“Mbak Norma, aku les lagi ya sama Mbak
Norma,” kata Randi (6 SD) via telepon.
Randi, murid les mapel saya sejak dia
kelas 3 SD. Pertemuan dengannya bermula tatkala saya ngontrak rumah di Jalan
Damar Barat III. Jalan itu berhadapan dengan sebuah sekolah negeri tempat Randi
belajar.
Siang itu, Randi diantar ibunya ke rumah
saya. Ibunya cerita kalau Randi cukup tertinggal dengan teman-temannya.
Nilainya di bawah rata-rata dan ibunya sering memberi label kalau Randi anak ‘nakal’
dan cukup susah diatur. Di rumah, dia tidak pernah belajar. Dia mau belajar
kalau ditungguin kakaknya yang tentara. Tapi, kondisinya kan tidak
memungkinkan. Kakaknya sekarang harus dinas di Solo. Randi dengan kakaknya
memang selisih cukup jauh usianya, sekitar 10 tahun.
Singkat cerita, Randi akhirnya les privat
dengan saya sepekan 3x. Butuh perjuangan untuk membersamainya belajar. Setidaknya
saya punya bekal pernah menjadi tentor pengajar SD di Ganesha Operation (Solo-Wonogiri-Bogor-Semarang)
selama kurang lebih 3 tahun.
Setelah 2 tahun tinggal di Damar, kami
pindah kontrakan di daerah Jati. Randi pun bertekad tetap les ke rumah saya
(DNA) meskipun harus naik angkot pulang pergi. Masya Allah. Semangat anak ini
memang luar biasa. Alhamdulillah, prestasi akademiknya di sekolah juga
meningkat tajam sampai kemudian dia lulus SD dan diterima di sebuah SMP
pilihannya.
Dan yang terpenting, kala itu Randi tidak
hanya belajar akademik saja. Tapi, saya tekankan padanya untuk selalu belajar
menjadi anak yang baik dan salih. Terbukti, ketika bapaknya (yang kadang
menjemput Randi ketika les) bilang kalau Randi suka membantu orang tuanya di
rumah, mau belajar sendiri tanpa disuruh, juga mulai rajin salat.
Alhamdulillah. Saya berpesan padanya, jika nanti tidak les lagi di DNA untuk
benar-benar jaga sikap dan pergaulan karena memasuki dunia remaja itu banyak
sekali tantangan dan godaannya.
Randi (paling kiri) saat les di DNA bersama teman-temannya.
Semoga Allah selalu menjagamu, Randi. Semoga
kamu tumbuh jadi anak salih kebanggaan bapak-ibuk. Semoga Allah mudahkan
langkahmu untuk mewujudkan impian dan cita-citamu di masa depan nanti.
[*]
Saya Bangga Menjadi Guru
Guru…
Tidak pernah terlintas dalam benak saya untuk terjun dalam profesi ini.
Namun, saya bangga menjadi guru. Profesi menjadi seorang guru adalah profesi
yang ‘menantang’. Meskipun ada sebagian orang yang beropini berprofesi menjadi
seorang guru adalah suatu pekerjaan yang enteng. Karena sekilas, tugasnya
hanya mengajar dan mengajar. Akan tetapi, sejatinya seorang guru tidaklah hanya
bertugas mengajar di dalam kelas.
Seorang guru
juga dituntut untuk bisa memberi contoh kepada murid-muridnya, tanpa harus
melihat siapa dan di mana ia berada. Untuk itu, tidak keliru jika ada pepatah
yang mengatakan: “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Dalam
artian, sebagai seorang guru harus senantiasa memperbaiki diri sendiri terlebih
dahulu sebelum memperbaiki orang lain (baca: anak didik).
Betapa pentingnya
keteladanan seorang guru. Saya bangga menjadi seorang guru karena saya bisa
terus memotivasi diri sendiri untuk melakukan perbaikan diri secara kontinyu. Bagaimana kita mengajarkan kebaikan kalau
diri kita sendiri belum baik? Bagaimana kita mentransfer ilmu kalau otak kita
miskin ilmu karena malas untuk belajar?
Jika seorang
guru sudah memberi contoh yang baik, maka dengan sendirinya seorang murid akan
malu untuk tidak mencontohnya. Hal inilah yang membuat kharismatik seorang guru
akan tumbuh dengan sendirinya tanpa harus diminta. Karena hubungan emosional
antara guru dan murid sangat berpengaruh atas pembentukan karakter anak didik.
