DUKA OKTO, DUKA AREMANIA, DUKA DUNIA
Kanjuruhan,
30 September 2022
“Okto, besok kamu nonton Arema sama
Persebaya tanding nggak? Aku sudah dibelikan tiket ayahku. Aku mau nonton sama
kakak dan ayah. Bakalan seru, nih! Aku yakin Arema yang bakal menang,” cerocos Ozan,
sahabat Okto di Klub Sepakbola Kanjuruhan. Sore itu mereka selesai latihan bersama
di lapangan tak jauh dari rumah Ozan. Bulan depan akan ada pertandingan
persahabatan dengan klub sepakbola kota Malang. Okto dan Ozan juga selalu
semangat untuk latihan sepakbola karena mereka punya cita-cita yang sama: kelak
jadi pemain TIMNAS INDONESIA.
Sudah 3 bulan klub ini kembali
berkegiatan secara offline. Ozan dan Okto sangat senang bisa berkumpul lagi bersama
teman-temannya yang sudah mereka kenal sejak 2 tahun lalu. Karena pandemi
Corona, klub ini sempat berhenti untuk berkegiatan secara offline.
“Eh, Okto! Kamu dengerin aku ngomong
nggak, sih?” Ozan sewot. Ia sudah melepas sepatu bolanya dan dimasukkan tas
kresek. Sandal jepit Swallow kini sudah ia kenakan.
“Oh… eh, aku belum tahu, Zan. Aku belum
nanya Bapak,” ucap Okto dengan nada sedikit kecewa. Padahal sebenarnya Okto sudah
tahu karena waktu Okto merajuk minta dibelikan tiket nonton, Bapak bilang kalau tidak bisa, "Sabtu malam ada rapat di kantor
kecamatan," katanya. Semenjak jadi Lurah, bapak semakin sibuk rapat sana-sini.
“Ya sudah. Kabari ya kalau jadi nonton
biar bisa janjian barengan dan duduk di tribun yang sama. Kan seru banget tuh
bisa teriak yel-yel bareng kamu,” kata Ozan lalu sibuk nyanyi yel-yel Arema sambil
membereskan bawaannya.
Kami Arema… dukung Arema…
Jadi juara… juara liga
Aremania, siap berpesta
Salam satu jiwa, untuk Indonesia
Ooooh…
Ah, Ozan. Sebagai Aremania, siapa sih yang
nggak pengen nonton klub sepakbola kesayangannya tanding. Apalagi kali ini
tanding di Stadion Kanjuruhan, lawan rival abadinya pula, Persebaya. Sayang sekali
kalau tidak nonton langsung. Hmmm…
Okto mengayuh sepedanya dengan lesu.
Jarak rumah dengan lapangan sepakbola tempat ia berlatih hanya sekitar 10 menit
kayuhan sepeda.
“Assalamu’alaykum. Okto pulang, Buuuk…”
ucap Okto saat masuk rumah. Bu Yuni, ibunya Okto sedang menata lauk di meja
makan.
“Wa’alaykumussalam. Alhamdulillah, kamu sudah
sampai rumah, Okto. Segera mandi sebentar lagi azan Magrib, terus ke mushola
ya, nanti Ibu tunggu buat makan malam bareng, ya,” kata Bu Yuni.
“Bapak kemana, Bu? Kok sepeda motornya
tidak ada?” tanya Okto.
“Bapak ada rapat di kantor kecamatan
sejak sore tadi, Nak,” jawab Bu Yuni.
“Lho, katanya besok malam rapatnya?”
tanya Okto lagi.
“Kata Bapak tadi rapatnya dimajukan sore
ini. Paling nanti sampai malam Bapak baru pulang,” ucap Bu Yuni yang membuat
Okto hanya ber-O panjang.
Kanjuruhan,
1 Oktober 2022
Kuuuk…
kuuuuk… kugeruuuk… kuuuk…
Suara burung derkuku piaraan Bapak terdengar
merdu pagi ini. Sejak Subuh Okto sudah bangun dan pergi ke mushola bersama
Bapak. Selanjutnya jadi Minggu pagi yang sangat sibuk di keluarga itu. Bu Yuni
sibuk menyiapkan sarapan istimewa, Pak Sapto -bapaknya Okto- sibuk mencuci
motor dibantu Okto yang juga sekalian mencuci sepatu bola dan sepedanya.
