[Review Film Ketika Mas Gagah Pergi] : MALAIKAT UNTUK ‘DIK MANIS’ ITU BERNAMA ‘MAS GAGAH’
Keisya Avicenna
Friday, February 19, 2016
1 Comments
- Judul Film :
Ketika Mas Gagah Pergi
- Sutradara : Firman Syah
- Produser : Helvy Tiana Rosa
- Penulis Naskah : Helvy Tiana
Rosa
- Produksi : IndoBroadcast
Production, ACT
- Genre : Drama Religi
- Pemain: Hamas Syahid Izzudin, Aquino Umar, Masaji
Wijayanto, Izzah Ajrina, Wulan Guritno, Mathias Muchus, Nungki
Kusumastuti, Miller Khan, Epy Kusnandar, Ali Syakieb, Shireen Sungkar,
Joshua Suherman, Irfan Hakim, Virzha Idol, Fendy Chow, dll.
Ini
film kita! Kita yang modalin, kita yang buat, dunia yang nonton!
Inilah jargon penuh semangat dari para
pejuang KMGP (Ketika Mas Gagah Pergi). Alhamdulillah, setelah penantian
yang cukup panjang selama kurang lebih 12 tahun, KMGP The Movie yang diadaptasi
dari cerita karya Helvy Tiana Rosa, pendiri Forum Lingkar Pena,
inipun bisa tayang dalam bentuk layar lebar mulai 21 Januari 2016.
Lihat dulu trailer-nya, nih!
Lihat dulu trailer-nya, nih!
Sinopsis
Cerita
Bagian pembuka film Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP) ini penonton sudah dimanjakan dengan
pemandangan wilayah Indonesia Timur yang begitu memesona. Adegan pertama
dimulai ketika Gagah (Hamas Syahid Izzudin) naik sepeda motor menuju suatu
tebing lalu mengambil beberapa gambar (memotret), sampai akhirnya dia
terpeleset dan terjatuh. Selanjutnya, alur melompat saat ada narasi dari Gita
(Aquino Umar) tentang kehidupan keluarganya dan ditampilkan flashback saat
Gagah dan Gita kecil.
Mas Gagah adalah segalanya bagi Gita.
Mas Gagah selalu ada untuknya. Mas Gagah dan Gita pun tumbuh dewasa. Mas Gagah
kuliah di jurusan Teknik Sipil dan Gita SMA. Kesedihan menghinggapi mereka saat
sang Papa (Dwiki Dharmawan) meninggal dunia. Setelah Papa meninggal, Mas Gagah
yang menggantikan peran Papa sebagai kepala keluarga dan tulang punggung
keluarga. Mas Gagah mampu mengisi ruang kosong di hati adiknya yang tomboy itu.
Selain tampan, ia juga cerdas, gaul, dan sangat penyayang. Mas Gagah tak pernah
keberatan memenuhi kemauan adiknya. Semuanya berjalan sangat menyenangkan.
Keakraban yang selalu dirindukan terjalin antara kakak beradik itu.
Konflik mulai muncul saat Mas Gagah
harus pergi ke Ternate karena tugas kuliah. Sepulangnya dari Ternate, Mas Gagah
berubah, drastis! Begitu menurut Gita dan juga Mama (Wilan Guritno). Mas Gagah
lebih suka mengenakan baju koko dan berjenggot. Ia pun membatasi dirinya dari
hal-hal yang berbau duniawi. Mas Gagah lebih suka mengaji daripada nge-mal dan
nonton konser musik. Ia pun memutuskan untuk tidak jadi model lagi.
Mas Gagah pun memberanikan diri untuk
menjelaskan semua perubahannya itu pada Mama dan Gita. Bagi Gagah, dirinya
berhijrah mengikuti ajaran Islam untuk hidup yang lebih baik sesuai tuntunan
Al-Qur’an dan Hadits. Tapi, bagi Gita yang ABG gaul, perubahan pada kakaknya
itu ‘sangat lebay dan enggak banget’. Hubungan keduanya pun membeku. Tidak ada
lagi keceriaan dan keakraban antara Gagah dan Gita. Perang dingin berkecamuk di
rumah itu. Apalagi Mas Gagah yang dulu sering berkelakar memanggilnya “Gito”,
sekarang ganti dengan panggilan “Dik Manis” yang terdengar sangat aneh di
telinga Gita.
Gagah pun terus bersemangat dalam
menjalankan ajaran Islam.
“Islam itu indah… Islam itu cinta…”
Mas Gagah kerap menasihati Gita untuk menjalankan
perintah-perintah agama. Gita sebal. Menurutnya, abangnya itu terlalu fanatik
dan norak. Ia hanya mau sosok kakaknya kembali seperti dulu. Tak hanya memusuhi
Mas Gagah, Gita pun benci dengan sosok Kyai Ghufron -yang menurut Gagah
beliaulah yang telah memberikan banyak pelajaran berharga saat di Ternate.
