“Wahai Abu Utsman,” kata perempuan itu, “Sungguh aku mencintaimu.”
Suasana hening sejenak. “Aku memohon, atas nama Allah, agar sudilah kiranya engkau menikahiku,” lanjutnya.
Lelaki yang bernama lengkap Abu Utsman An Naisaburi itu diam. Ada keterkejutan dan kegamangan dalam dirinya tatkala mendengar perkataan perempuan yang datang kepadanya itu. Ia tidak mengenal perempuan ini dengan baik. Namun, tiba-tiba saja perempuan ini datang menemuinya dan menyatakan rasa cintanya yang dalam kepadanya. Bahkan saat itu pula, atas nama Allah, perempuan itu meminta pada Abu Utsman untuk menikahinya. Seakan keterkejutan yang dirasakan Abu Utsman bertumpuk-tumpuk di atmosfir hatinya.
Abu Utsman diam. Memikirkan keputusan apa yang hendak diambilnya. Sebagai seorang pemuda, ia dihadapkan pada sebuah keputusan besar dalam hidupnya. Sebuah keputusan yang mungkin akan dijalaninya selama lebih dari separuh usianya dan separuh imannya. Selama ini keluarganya senantiasa mendorongnya untuk segera meminang salah seorang perempuan shalihah di wilayah itu. Namun, ia selalu menolak dorongan dari keluarganya itu hingga hari ini. Maka, sampai sekarang ia masih juga membujang. Ia akan mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya, termasuk segala konsekuensi yang menyertainya.
Imam Abul Faraj Abdurahman ibnu Al Jauzi menuliskan dalam salah satu kitabnya, Shaidul Khathir, bahwa Abu Utsman kemudian datang ke rumah si perempuan. Ia mendapati orangtua si perempuan adalah orang yang miskin. Namun, keputusannya tetaplah bulat untuk meminang si perempuan yang datang menyatakan cinta kepadanya itu. Terlebih lagi karena perempuan itu memintanya untuk menikahinya. Ia menyaksikan kebahagiaan yang berlimpah pada orangtua si perempuan mendengar bahwa putrinya dipinang oleh Abu Utsman, lelaki yang berilmu, tampan, shalih, penyabar, setia, jujur, tulus, dan terhormat.
Mereka pun menikah. Hingga akhirnya sang istri itu meninggal dunia lima belas tahun kemudian. Namun, sejak malam pengantin mereka ada kisah yang baru terungkap setelah kematian sang istri. “Ketika perempuan itu datang menemuiku,” kisahnya, “Barulah aku tahu kalau matanya juling dan wajahnya sangat jelek dan buruk. Namun, ketulusan cintanya padaku telah mencegahku keluar dari kamar. Aku pun terus duduk dan menyambutnya tanpa sedikit pun mengekspresikan rasa benci dan marah. Semua demi menjaga perasaannya. Walaupun aku bagai berada di atas panggang api kemarahan dan kebencian.”
Ah, kita jangan marah pada Abu Utsman yang mengharapkan istri yang cantik dan sempurna, tapi kemudian hanya mendapatkan istri juling dan buruk wajah. Itu merupakan sisi manusiawi dari lelaki yang menginginkan kecantikan dan kesempurnaan dari pendamping hidupnya. “Begitulah kulalui lima belas tahun dari hidupku bersamanya hingga dia meninggal,” lanjutnya berkisah. “Maka, tiada amal yang paling kuharapkan pahalanya di akhirat, selain masa-masa lima belas tahun dari kesabaran dan kesetiaanku menjaga perasaannya dan ketulusan cintanya.” Kesetiaan itu adalah bintang di langit kebesaran jiwa, kata Anis Matta.