Permasalahan
yang muncul di negeri ini terutama dalam ranah pendidikan, bangsa ini memang
sedang dilanda degradasi moral. Bangsa ini butuh dan kekurangan figur teladan
yang baik. Jarang kita menemukan seorang figur yang bisa menginspirasi
bawahannya (baca: muridnya) untuk memiliki kesadaran hidup menuju ke arah yang
lebih baik. Jadi, bisa ditarik kesimpulan bahwa guru yang baik adalah mereka
yang bisa mengajar para muridnya menuju perubahan tingkah laku yang lebih baik.
Guru dan
Bukan Guru
Di dunia ini
hanya ada 2 profesi, yaitu guru dan bukan guru. Kita boleh kagum pada seorang
dokter ahli yang mampu menyembuhkan penyakit yang kritis, juga sangat kagum
kepada yang merancang sebuah jembatan panjang dengan tingkat kesulitan tinggi.
Pertanyaannya, kehebatan orang-orang tersebut apakah terlepas dari peranan
seorang guru? Banyak cerita tentang keberhasilan seorang anak akibat guru yang
hebat, namun banyak cerita juga tentang kegagalan karena guru salah didik.
Kegagalan Albert Einstein, Thomas Alfa Edison, Stephen Hawking dan sebagainya
di sekolah, dia bayar melalui belajar sendiri, dia menjadikan alam dan ilmu
sebagai gurunya.
Pentingkah
seorang guru? Penting! Tapi guru yang mana? Yang jelas tidak ada tempat bagi
guru yang “kecelakaan”, yaitu guru yang hanya manjadi guru sekadar mendapatkan
pekerjaan. Namun, seorang guru profesional adalah guru dengan panggilan nurani, panggilan
jiwa.
Mungkin pada
awalnya tidak sengaja jadi guru, namun jika yang bersangkutan dengan cepat
menyadari akan pentingnya peran dia sebagai guru, lalu ia bangun paradigmanya,
dan dengan nurani ia melangkahkan kaki ke hadapan anak-anak didiknya. Inilah
guru yang dicari, ditunggu, dipuja, dan disayang sepanjang masa. Hal inilah
yang terus memotivasi saya ketika memilih “jalan” dan profesi ini.
Belajar
Otodidak Menjadi Seorang Guru
Bassic keilmuan saya adalah scientist. MIPA murni, dan bukan dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Tapi profesi menjadi seorang pengajar menjadi salah satu impian dan cita-cita saya pasca kampus. Bismillah, akhirnya saya memutuskan dan mengambil pilihan untuk mengajar di bimbingan belajar. Seperti terhipnotis oleh sebuah kalimat motivatif:
“Menjadi Guru atau Tidak Sama Sekali”. Hehe...
“Menjadi
guru adalah pilihan yang berani. Berani jadi guru, harus berani pula menjalani
segala konskuensinya. Apabila mampu menjalaninya secara konsisten, jalan ke surga
akan menunggu, jika tidak, bahaya menghadang!”
Kalimat ini
bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk mengangkat kembali pamor guru yang
mulai memudar. Dan kalimat itulah yang mampu memotivasi saya untuk memantabkan
hati di profesi ini.
Menurut
pendapat saya, modal utama jadi guru adalah “nurani”, bukan “akademiknya”. Maka
siapapun itu, apapun latar belakang pendidikannya, jika tidak memiliki nurani
sebagai pendidik, mohon maaf, tidak ada toleransi.
Pertanyaannya,
“apakah latar belakang pendidikan mempengaruhi hal ini?”. Jawabannya bisa “Ya”,
bisa “Tidak”. Maybe YES, Maybe NO! Artinya, latar belakang pendidikan
tidaklah terlalu penting, apalagi dalam sebuah sistem pendidikan yang “tidak
terarah” seperti yang kita alami saat ini.
Apakah hanya
orang-orang yang berlatar belakang pendidikan dari Ilmu Kependidikan dan
Keguruan saja yang boleh jadi guru? Idealnya memang begitu, tapi tunggu dulu!
Pada dasarnya setiap manusia ditakdirkan menjadi guru bagi generasi penerusnya.
Namun banyak di antara kita yang tidak menyadari hal ini, bahkan yang sudah
memilih profesi jadi guru pun banyak yang tidak menyadari hal ini, sehingga dia
menyia-nyiakan kesempatan berharga dalam hidupnya.
