I No.274, Banyumanik,
Semarang. Dalam kegiatannya, selain melayani sirkulasi peminjaman buku, juga
ada beberapa kegiatan kreatif untuk menumbuhkan budaya literasi baca-tulis di
lingkungan masyarakat. Pengelola Perpustakaan DNA saat ini berjumlah 4 orang.
Kami menyebut pengelola perpustakaan dengan istilah ‘mentor’.
Salah satu hal yang menjadi
fokus kami di Perpustakaan DNA saat ini adalah
sosialisasi sekaligus pelaksanaan perjenjangan
buku, baik saat pelayanan kegiatan membaca di perpustakaan maupun saat
peminjaman buku. Perjenjangan buku ini sesuai dengan Panduan Perjenjangan Buku
Nonteks Pelajaran bagi Penggunaan Perbukuan yang diterbitkan oleh Pusat
Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Panduan
perjenjangan buku ini sangat membantu petugas perpustakaan maupun pegiat
literasi dalam penyusunan daftar buku yang direkomendasikan untuk dibaca oleh
pembaca sasaran. Selain itu, perjenjangan buku dapat membantu
menumbuhkembangkan budaya literasi melalui buku yang bermutu serta tepat guna
untuk memberikan pengalaman membaca yang menyenangkan karena mempertimbangkan
aspek pedagogik dan psikologis pembaca.
Penyediaan buku di Perpustakaan DNA
diharapkan dapat membantu terlaksananya proses perjenjangan buku tersebut.
Misalnya, untuk kategori pra-membaca untuk anak-anak usia dini, buku yang
disediakan di Perpustakaan DNA seperti : boardbook,
flip-flap book, buku kain (untuk bayi dan balita), pop-up book, dll. Selain itu, untuk kategori membaca dini
disediakan aneka jenis pictorial book
(buku bergambar dengan bahasa sederhana dan ilustrasi yang
sangat menarik).
Koleksi buku di Perpustakaan DNA harus
dapat mengembangkan karakter positif
serta terbebas dari materi yang bersifat
pornografi, kekerasan,
ungkapan kebencian dalam berbagai bentuk, dan penistaan suku, adat, ras, serta agama (SARA). Hal
ini sejalan dengan UU RI No.3 Tahun 2017 tentang
Sistem Perbukuan, yang menyatakan bahwa
penyelenggaraan sistem perbukuan berazaskan
kebhinekaan, kebangsaan, kebersamaan, profesionalisme, keterpaduan, kenusantaraan, keadilan, partisipasi
masyarakat, kegotongroyongan, dan kebebasbiasan.
Kesalahan dalam memilih buku yang tidak sesuai dengan jenjang
kemampuan membaca
akan membuat pembaca, terutama anak-anak, tidak
mencapai tujuan membaca yang diharapkan. Dengan
demikian, diperlukan perjenjangan buku guna memilih buku yang bermutu
dan sesuai dengan perkembangan kemampuan baca serta
kebutuhan pengembangan literasi.
Para pengguna perpustakaan DNA dapat memilih dan memilah buku secara tepat, efektif, dan bermakna sesuai dengan
tingkat perkembangan usia, kemampuan baca,
dan kebutuhan pembaca.
Pendidikan adalah proses pengembangan kapasitas untuk tumbuh secara terus-menerus dan merekonstruksi pengalaman menjadi
lebih bermakna. Sumber pengalaman antara lain terdapat dalam buku teks pelajaran
dan buku nonteks pelajaran. Membaca buku sebagai
bagian dari pembelajaran harus dapat dijadikan sebagai pengalaman lebih bermakna.
Membaca bukanlah sekadar meningkatkan keterampilan berbahasa. Membaca adalah sebuah proses pembaruan pikiran, di mana seseorang akan menerima suatu hal yang dapat membantu terbentuknya sel otak baru dalam setiap penyerapan informasi. Membaca dapat membuka mata kita akan pentingnya SDM yang unggul, mengubah pikiran kita menjadi lebih luas lagi, memiliki sumber informasi agar tidak terbawa arus negatif globalisasi. Membaca dapat mempengaruhi kualitas suatu bangsa.
Penanaman
budaya literasi baca-tulis yang senantiasa diupayakan melalui beragam kegiatan
di Perpustakaan DNA juga menjadi salah satu alternatif cara menghindarkan
ketergantungan anak-anak terhadap gawai. Dengan semakin banyak bahan bacaan
yang variatif dan menarik (yang disesuaikan dengan perjenjangan usia), membuat
anak-anak akan semakin kaya kosakata dan ide-ide yang dapat dituangkannya dalam
komunikasi lisan dan tulisan.
Akhirnya, sebagai pengelola perpustakaan
sekaligus pegiat literasi, kita harus menciptakan suatu kondisi dimana aktivitas
membaca bukan hanya sekadar sebuah kewajiban, tetapi secara bertahap
menjadikannya sebagai budaya dan hobi. Jika literasi baca telah kuat, maka
tahap berikutnya yaitu literasi tulis tidak terlalu berat untuk diwujudkan. Walaupun
orang yang rajin membaca tidak selalu
identik dengan pandai
menulis, tetapi setidaknya telah memiliki modal awal yang potensial.
Generasi yang kuat dalam literasi baca-tulis
akan menjelma menjadi pendorong untuk lahirnya generasi yang memiliki kecakapan
abad 21.
Semoga Perpustakaan DNA bisa menjadi salah satu inkubator literasi yang mampu
melahirkan SDM yang unggul dan berkualitas menuju Indonesia maju. Mari bersama,
bersinergi membahagiakan sesama dengan ‘meliteratkan’ satu sama lain! Salam Literasi!
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2018. Panduan Perjenjangan Buku Nonteks Pelajaran bagi Pengguna Perbukuan. Jakarta : Pusat Kurikulum dan Perbukuan.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.
Salam,
Keisya Avicenna