Sungguh, saya sangat kagum dengan sepasang suami istri ini. Meskipun cinta di antara mereka tidak pernah benar-benar ada dalam masa-masa lima belas tahun perkawinan itu, tapi perjuangan cinta si perempuan sangat luar biasa di mata saya. Meskipun sang perempuan itu tahu bahwa ia bermata juling, meskipun ia tahu bahwa ia hanya anak orang miskin, meskipun ia tahu bahwa ia bukan perempuan berwajah cantik satin, tapi ia memperjuangkan cintanya untuk membersamai orang yang dicintainya itu. Ia berhasil membersamainya dalam masa lima belas tahun hingga maut datang menjemput. Ia memang tidak tahu bahwa selama masa itu sang suami, Abu Utsman An Naisaburi, tidak pernah benar-benar mencintainya. Namun, Abu Utsman membuktikan bahwa ia adalah lelaki yang setia, tulus, sabar, dan senantiasa menjaga perasaan sang istri yang demikian tulus mencintainya. Bagi saya, semua hal itu adalah bagian dari cintanya, hanya saja bentuknya yang sedikit berbeda. Sungguh, saya sangat kagum dengan sepasang suami istri ini. Semua bermula tatkala si perempuan itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
Ada pula kisah lain dari shahabiyah Rasulullah. Namanya Khansa’ binti Khaddam Al Anshariyah. Ia adalah salah seorang perempuan Madinah dari Bani Aus yang berstatus janda. Khaddam, sang ayah Khansa’, mengawinkannya dengan seorang lelaki yang juga berasal dari Bani Aus. Namun, ia tidak menyukai lelaki itu dan sebenarnya ia telah menyukai lelaki lain. Maka, berangkatlah Khansa’ menemui Rasulullah. Ia menceritakan kasus perselisihannya dengan sang ayah dan mengutarakan hasrat hatinya bahwa ia mencintai lelaki lain itu. Rasulullah pun memanggil sang ayah dan memerintahkan kepadanya untuk memberikan kebebasan kepada putrinya dalam memilih calon suaminya sendiri.
“Sesungguhnya,” tutur para imam hadits dalam kitab mereka, “Ayahnya menikahkan dia, sedangkan dia seorang janda maka ia tidak suka pernikahan itu, kemudian datang kepada Rasulullah. Maka Rasulullah menolak pernikahannya.” Hanya Imam Muslim yang tidak mencatat riwayat dari Khansa’ binti Khaddam Al Anshariyah ini.
Khansa’ binti Khaddam Al Anshariyah pun memilih. Ia memutuskan untuk meninggalkan perkawinan paksaan sang ayah dan menginginkan dinikahi oleh orang yang dicintainya. Dalam Shahifah Amru bin Syaibah, disebutkan bahwa lelaki itu terlebih dahulu meminang Khansa’ dan sudah diterima Khansa’. Nama lelaki itu adalah Abu Lubabah bin Abdil Mundzir. Ia adalah salah seorang sahabat utama yang menghadiri Bai’atul Aqabah kedua, ia adalah wakil Rasulullah di Madinah saat Perang Badar untuk menjaga keamanan dan ketertiban penduduk kota Madinah, anak-anak, kaum perempuan, kebun buah-buahan. Ia juga ditugasi untuk memberi makanan pada warga yang kelaparan dan memenuhi kebutuhan semua warga yang ada, baik anak-anak maupun orang tua sampai pasukan yang berada di jalan Allah itu kembali. Dengan lelaki mulia inilah Khansa’ menjatuhkan pilihannya, ia menikah dengan lelaki yang dicintainya. Ia menikah dengan lelaki yang diperjuangkannya hingga melibatkan keputusan Rasulullah atas pemaksaan sang ayah. Dari pernikahan mereka itu lahirlah seorang perempuan bernama Lubabah.
Pada Khansa’ binti Khaddam Al Anshariyah pula kita berterimakasih atas pelajaran penting tentang larangan pemaksaan menikah dari orang tua jika sang putri tidak menyukai calon suaminya. Dari Khansa’ pula kita belajar tentang hak-hak perempuan dalam syariat Islam dan menjalankan hidupnya sebagai bagian dari sistem struktur masyarakat madani. Semua bermula tatkala si perempuan itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
Kisah hidup perempuan paling mulia di zamannya pun melakoni episode perjuangan cinta ini.
“Sebenarnya ia orang biasa,” kata perempuan mulia itu. Dr Thaha Husain menuliskan fragmen ini dalam saduran kisahnya yang dinukil oleh Saefulloh Muhammad Satori dalam Romantika Rumah Tangga Nabi. Perempuan mulia ini bernama Khadijah binti Khuwailid. Sedangkan orang yang dibicarakannya adalah Muhammad bin Abdullah yang kala itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. “Saya kenal ibunya. Saya kenal ayahnya, dan saya turut hadir pada waktu ia baru lahir,” terangnya.
Dalam pandangan Khadijah, sosok Muhammad muda adalah sosok dengan kebaikan yang melimpah, kewibawaan lelaki, kepercayaan amanah, dan pesona jiwa yang tak mampu tersembunyikan oleh kerasnya hidup yang dilaluinya. Sebentuk empati pada Muhammad muda menunas di hatinya. Segala kabar miring yang pernah didengarnya dari orang-orang yang mengatakan bahwa kedudukan Muhammad hanyalah seorang penggembala kambing penduduk Mekah tertepis dengan sendirinya menyaksikan amanahnya pada lelaki itu terlaksana dengan gemilang.