Gagah tak pantang menyerah untuk mengajak Gita dan Mama untuk lebih mengenal
Islam.
Puncak kekesalan Gita ia lampiaskan
dengan menolak untuk diantar jemput Mas Gagah lagi. Saat naik bis umum, Gita
kerap dipertemukan dengan sosok laki-laki berkemeja kotak-kotak yang suka
berceramah. Aneh! Bagi Gita, sosok laki-laki itu sangat aneh. Berceramah kok di
bis, tidak mau dibayar pula.
Laki-laki ganteng yang sering memakai
kemeja kotak-kotak itu bernama Yudi (Masaji). Cara dakwahnya ditentang oleh
abahnya (Mathias Muchus). Tapi, Yudi berusaha membela diri, kalau berdakwah itu
bisa dimana saja. Dakwah Yudi yang anti mainstream itu awalnya membuat Gita
jengah karena Yudi mengingatkan Gita dengan sosok abangnya yang kini berubah.
Gita seringkali bertemu sosok Yudi di
bis umum dan tempat-tempat umum lainnya, termasuk di area pemukiman penduduk
yang terkena musibah. Sosok Yudi selalu menjadi orang yang paling dulu dalam
membantu mereka yang sedang membutuhkan. Sampai akhirnya, Gita ditolong oleh
Yudi saat handphone-nya mau dicopet. Beberapa hari setelah kejadian itu, Gita
berjumpa lagi dengan Yudi saat ia sedang berceramah di bus umum yang ia naiki.
Mereka pun berkenalan dengan singkat dan cepat. “Fisabilillah”, nama itu yang
terdengar di telinga Gita. Hingga akhirnya, Gita memanggil Yudi dengan sebutan
“Mas Fisabilillah”.
Mas Gagah pun mendirikan sebuah rumah
singgah di perkampungan kumuh yang ia beri nama “Rumah Cinta” bersama para
preman insaf. Lalu, bagaimana kisah selanjutnya? Ada banyak kejutan yang ada di
film berdurasi 96 menit ini.
Keunggulan
film KMGP :
- Ruh novelnya masih sangat terasa. Meskipun ada beberapa hal yang berbeda seperti setting tempat (di novel Madura, di film Ternate). Namun, hal ini justru menunjukkan kepiawaian sang penulis skenario, Mas Fredy Aryanto.
- Akting para pemainnya yang sangat natural. Saya sangat suka dengan adegan Gita yang diperankan Aquino Umar, sosoknya sesuai angan saya tentang adik yang tomboy, gaul, dan asyik. Akting Yudi dan Gagah juga tak kalah keren. Itu semua juga tak bisa lepas dari didikan dan gemblengan dari Mas Otig Pakis yang memang sudah malang melintang di dunia seni peran. Akting para pemain pendukung pun juga tak kalah keren. Wulan Guritno sebagai Ibu Mas Gagah dan Mathias Muchus sebagai Ayah Yudi, berperan sangat gemilang. Trio “preman insyaf” Bang Urip (Epy Kusnandar), Maxi (Abdur Arsyad) dan Kang Asep Codet (Muhammad Bagya) menambah kesegaran film ini. Tokoh Tika (Meta Rizki Nurmala) sahabat ‘nongki-nongki chanci’ nya Gita yang sangat gaul juga mencuri perhatian penonton. Hahaha, saya sampai nyengir mencoba memahami bahasa-bahasa alay-nya seperti sya-bi, leh uga, dll. Ada 30 bintang terkenal yang turut meramaikan film ini antara lain: Shireen Sungkar, Ali Syakieb, Mentari De Marelle, Joshua Suherman, Virzha Idol, Miller Khan, Arbani Yasiz, Elovii, Rendy Martin, Nungki Kusumastuti, dan masih banyak lagi.
- Teknik sinematografi yang cukup matang, benar-benar mampu memanjakan mata para penontonnya. Setting Ternate ditampilkan dengan sangat indah meskipun hanya sekilas.
- Soundtrack film/musik yang digarap Dwiki Dharmawan benar-benar mampu membawa penonton hanyut dalam setiap adegan. Lagu yang menjadikan film ini lebih kece diantaranya “Rabbana” dibawakan dengan sangat indah oleh Indah Nevertari juga lagu "Ketika Mas Gagah Pergi" yang dibawakan oleh Olivia Wardhani.
- Dalam KMGP disinggung sedikit tentang persoalan kemanusiaan di Palestina. Saat dibawa ke rumah-rumah produksi, mereka ingin menghapus ‘bagian’ tersebut dalam film, namun Bunda Helvy berjuang untuk mempertahankannya. 12 tahun mempertahankan hal ini, ternyata nama pemeran utama film KMGP adalah Hamas Syahid Izzuddin, sebuah nama yang akan selalu mengingatkan kita pada Palestina. Masya Allah...
