Sejak saya TK hingga SMA, Babe dan
Ibuk sering dititipi keponakan yang merantau untuk sekolah di Wonogiri. Ada
yang dari Sumatera (Mas Jarot), Paranggupito (Mas Sutris), dan Giriwoyo (Budi).
Babe dan Ibuk sudah menganggap mereka seperti anak-anak sendiri. Dan sepertinya
hal itu menurun kepada saya dan suami. Tahun kedua pernikahan, kami dititipi
satu keponakan dari keluarga Mas Sis, putri kedua kakak pertamanya Mas Sis yang
tinggal di Bayat, Klaten. Namanya Desi. Ia ingin melanjutkan kuliah di
Semarang. Saya pun senang karena ada teman di rumah jika Mas Sis harus pulang
malam atau ada pekerjaan ke luar kota.
“Dek
Norma dan Dek Sis, nitip anakku, Desi, nggih. Semoga dengan ikut tinggal
bersama kalian Desi jadi anak yang ngerti agama, jadi anak salihah, belajarnya
lebih sungguh-sungguh, jadi lebih dewasa, kelak bisa jadi orang sukses yang membanggakan
keluarga,” begitu ucapan Mbak Puji, kakak pertama Mas Sis
saat melepas kepergian Desi ke Semarang untuk tinggal bersama kami.
Satu hal yang harus kami pelajari
adalah kami harus belajar menjadi orangtua Desi selama ia tinggal di Semarang.
Mencoba memahami karakter khas anak remaja, bergaul dengannya ala sahabat, mengawalnya
beradaptasi di masa transisi dari anak SMA ke anak kuliahan, juga dari suasana
pergaulan di desa dengan di kota yang tentu saja akan banyak sekali perbedaan.
Kala itu penampilannya masih seperti
remaja gaul pada umumnya dengan hijab kekinian dan masih enggan memakai rok.
Kadang keluar rumah juga tidak mengenakan kerudung. Satu hal utama yang terus
kami tekankan adalah salat wajib di awal waktu atau minimal tidak telat. Karena
Desi sering mengalami insomnia alias jarang bisa segera tidur malam, ia jadi
sering bangun malas-malasan untuk menunaikan salat Subuh, kadang masih suka
menunda-nunda. Masih banyak PR kami yang lain. Pelan-pelan, sedikit demi
sedikit, kami berusaha agar Desi bisa belajar menjadi muslimah yang semangat
beribadah dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Setelah satu semester perkuliahan
berjalan, ada saudara yang menitipkan anaknya lagi untuk tinggal bersama kami.
Namanya Nur. Dulu adik kelasnya Desi waktu SMA, masih sedesa dengan Desi juga,
masih ada hubungan saudara jauh juga. Alhasil, Desi sekarang ada temannya.
Apalagi mereka kuliah di kampus yang sama. Karakter Nur juga hampir sama dengan
Desi, malah cenderung ndableg dan
kurang inisiatif. Desi dan Nur masih suka bermalas-malasan, seolah-olah tugas
mereka hanya berangkat kuliah lalu pulang, dan asyik rebahan sambil main HP
sepuasnya. Saya tak kehabisan ide, berpikir bagaimana caranya agar mereka tidak
menyia-nyiakan masa usia produktif mereka.
Satu trik yang saya lakukan adalah mengkaryakan
dan memberdayakan mereka. Saya berikan tanggung jawab masing-masing untuk
mengerjakan pekerjaan rumah. Misalnya, tugas membuang sampah ke Tempat
Pembuangan Sampah, menyapu, berbelanja ke pasar, dan memasak. Ketika
memungkinkan, saya pun sering mengajak mereka salat berjamaah di rumah. Benar-benar
tantangan mendidik remaja zaman now
itu sesuatu sekali. Benar-benar tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mood swing yang unpredictable, karakter yang masih cenderung seenaknya sendiri,
kurang menghargai waktu, dan banyak lagi. Ketika saya merasa kesal karena “ulah”
mereka, saya mencoba bersabar dan tidak langsung menunjukkan kekesalan itu pada
mereka. Cukup diam. Lalu, ketika suasana sudah tenang dan terasa menyenangkan terjadilah
diskusi-diskusi ringan untuk meluruskan tanpa harus merasa paling benar,
apalagi dengan mengungkit-ungkit kesalahan. Berat memang, tapi saya dan suami
mencoba untuk terus belajar. Terlebih belajar untuk selalu memberikan
keteladanan terbaik bagi mereka.
Sampai suatu ketika saya mendapatkan
amanah untuk menjadi co-writer Bunda
Darosy Endah untuk menulis buku pertama beliau. Buku itu berjudul Cahaya Cinta
Ibunda, yang sekali cetak tembus 1500 eksemplar. Saya dan Mas Sis pun mendadak
super sibuk kala itu. Saya pun melibatkan Desi dan Nur untuk membantu packaging dan proses pengiriman buku.
Saya pun sering mengajak mereka silaturahim ke rumah Bunda Darosy, terus
beberapa kali meminta bantuan mereka menjaga stand buku saat Bunda ceramah,
bahkan mengajak mereka mendengarkan ceramah Bunda Darosy beberapa kali.
Alhamdulillah, pikiran dan hati mereka mulai tercerahkan. Satu indikatornya,
mereka perlahan mengubah penampilan keseharian mereka. Mulai belajar memakai
rok dan kerudung menutup dada. Ya, mereka belajar memakai pakaian muslimah yang
lebih syar’i. Mereka juga jadi lebih peduli dan belajar bagaimana memanajemen
waktu dengan baik.
Hidayah itu memang harus terus
diperjuangkan.
Istiqomah itu harus selalu dijaga dan diikhtiarkan.
Untuk menjadi agen kebaikan memang
pengorbanan dan perjuangannya sungguh luar biasa.
Tak jemu untuk selalu perkaya
diri dengan ilmu, juga harus selalu memurnikan niat dan mengingat tujuan akhir yang
ingin dicapai.
Sehingga, ketika ada batu
sandungan, semuanya benar-benar dikembalikan kepada Allah, karena Dia-lah Dzat
yang membolak-balikkan hati.
Tiada tempat bergantung dan
bersandar kecuali hanya kepada-Nya.
Indah, jika semua karena Allah.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.
Salam,
Keisya Avicenna