Rasa empati di dalam hati Khadijah bertransformasi, lembut, lambat dan menumbuh pelan, pasti. Rasa empati itu semakin lama berbunga cinta. Ia merasakan perasaan manusiawi terhadap lelaki mulia yang menjadi pekerjanya itu. Dan seperti bentuk cinta jiwa lainnya, cinta yang dirasakannya menginginkan balasan dan penghalalan di singgasana pernikahan. Namun, ia masih merasakan keraguan di dalam dirinya untuk membersamai sang lelaki mulia itu. Sebelumnya, ia telah menikah dengan Atiq bin Aid bin Abdullah Al Makhzumi dan Abu Halah Hindun bin Zarrah At Tamimi. Bahkan ia telah memiliki putri yang sudah berada di usia nikah dan seorang putra lagi. Saat itu Khadijah berusia sekitar empat puluh tahun. Selisih usianya dengan Muhammad sekitar lima belas tahun.
Dalam kebimbangan itu, datanglah kawan karibnya yang bernama Nafisah binti Munayyah. Ia adalah kawan Khadijah dimana ia banyak mendengarkan keinginan-keinginan hati Khadijah. Dan kali ini termasuk tentang rasa cintanya terhadap Muhammad dan hasrat hatinya untuk menjadi istri dari lelaki yang dicintainya itu. Nafisah pun mengerti. Ia menawarkan bantuannya untuk menjadi utusan rindu antara Khadijah dan Muhammad.
Segera ditemuinya Muhammad. Ditanyalah lelaki mulia ini alasan-alasan mengapa ia belum juga menikah. Ia juga menjelaskan kepada Muhammad tentang keutamaan-keutamaan bagi orang yang menikah yang didampingi seorang istri yang setia. Muhammad muda termangu membayangkan idealisme yang dijabarkan nafisah dan realita yang dihadapinya di masa lalu dan kini.
“Aku tidak tahu dengan apa aku dapat beristri…?” jawab Muhammad dengan pertanyaan retoris.
“Jika ada seorang perempuan cantik, hartawan, dan bangsawan yang menginginkan dirimu, apakah engkau bersedia menerimanya?” tanya Nafisah balik.
Syaikh Shafiyurahman Al Mubarakfuri dalam Rahiq Al Makhtum menyebutkan bahwa Nafisah binti Munayyah bergegas menemui Muhammad muda dan membeberkan rahasia Khadijah tersebut dan menganjurkannya untuk menikahi Khadijah. Muhammad pun menyetujuinya dan merundingkan hal itu dengan paman-pamannya. Kemudian mereka mendatangi paman Khadijah untuk melamarnya bagi Muhammad. Pernikahan pun segera berlangsung dengan dihadiri oleh Bani Hasyim dan para pemimpin suku Mudhar. Muhammad menyerahkan mahar sebanyak dua puluh ekor unta muda.
“Muhammad,” kata Abu Thalib, sang paman, dalam Romantika Rumah Tangga Nabi, “Adalah seorang pemuda yang mempunyai beberapa kelebihan dan tidak ada bandingannya di kalangan kaum Quraisy. Ia melebihi semua pemuda dalam hal kehormatan, kemuliaan, keutamaan, dan kecerdasan. Walaupun ia bukan termasuk orang kaya, tapi kekayaan itu dapat lenyap. Sebab setiap titipan atau pinjaman pasti akan diminta kembali. Sesungguhnya Muhammad mempunyai keinginan khusus terhadap Khadijah binti Khuwailid, begitu pula sebaliknya…”
Tentu saja kisah cinta Khadijah – Muhammad adalah kisah yang sarat dengan hikmah dan berlimpah berkah. Dua orang mulia bertemu dalam singgasana pernikahan yang sama. Bergemuruh oleh kerja-kerja cinta di antara keduanya. Saling melengkapi di antara keduanya. Dan kematangan serta sikap keibuan Khadijah adalah energi gerak dan penenang jiwa tatkala sang suami memikul amanah langit dan menyampaikan dua kalimat keadilan. Penyiksaan psikis pun bisa dikikis oleh rasa kasih dan sayang Khadijah pada Muhammad, Rasulullah.