Jam di dinding ruang tamu sudah
menunjukkan pukul 07.00
“Bapak, Okto, ayo, sarapan dulu. Ibu
punya kejutan, nih!” seru Bu Yuni.
Okto dan Bapak sudah menyelesaikan pekerjaannya
dan bergegas menuju ruang makan. Mereka berdua benar-benar terkejut saat
melihat ada tumpeng nasi kuning dengan segala lauk pauknya terhidang di meja
makan.
“Selamat ulang tahun, Pak. Selamat ulang
tahun, Okto, anak kesayangan Ibu. Semoga Allah selalu memberikan umur yang
panjang, sehat selalu, senantiasa dijaga Allah,” ucap Bu Yuni bersama dengan
lantunan doa-doa yang kemudian diaminkan oleh Pak Sapto yang berulang tahun 28
September kemarin dan Okto yang berulang tahun hari ini, 1 Oktober.
“Wah, terima kasih banyak, Ibu. Bapak bahagia
sekali hari ini,” sahut Pak Sapto.
“Okto juga, Pak. Ibu memang selalu keren
dan penuh kejutan! Terima kasih doa-doa dan nasi tumpeng istimewanya ya, Bu,”
timpal Okto.
“Eh, Bapak juga punya kado spesial untukmu,
Nak. Tunggu sebentar,” ucap Pak Sapto kemudian. Bapak lantas beringsut ke kamar
dan kembali ke ruang makan dengan membawa sebuah amplop coklat.
“Bukalah!” perintah Pak Sapto saat amplop
itu sudah berpindah ke tangan Okto. Dengan antusias, Okto membukanya perlahan.
Matanya tampak berbinar.
“Waaaaa… tiket Arema vs Persebaya malam
ini!” seketika Okto jingkrak-jingkrak kegirangan ketika mengetahui ada 3 lembar
tiket yang kini ada dalam genggaman tangannya. Artinya, nanti malam mereka akan
merayakan ulang tahun Okto dengan menyaksikan pertandingan bola bersama. Ibu
juga menyerahkan sebuah kado yang isinya baju bola seragam Timnas Indonesia,
kaos Aremania, juga slayer Aremania. Hadiah yang sungguh istimewa di usianya
yang ke-11!
Adegan berikutnya, keluarga kecil itu
menikmati sarapan nasi kuning dengan hati yang hangat penuh cinta.
Sabtu
malam, 1 Oktober 2022
Stadion Kanjuruhan malam ini dibanjiri
Aremania. Tua-muda, besar-kecil, tumpah ruah di stadion. Teriakan yel-yel
menyemangati para pemain Arema membahana di segala penjuru. Keluarga Okto duduk
berdekatan dengan Ozan juga ayah dan kakaknya Ozan di Tribun 10. Ozan senang sekali,
akhirnya keinginannya untuk menonton pertandingan “Si Singo Edan” bersama
sahabatnya terwujud. Dan kini mereka di sini, di stadion yang akan menjadi
saksi Arema akan bertarung sengit dengan rival sejatinya, Persebaya.
Pertandingan berlangsung sangat seru.
Setelah memasuki babak kedua, tim Persebaya berhasil mencetak golnya yang ke-3,
Arema FC semakin tampil menyerang berusaha membobol gawang Persebaya, namun
sayangnya tidak ada gol yang tercipta. Semakin banyak serangan, semakin gemas
pula para supporter menyaksikannya, termasuk Ozan dan Okto yang sesekali
berdiri dan berteriak memberi semangat untuk para pemain Arema. Hingga akhirnya…
Priiit…
priiiiiit…. Priiiiit…
Peluit panjang tanda pertandingan usai
pun dibunyikan sang wasit. Raut kecewa tampak menghiasi para pemain Arema. Mereka tertunduk lesu karena harus
menelan pil pahit kekalahan di kandang sendiri.
“Ayo, Okto. Kita pulang. Pertandingan ya
pertandingan, pasti ada yang menang dan kalah. Arema pasti banyak belajar dari
kekalahan malam ini,” ucap Pak Sapto. Bu Yuni pun mulai beranjak dari tempat
duduknya. Ozan beserta ayah dan kakaknya juga beringsut ingin segera keluar
dari stadion.