Jika sistem
dan proses pendidikan dari awal berjalan sesuai dengan kaidahnya, yaitu
membantu anak untuk menemukan potensi dirinya sedini mungkin, lalu mereka
dibekali dengan sikap “belajar bagaimana belajar”, sehingga belajar menjadi
bagian dari hidupnya dan pada akhirnya tidak “menyesatkan” orang dari
fitrahnya, maka mereka yang memilih “GURU” sebagai PROFESI adalah orang-orang
yang tepat. Bukan kecelakaan atau kebetulan jadi guru. Memilih jadi guru karena
memang telah dipersiapkan oleh Allah SWT sebelum ruh ditiupkan dalam rahim.
Orang Tua sebagai
Guru Pertama
Pembelajaran
daring selama pandemi Corona ini “mewajibkan” setiap orang tua yang sudah
memiliki anak usia sekolah (dari TK hingga kuliah) untuk berperan ganda sebagai
guru anak-anak ketika di rumah. Kalau untuk anak yang usia SMP-SMA atau kuliah
sudah bisa lebih mandiri. Namun, untuk anak-anak yang usia TK dan SD, peran
orang tua masih sangat signifikan. Karena itu, perlu merefleksi diri kembali
karena sejatinya orang tualah guru pertama anak-anak di lingkungan keluarga
Salah satu
cara untuk mensyukuri kondisi sekarang yang mewajibkan kita menjadi “guru”
adalah “konsisten” pada amanah sebagai
pendidik. Tujuan kita mendidik anak adalah agar anak-anak tumbuh menjadi
manusia yang cerdas, berilmu pengetahuan, dan berakhlak mulia. Ukuran
keberhasilan mendidik adalah terjadinya perubahan perilaku anak dari tidak tahu
menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa, dan tidak terbiasa menjadi terbiasa,
sesuai dengan apa yang kita inginkan bersama.
Menjadi Guru
Teladan
Sosok Nabi
Muhammad kiranya bisa dijadikan contoh bagaimana agar kita menjadi guru panutan
(teladan). Nabi Muhammad merupakan sosok yang digugu dan ditiru. Nabi
Muhammad bisa menjadi sumber inspirasi dan teladan bagi para
sahabat-sahabatnya. Bahkan sampai kini pun Nabi Muhammad merupakan panutan yang
belum ada tandingannya. Maka kepada beliaulah kita harus meneladani. Dengan
demikian, kita bisa menjadi guru teladan bagi anak didik kita seperti halnya
Nabi Muhammad menjadi teladan bagi sahabat-sahabatnya serta umatnya.
Ada beberapa tips yang ingin saya bagikan untuk menjadi guru teladan:
❤Memiliki karakter yang
kuat sebagai seorang pendidik. Bisa ditinjau dari 4 aspek: komitmen, kompeten,
kerja keras, dan konsisten dalam mengemban amanah serta mampu memberikan keteladanan dari
aspek: kesederhanaan, kedekatan, dan pelayanan
maksimal.
❤ Cerdas: intelektual,
emosional, dan spiritual.
❤Bekerja keras dengan
penuh pengabdian. Menjadi guru teladan itu butuh perjuangan, pengorbanan, dan totalitas.
❤ Guru teladan adalah
guru yang C.O.M.F.O.R.T
C = Carring = Peduli
O = Observant = Perhatian
M = Mindfull = Cermat/ teliti
F = Friendly = Ramah
O = Obliging = siap sedia/ tanggap
R = Responsible = bertanggung jawab
T = Tackfull = bijaksana
❤Menjadi guru teladan
adalah pencapaian maksimal dari sebuah prestasi dalam menjalani suatu profesi.
Jadi, mulailah terlebih dulu dengan membangun motivasi internal. Karena
BERPRESTASI adalah DAKWAH! Mungkin satu hal ini bisa menjadi motivasi.
❤Guru teladan adalah
guru yang cerdas dan sempurna akalnya, baik akhlaknya, dan kuat fisiknya.
Karena dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan
secara mendalam; dengan akhlak yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan
bagi para muridnya; dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas
mengajar, mendidik, dan mengarahkan anak didiknya.
Semoga Allah
SWT senantiasa memudahkan dan meridhoi setiap langkah-langkah kita, untuk
menjadi lentera yang membebaskan: dari gulita menuju pelita. Aamiin.
Wallahu
a’lam bishowab.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.
Salam,
Keisya Avicenna