Kita tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya Khadijah hanya berdiam diri menunggu takdir cintanya kepada Muhammad. Bisa jadi Rasulullah tetap akan meminang Khadijah. Namun, bisa jadi hal lain yang terjadi, yakni tidak terjadi apa-apa di antara keduanya. Dan tentu ceritanya akan lain jika Khadijah tidak menikah dengan Muhammad. Namun, sejarah cukup membuktikan bahwa takdir telah diciptakan oleh Khadijah dengan mengutarakan rasa cintanya melalui kawan karibnya, dan takdir ciptaannya itu pun berjodoh dengan takdir ilahi. Khadijah memang perempuan mulia, dan kemuliaannya itu tidak mengurangi kekuatan dirinya untuk memperjuangkan rasa cintanya. Dan cinta Khadijah – Muhammad pun mengabdi di langit jiwa sejarah manusia. Semua bermula tatkala perempuan mulia itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
Kita seringkali tidak memahami bahwa kehidupan berjalan dalam siklus pilihan, keputusan, dan konsekuensi. Kisah-kisah hidup perempuan-perempuan ini memang berakhir bahagia dalam perjuangan cintanya untuk membersamai lelaki yang dicintainya. Namun, ada juga kisah yang tidak gemilang, bahkan berkesan coretan buram menghitam dalam sejarah perjuangan cinta, jika boleh kita sebut cinta. Mari kita simak kisahnya sebagaimana dituturkan Salim A Fillah dalam Jalan Cinta dengan menukil dari Raudhatul Muhibbin dan Taujih Ruhiyah.
Ini kisah tentang seorang gadis yang sebegitu cantiknya. Dialah sang bunga di sebuah kota yang harumnya semerbak hingga negeri-negeri tetangga. Tak banyak yang pernah melihat wajahnya, sedikit yang pernah mendengar suaranya, dan bisa dihitung jari orang yang pernah berurusan dengannya. Dia seorang pemilik kecantikan yang terjaga bagaikan bidadari di taman surga.
Sebagaimana wajarnya, sang gadis juga memendam cinta. Cinta itu tumbuh, anehnya, kepada seorang pemuda yang belum pernah dilihatnya, belum pernah dia dengar suaranya, dan belum tergambar wujudnya dalam benak. Hanya karena kabar. Hanya karena cerita yang beredar. Bahwa pemuda ini tampan bagai Nabi Yusuf zaman ini. Bahwa akhlaqnya suci. Bahwa ilmunya tinggi. Bahwa keshalihannya membuat iri. Bahwa ketaqwaannya telah berulang kali teruji. Namanya kerap muncul dalam pembicaraan dan doa para ibu yang merindukan menantu.
Gadis pujaan itu telah kasmaran sejak didengarnya sang bibi berkisah tentang pemuda idaman. Tetapi begitulah, cinta itu terpisah oleh jarak, terkekang oleh waktu, tersekat oleh rasa asing dan ragu. Hingga hari itu pun tiba. Sang pemuda berkunjung ke kota si gadis untuk sebuah urusan. Dan cinta sang gadis tak lagi bisa menunggu. Ia telah terbakar rindu pada sosok yang bayangannya mengisi ruang hati. Meski tak pasti adakah benar yang ia bayangkan tentang matanya, tentang alisnya, tentang lesung pipitnya, tentang ketegapannya, tentang semuanya. Meski tak pasti apakah cintanya bersambut sama.
Maka ditulisnyalah surat itu, memohon bertemu. Dan ia mendapat jawaban. ”Ya”, katanya.
Akhirnya mereka bertemu di satu tempat yang disepakati. Berdua saja. Awal-awal tak ada kata. Tapi bayangan masing-masing telah merasuk jauh menembus mata, menghadirkan rasa tak karuan dalam dada. Dan sang gadis yang mendapati bahwa apa yang ia bayangkan tak seberapa dibanding aslinya; kesantunannya, kelembutan suaranya, kegagahan sikapnya. Ia berkeringat dingin. Tapi diberanikannya bicara, karena demikianlah kebiasaan yang ada pada keluarganya.
”Maha Suci Allah”, kata si gadis sambil sekilas kembali memandang, ”Yang telah menganugerahi engkau wajah yang begitu tampan.”
Sang pemuda tersenyum. Ia menundukkan wajahnya. ”Andai saja kau lihat aku”, katanya, ”Sesudah tiga hari dikuburkan. Ketika cacing berpesta membusukkannya. Ketika ulat-ulat bersarang di mata. Ketika hancur wajah menjadi busuk bernanah. Anugerah ini begitu sementara. Janganlah kau tertipu olehnya.”