Bersamaan dengan itu, suasana di lapangan
tampak tidak kondusif. Okto menyaksikan sendiri suasana yang mendadak gaduh dan
semakin ricuh tatkala banyak supporter yang turun ke lapangan. Kata-kata umpatan
keluar diikuti dengan lempar-lempar berbagai macam benda ke arah lapangan. Para
supporter semakin banyak yang berhamburan ke lapangan dan semakin beringas, tak
terkendali. Para pemain Arema tampak digiring masuk ke dalam ruang ganti dengan
kawalan petugas keamanan. Setelah pemain masuk, supporter semakin tidak terkendali
dan semakin banyak yang masuk ke lapangan.
“Ayo, Okto. Percepat langkahmu. Suasana
mulai rusuh. Orang-orang sudah mulai ribut ingin segera keluar stadion!” ucap
Bu Yuni mulai panik. Pak Sapto menggenggam erat tangan istri dan anaknya. Penonton
di tribun 10 mulai berlarian menuju pintu keluar.
Okto sesekali masih menengok ke arah
lapangan. Ada banyak manusia berseragam aparat berusaha memukul mundur para
supporter. Pemandangan yang seharusnya tidak disaksikan oleh bocah yang baru
memasuki usia 11 tahun. Dengan mata kepalanya sendiri, Okto melihat kondisi
yang semakin kacau tatkala aparat mulai melancarkan serangannya dengan
menembakkan sesuatu secara membabi buta. Saat tembakan ke sekian, tiba-tiba…
“Bapak, Ibu… mataku perih sekali!” teriak
Okto. Karena ingin mengucek matanya, gandengan tangan Bapaknya terlepas. Para
penonton di belakang mereka mulai merangsek ingin segera keluar. Lautan manusia
saling berdesakan menuju pintu keluar yang saat itu belum semua pintu dibuka.
“Bapaaaak, Ibuuu, kalian di mana?” Okto
mulai panik karena terpisah dari Bu Yuni dan Pak Sapto. Semua berlarian menuju
pintu keluar, saling berdesakan, tampak sesak karena “sesuatu” itu ternyata gas
air mata. Okto mencoba bertahan untuk tetap berjalan mengikuti arus desakan
dari arah belakang. Kedua matanya benar-benar perih, nafasnya mulai tersengal.
Dalam hati, Okto terus berharap kedua orang tuanya juga keluarga Ozan dalam
keadaan baik-baik saja.
Alhamdulillah, Okto berhasil keluar dari
desakan lautan manusia. Sesampai di luar stadion, suasana masih ricuh. Ia saksikan
mobil Polisi yang dibakar massa. Ia saksikan puluhan manusia bergelimpangan,
terkapar. Mungkin ada yang sudah tidak bernyawa, atau hanya sekadar pingsan
saja. Okto juga melihat anak-anak kecil yang menangis karena terpisah dari
orang tuanya, ibu-ibu yang berteriak histeris karena mencari anaknya, laki-laki
dewasa yang kebingungan mencari keluarganya. Semuanya sangat mencekam.
“Bapak, Ibu, kalian di mana?” gumam Okto
lirih. Dengan sekujur tubuh yang terasa linu karena terhimpit, terdesak,
terinjak, terdorong kerumunan massa, Okto berjalan tertatih mengitari stadion. Ia
berusaha mengamati satu persatu, namun sudah lama ia berjalan, kedua orang
tuanya belum bisa ia temukan. Okto akhirnya duduk dekat tempat parkir motor bapaknya.
Ia masih ingat karena tidak jauh dari tempat parkir itu ada warung milik teman
sekelasnya, Fani. Tadi sebelum masuk ke stadion Okto dan kedua orangtuanya
sempat membeli air mineral dan jajanan ke warung Fani.
Okto mulai menangis membayangkan kalau
hal buruk terjadi kepada orang tuanya.
“Eh, kamu Okto, kan?” suara anak
perempuan membuat Okto menoleh ke sumber suara.
“Alhamdulillah, kamu tidak apa-apa, Okto.