- KMGP mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan kekeluargaan yang dikemas dengan beragam fenomena kekinian. KMGP merupakan film yang menggugah kesadaran kita tentang arti hijrah, perubahan ke arah yang lebih baik, dan bagaimana kita harus menyikapi dan menghargai sebuah perbedaan. Seperti kata Tika pada Gita saat mereka ‘nongki-nongki chanci’ : “Berbeda itu kece.” Atau seperti yang disampaikan Gagah saat Tika mengkonfirmasi perubahan yang terjadi pada diri Mas Gagah : “Jika kita tidak menyetujui suatu kebaikan yang mungkin belum bisa kita pahami, kita bisa coba untuk menghargainya."
- Film ini dibuat dari dana patungan (crowdfunding) para pembacanya dan lebih dari 50% keuntungan bersih film ini disalurkan untuk dana kemanusiaan. Dan juga tercatat 12 Komunitas resmi mendukung film ini yaitu: Masyarakat Relawan Indonesia (MRI), Komunitas Sukses Mulia (KSM), Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI), Rumah Kepemimpinan (RK), Forum Lingkar Pena (FLP), Hijaber Moms Community (HMC), Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT), One Day One Juz (ODOJ), Smart Club (SC), Tangan Di Atas (TDA), Sahabat Mas Gagah (SMG) dan Matasinema.
Tapi,
memang tak ada karya yang tak retak. Saya tetap menjumpai
beberapa kelemahan dalam film ini :
- Ada beberapa alur cerita yang cukup aneh buat saya. Lompatannya terasa begitu cepat sehingga terkesan kurang jelas dan membingungkan. Terutama saat adegan Mas Gagah yang pergi ke Ternate lalu adegan saat pulang yang terkesan sangat cepat.
- Kesalahan kecil juga terekam mata saya, seperti jenggot Mas Gagah cukup aneh dan kurang konsisten. Hehe. Ada juga adegan saat Yudi yang tidak menanyakan nama gereja saat ia menolong seorang ibu korban kebakaran, Yudi akan menyusul sang suami ibu itu, tapi kan belum disebutkan gerejanya apa namanya dan dimana letaknya, Yudi langsung lari saja.
Film ini
tetap keren. Kesalahan-kesalahan kecil itu tertutupi dengan teriakan takbir
dalam hati saya. Allah Maha Besar! Rasanya, setelah selesai menonton film itu,
saya ingin menghambur ke pelukan Bunda Helvy. Akhirnya, atas izin Allah, KMGP
bisa difilmkan. Saya kembali terisak saat di akhir film, saya melihat melihat
foto tiga “Mas Gagah” in memoriam : Chaerul Umam, Didi Petet dan Ferasta
“Pepeng” Soebardi.
Selama
12 tahun memperjuangkan film KMGP, Bunda Helvy kehilangan 3 ‘abang’ yang sangat
mendukungnya itu. Sejak 2004, sutradara terkemuka Chaerul Umam berkata bahwa
kalau KMGP difilmkan, ia harus menjadi sutradaranya karena ia sangat suka kisah
yang menurutnya bisa membangun karakter pemuda Indonesia tersebut. Tahun 2013
beliau meninggal dalam keadaan menjadi sutradara film KMGP. Enam bulan sebelum
wafat, dalam keadaan sehat, beliau berwasiat pada Helvy, bila beliau meninggal,
orang yang tepat menyutradarai film KMGP adalah Firman Syah. Pepeng sejak tahun
2004 ingin membuat kuis televisi “Mencari Mas Gagah” dimana para pemuda muslim
diadu wawasan, akhlak, bacaan Al Qur’an, dan prestasinya. Pemenangnya akan
menjadi pemeran utama KMGP. Sayang, tahun 2005 Pepeng sakit hingga lumpuh dan
kemudian wafat. Didi Petet terlibat dalam casting pemain. Ia penasaran karena
saat casting tak berhasil menemukan orang yang cocok memerankan Mas Gagah. Ia
berharap bisa bertemu dengan Mas Gagah, namun sayang, tak sempat karena beliau
wafat.
Film
produksi IndoBroadcast bekerjasama dengan Aksi Cepat Tanggap ini telah ditunggu
selama lebih dari 20 tahun oleh para pembacanya yang turut “patungan” untuk
kehadiran film ini. Bunda Helvy berkomitmen menyumbangkan 50% keuntungan film
untuk dana kemanusiaan dan apabila tercapai 1 juta penonton, akan ditambah lagi
1 Milyar untuk pendidikan anak-anak di Indonesia Timur dan 1 Milyar lagi untuk
pendidikan anak-anak Palestina.
Ayo,
segera tonton filmnya! Kalau ada agenda nonton bareng di kotamu, segera ajak
sahabat dan semua keluargamu!
Sssst, ini ada trailer KMGP The Movie #2