”Betapa inginnya aku”, kata si gadis, ”Meletakkan jemariku dalam genggaman tanganmu.”
Sang pemuda berkeringat dingin mendengarnya. Ia menjawab sambil tetap menunduk memejamkan mata. ”Tak kurang inginnya aku berbuat lebih dari itu. Tetapi coba bayangkan, kulit kita adalah api neraka; yang satu bagi yang lainnya. Tak berhak saling disentuhkan. Karena di akhirat kelak hanya akan menjadi rasa sakit dan penyesalan yang tak berkesudahan.”
Si gadis ikut tertunduk. ”Tapi tahukah engkau”, katanya melanjutkan, ”Telah lama aku dilanda rindu, takut, dan sedih. Telah lama aku merindukan saat aku bisa meletakkan kepalaku di dadamu yang berdegup. Agar berkurang beban-beban. Agar Allah menghapus kesempitan dan kesusahan.”
”Jangan lakukan itu kecuali dengan haknya”, kata si pemuda. ”Sungguh kawan-kawan akrab pada hari kiamat satu sama lain akan menjadi seteru. Kecuali mereka yang bertaqwa.”
Ah, perjuangan cinta si perempuan itu tampak nyata tidak indah. Memang benar ia orang yang romantis dan memiliki daya khayal yang tinggi serta kemampuan merangkai kata yang indah. Namun, semuanya berbau aroma syaitan dan nafsu. Kesucian cinta yang seharusnya ada di dalam hatinya dan mengejawantah di dalam laku juangnya ternyata tergerus oleh badai hawa nafsu. Selain persoalan ikhtilath yang terjadi di antara mereka, si perempuan itu tidak menunjukkan juang cintanya dalam bentuk yang halal. Semuanya di luar bingkai pernikahan. Begitu hitam dan memalukan yang mendengar kisahnya. Semua bermula tatkala si perempuan mulia itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
“Di kota Kufah,” tulis Ibnul Qayyim dalam Raudhatul Mubibbin, “Ada seorang pemuda yang tampan sekali wajahnya, rajin beribadah, dan berijtihad. Suatu hari dia singgap di suatu kaum dari An Nakha’. Di sana pandangannya terpapas dengan seorang gadis yang cantik jelita dari kaum itu, sehingga dia langsung jatuh cinta kepadanya. Dia pun berpikir untuk menikahinya. Dia singgah di tempat yang lebih dekat dengan rumah gadis itu, lalu mengirim utusan untuk menyampaikan pinangan kepada ayah sang gadis. Namun, dia dikabari ayahnya, bahwa gadis itu sudah dipinang oleh anak pamannya sendiri.”
Lelaki shalih dan perempuan itu ternyata telah saling mencinta. Dan status si perempuan yang telah dipinang membuat mereka tidak bisa bersatu. Gelora cinta dan asmara begitu menggebu di antara keduanya. Tatkala si perempuan sudah demikian merasa berat, maka ia mengirim utusan kepada lelaki itu.
“Aku sudah mendengar tentang besarnya cintamu kepadaku. Aku pun sedih karenanya. Jika kamu mau, aku bisa menemuimu. Atau jika kamu mau, maka aku bisa mengatur cara agar kamu bisa masuk ke dalam rumahku,” kata utusan itu menirukan pesan si perempuan.
Lagi-lagi, pernyataan cinta dan perjuangan untuk dapat membersamai ini kembali dicoret dengan warna buram menghitam. Keindahan cintanya di antara sepasang manusia itu ternodai oleh niat yang tidak lempang. Terpesong dari jalan cinta rabbani. Namun, ada yang indah dari kisah ini. Tatkala mendengar tawaran dari si perempuan yang sedang mabuk kepayang oleh cinta itu, sang pemuda malah menjawab, “Tidak adakah pilihan di antara dua hal yang dicintai ini? Sesungguhnya aku takut azab hari yang besar jika aku mendurhakai Tuhanku. Sesungguhnya aku takut api neraka yang baranya tidak pernah padam dan tidak surut jilatannya.”