Ayo, ikut aku ke warung!” Fani menarik tangan Okto. Di rumah Fani, Okto diberi teh
hangat agar sedikit lebih tenang.
“Sambil menunggu suasana lebih aman, kamu
di sini dulu ya, Okto,” ucap ayahnya Fani. Okto hanya mengangguk.
“Kamu istirahat dulu saja, biar ayah Fani
yang mencari kedua orang tuamu. Kondisi di luar masih tidak aman,” kata ibunya
Fani sambil menyerahkan bantal ke Okto. Ayah Fani tampak keluar rumah. Suasana
di luar masih sangat gaduh.
Okto mencoba memejamkan mata, tapi kantuk
itu tidak juga datang. Pikirannya hanya dipenuhi wajah bapak dan ibunya.
Perlahan terlintas peristiwa membahagiakan pagi tadi saat menikmati tumpeng
nasi kuning bersama-sama, saat membuka amplop berisi tiket pertandingan malam ini
dari Bapak, juga kado istimewa dari Ibu.
Akhirnya, Okto pun terlelap dan berharap ketika
terbangun esok hari sudah ada kabar dari kedua orangtuanya.
[*]
Kanjuruhan,
2 Oktober 2022
Suasana Stadion Kanjuruhan sangat
mencekam. Mayat-mayat bergelimpangan. Pagi ini tersiar berita, ada lebih dari 100
korban meninggal dunia akibat tragedi semalam. Mata Okto masih terasa perih dan
dadanya sesak menahan rasa sedih. Setelah Subuh tadi, ayah Fani kembali
melakukan pencarian.
Sekitar jam 7, usai Okto sarapan bersama
Fani, adiknya, juga ibunya Fani, ayah Fani pulang dan tiba-tiba langsung
memeluk Okto.
“Sabar ya, Okto. Pak Sapto, bapak kamu,
iya bapak kamu… tadi ditemukan sudah dalam kondisi tidak bernyawa. Ibu kamu
masih dalam proses pencarian. Nanti coba Bapak cari ke rumah sakit. Ya Allah,
sabar ya, Okto,” ayah Fani menyampaikan berita duka itu dengan suara bergetar.
Hancur hati Okto, semakin perih rasanya
tatkala Okto tahu kalau Ozan, ayah, dan kakaknya juga menjadi korban meninggal
dunia karena tragedi semalam. Pecah tangis Okto karena kehilangan sosok
laki-laki kesayangan yang menjadi panutannya selama ini, juga kehilangan
sahabat terbaiknya, sahabat yang selalu memberikannya semangat untuk mewujudkan
impian bersama.
“Ibu… Okto masih ingin dipeluk Ibu. Semoga
Ibu ditemukan dalam kondisi baik,” batin Okto mengeja pinta. Dipegangnya kaos
Aremania dan syal yang masih melilit lehernya, kado istimewa dari ibu tercinta.
Langit Kanjuruhan pagi itu mendadak kelam, berselimut luka dan duka.
[*]
Sebulan berlalu pasca tragedi Kanjuruhan
itu…
Okto terduduk lesu di dua pusara yang
berdampingan.
“Bapak, Ibu, Okto kangen. Okto ingin
bersama Bapak dan Ibu lagi kaya dulu. Bapak, Ibu, sekarang Okto tinggal bersama
Paklik dan Bulik. Mereka sangat sayang pada Okto. Bapak, Ibu, Okto kangen. Coba
kemarin Okto tidak ngajakin nonton, coba kemarin kita nontonnya di rumah saja…
hiks, hiks, Okto tidak akan jadi yatim piatu, Okto tidak akan kehilangan
orangtua yang penuh cinta seperti Bapak dan Ibu. Hiks… hiks…,” Okto terisak.
[*]
Cerita ini hanya fiktif belaka.
Turut berduka yang sedalam-dalamnya atas tragedi
Kanjuruhan tanggal 1 Oktober silam. Semoga semua korban yang meninggal dunia
diampuni segala dosanya, mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya. Keluarga yang
ditinggalkan senantiasa diberikan kekuatan dan kesabaran.
Tidak ada sepakbola yang seharga nyawa.
Duka Kanjuruhan, duka kami semua…