Mendengar jawaban dari lelaki yang dicintainya itu, si perempuan meluncur di titik balik. Ia tersadar atas khilafnya dalam perjuangan cinta yang ia lakukan. Ia sadar dan bertobat. Ia mengabdikan dirinya pada Allah dan hanya beribadah semata. Memisahkan diri dari keluarganya. Namun begitu, ia tetap tidak mampu memadamkan rasa cintanya dan kerinduannya kepada sang pemuda hingga meninggal dalam keadaan seperti itu. Mereka memang akhirnya tidak pernah saling membersamai dalam singgasana pernikahan, tapi masih terasa indah akhirnya. Kesucian diri dari maksiat atas nama cinta. Kisah serupa juga dialami oleh Abdurahman bin Abu Ammar yang dicintai oleh seorang perempuan Mekah yang menyatakan cintanya dan mengajaknya berbuat mesum. Namun, cintanya pada Allah menuntunnya tetap menjaga kesucian diri. Semua bermula tatkala si perempuan itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
Memperjuangkan cinta bagi seorang perempuan adalah keputusan yang sulit. Di sana dibutuhkan keberanian yang berlipat-lipat dibandingkan dengan perjuangan cinta seorang lelaki. Ada adat, tradisi, dan karakter jiwa yang harus dilawan untuk mampu mengambil keputusan besar itu: memperjuangkan cinta. Rasa malu yang dimiliki perempuan dalam urusan cinta sangatlah mendalam. Oleh karena itu, Rasulullah menjelaskan bahwa kemauan seorang perempuan akan pinangan seorang lelaki adalah dengan diamnya, dalam arti tidak menolak, tanpa perlu mengiyakan dengan rangkaian kata-kata. Namun, kekuatan cinta memang dahsyat dan menggerakkan.
Dalam Shahih-nya, Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ketika berada dalam sebuah majelis Rasulullah, seorang perempuan berdiri dan berkata kepadanya, “Ya Rasulullah, apakah engkau mau kepadaku?” Dalam kesempatan lain, perempuan yang lain datang pada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah saya datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.”
Hadits tentang perempuan yang pertama diriwayatkan oleh Tsabit Al Bunani dalam Bab Seorang Perempuan Menawarkan Dirinya Kepada Lelaki Shalih. Sedangkan hadits tentang perempuan kedua diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad. Meskipun kedua bentuk penghibahan diri perempuan ini adalah hal yang khusus bagi Rasulullah sebagaimana dicantumkan dalam Surat Al Ahzab ayat 50, tapi menawarkan diri untuk dinikahi lelaki shalih adalah hukum umum yang berlaku untuk semua lelaki shalih.
“Di antara kehebatan Bukhari di sini,” kata Ibnu Al Munir, sebagaimana dinukil Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, “Adalah dia tahu bahwa kisah perempuan yang menyerahkan dirinya ini bersifat khusus. Maka, dia beristinbath (menyimpulkan hukum) dari hadits ini untuk kasus yang tidak bersifat khusus, yaitu diperbolehkannya seorang perempuan menawarkan dirinya kepada lelaki yang shalih karena menginginkan keshalihannya. Hal itu boleh dilakukan.”
“Hadits tadi memuat dalil bolehnya seorang perempuan menawarkan dirinya kepada laki-laki shalih. Perempuan itu juga boleh memberitahukan bahwa ia mencintai laki-laki tersebut karena keshalihannya, keutamaan yang dimilikinya, keilmuannya, dan kemuliannya. Sungguh ini bukan suatu perangai jelek. Bahkan, ini menunjukkan keutamaan yang dimiliki perempuan itu,” kata Imam Al ‘Aini.
Masih dari Fathul Bari, dalam Kitab Tafsir, diterangkan bahwa perempuan yang menawarkan diri itu adalah Khaulah binti Hakim, dan ada yang mengatakan Ummu Syarik atau Fathimah binti Syuraih. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa perempuan itu adalah Laila binti Hathim, Zainab binti Khuzaimah, dan Maimunah bintul Harits.
“Dari hadits tentang seorang perempuan yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah ini,” kata Ibnu Hajar, “Dapat disimpulkan bahwa barangsiapa dari kaum perempuan yang ingin menikah dengan orang yang lebih tinggi darinya, tidak ada yang harus dirasakan malu sama sekali. Apalagi kalau niatnya baik dan tujuannya benar. Katakanlah, umpamanya karena lelaki yang ingin dia tawarkan itu mempunyai kelebihan dalam soal agama, atau karena rasa cinta yang apabila didiamkan saja dikhawatirkan dapat membuatnya terjerumus pada hal-hal yang dilarang.”
Bagi kebanyakan kita, mungkin juga termasuk saya dan Anda, jika mendengar seorang perempuan yang menawarkan diri untuk dinikahi oleh seorang lelaki shalih, mungkin kita akan berkata seperti yang dikatakan oleh putri Anas yang kala itu menyaksikan sebentuk perjuangan cinta itu, “Alangkah sedikit rasa malunya. Sungguh memalukan! Sungguh memalukan!”
Namun, saya lebih suka perkataan yang disampaikan oleh sang ayah, Anas, kepada putrinya itu, “Dia lebih baik daripada kamu. Dia mencintai Rasulullah, lalu dia menawarkan dirinya untuk beliau.”
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2010/juang-cinta-para-wanita/
Listnya dapat dari milis LDK Al-Azzam, semoga posting ini bermanfaat bagi kita semua…. 1.dr. Puji Ichtiarti RS Hermina Bekasi Barat dan RS Hermina Jatinegara 2.dr. Yenny Julizir Rs.Anna Bekasi (Suaminya dr. Anak dan sebagai pemilik RS. ANNA) 3.dr. Susi RS Rawamangun 4.dr. Lidya Liliana RS. Mitra Bekasi Barat 5.dr. Lina Meilina Pujiastuti SpOG RS Mitra Keluarga Bekasi Barat 6.dr. Jenny Anggraeni RSIA Hermina Bekasi 7.dr. Nina Martini Somad RSIA Hermina Bekasi 8.Hj. Lina Meilina Spog RS Mitra keluarga Bekasi Barat 9.dr. Sri Redjeki – RS Hermina, Klinik Bella, Klinik Alifia Perumnas III Bulak Kapal Bekasi 10.dr. Koesmaryati – Rumah Sakit Mitra Keluarga Bekasi Timur (Muslimah) 11.dr. Ariati RS. siloam cikarang 12.dr Santi (Marlisanti kalau gak salah) RS JMC Buncit Raya 13.dr Husna RS OMC Pulomas 14.dr Ramayanti RSIA Putra Dalima , BSD Serpong 15.dr Hasna, dr.. (bisa dicek di website harapan kita) RS harapan kita 16.dr. Lita Lilik RS Mitra International jatinegara 17.dr Dwiyana Ocviayanti (Ocvi) RS Permata Cibubur 18.dr. Sri Lestari Praktek di RS International Bintaro dan RS Fatmawati. 19.dr. Rudiyanti RS International Bintaro. Praktek setiap hari 10:00-13:00 di RSIB. 20.dr. Wenny Ningsih RS.Honoris Tangerang (Perumahan Taman modern Tangerang), dkt Metropolis Town Square ) 21.dr. Lucky Syafitri RSIA Eva Sari di Jl Rawa Mangun (Pramuka) Jak Pus dan RS Thamrin JakPus 22.dr. Suharyanti, Spog Praktek di RS. MMC dan RS Hermina Jatinegara 23.dr. Mutia Prayanti RS Hermina Depok 24.dr. Nelwati RS Hermina Depok 25.dr. Tazkiroh RS ISLAM JAKARTA, Jl. Cempaka putih Tengah I/1 Jakarta Pusat, Telp.(021) 4250451 – 42801567 (hunting) Fax. (021) 4206681 26.dr. Suharni Kahar, SpOG 27.dr. Isnariani, SpOG 28.dr. Hasnah Siregar RSIA Hermina Jatinegara 29.dr. Roslina Spog RSIA Trimitra Cibinong Jalan Raya Bogor, 1km selatan dari Matahari Cibinong 30.dr. SUSAN MELINDA RSB.Limijati Bandung Jl RE Martadinata atau di Melinda Hospital, Bandung Jl Pajajaran 31.dr. Sofie Kimia Farma Jl Juanda Bandung 32.dr. Dewi S Gaduh Hermina 33.dr. Laila Nurana SPOG Medistra dan Bunda 34.dr. Nana Agustina RS Bersalin Siaga Dua, Pejaten Barat 35.dr. Zanibar Aldy RS Malahayati Medan 36.dr. Ida Farida, SpOG RS Kramat 128 Jakpus dan RS Satyanegara, Sunter 37.dr. Botefilia di RSIA Tambak, Manggarai JakPus. sumber : http://anissa-alwafaa.blogspot.com/2010_07_01_archive.html
Ya Rabb, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan.Ya Rabb, jangan Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Maafkan kami, ampuni, dan rahmati kami. Engkaulah pelindung kmi. Aamiin.
~Allah sudah memperhitungkan, amal, dan dosa yang kita perbuat!Mungkin Dia telah bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa! Mari kita berbenah dan lebih tunduk pada-Nya~
Senin, 25 Oktober 2010. Hari ini jadwalku stand by di Unit Pelayanan Perdagangan (UPP). Minimal seminggu sekali, kami (beberapa staf baru Direktorat Impor) memang mendapat jatah tugas untuk menjadi front liner (layaknya di bank). Tugas kami cukup signifikan dalam menentukan proses importasi. UPP adalah “pintu utama” keluar masuknya perizinan impor di Kementerian Perdagangan. Kami biasa bertugas dari jam 9 sampai jam 5 sore. Semuanya serba online. Hari ini, rencananya setelah tugas di UPP mau langsung pulang. Tapi ternyata hujan turun dengan lebatnya. Akhirnya, aku naik saja ke lantai 9 (Direktorat Impor). Malah dapat tugas untuk menjawab surat dari importir. Berbahasa Inggris pula. A good challenge for me! Habis Maghrib, jawaban untuk surat itu tinggal editing saja. Setelah pekerjaan selesai, aku putuskan untuk pulang meski air masih terus dimuntahkan dari langit. Saat itu pukul 18.30. Awalnya mau naik taksi saja karena perut ini tak bisa diajak kompromi. Desminor, hari pertama! Menunggu di dekat pintu gerbang kantor, tapi taksi selalu berisi penumpang. Akhirnya, berjalan menuju tempat biasa menanti Kopaja 502. Subhanallah, banyak juga ‘pesaing’nya. Ternyata sejak tadi mereka juga menunggu kedatangan Kopaja 502. Tak seperti biasanya, Kopaja 502 jarang lewat. Sekalinya lewat, sudah tak ada sisa ruang untuk mengangkut kami yang masih berjajar di sepanjang trotoar. Menunggu dan terus menunggu. Taksi kosong yang sliweran di depanku tak mau berhenti saat aku mencoba menghentikannya. Ada apa ini? Aku merapal doa. Satu jam berlalu. Kaki rasanya sudah kaku. Perut serasa diremas-remas. Kesabaran dan kekuatan (terutama fisik) tengah diuji! Ya Rabb, semoga hamba kuat. Lahaula walaquwwata ila billah... Berdzikir, sesekali bernasyid lirih... Di sini aku mengharap ridho-Mu Di sini aku mengiba rahmat-Mu Di sini aku tambat munajatku Di sini aku kembali (Izzatul Islam) Ibuk SMS. Mencemaskan keadaanku setelah beliau melihat berita di TV tentang banjir dan kemacetan yang melanda ibukota. Aku ceritakan keadaanku, bukan bermaksud menambah cemas beliau, tapi aku mengharapkan doa terbaik dari bunda tercinta. Tiba-tiba… Brakkk! Di depanku ada empat motor yang tabrakan dan jatuh. Pengendara motor yang tahu kalau motornya agak rusak, langsung marah-marah pada pengendara yang menabrak. Hmm, akhirnya aku berjalan ke arah utara beberapa meter, takut kalau berlama-lama di situ. Tapi sepertinya tidak sampai terjadi perkelahian. Saat itu masih gerimis. Alhamdulillah, akhirnya bertemu dengan Mbak Prima, teman kantor. Jadi ada teman ngobrol. Mbak Prima mengenalkanku dengan seorang temannya, Mbak Neny. Ternyata Mbak Neny juga mengarah ke daerah Kampung Melayu. Berhubung tidak ada Kopaja 502 yang bisa dinaiki, maka aku dan Mbak Neny sepakat naik bajaj sampai ke Senen. Alhamdulillah, dapat ‘bajaj biru’, jadi cukup nyaman. Mbak Prima pulang berjalan kaki karena kostnya memang dekat dengan kantor. Alhamdulillah, sampai juga di Senen. Eh, ongkosnya dibayar Mbak Neny dan tak mau diganti. Rezeki di kala hujan! Subhanallah, tambah terkejut lagi karena di Senen jumlah orang yang menunggu angkot juga sangat banyak. Ramai sekali. Awalnya, aku dan Mbak Neny sepakat untuk naik taksi saja. Tapi ternyata tak satu juapun taksi yang mau berhenti saat kami ‘STOP’. Mbak Neny memutuskan untuk naik busway. Aku tak mengikutinya karena jarak shelter busway ke kostku cukup jauh. Aku tetap menunggu angkot atau taksi yang lewat. Angkot 01 tak kunjung lewat. Naik bajaj saja sampai ke Kampung Melayu. Begitu pikirku. Tak lama kemudian, ada ‘bajaj biru’ yang berhenti di depanku. Mau menawarnya, keduluan seorang ibu muda yang berdiri di sampingku. “Jatinegara berapa, Pak?” tanya ibu itu. “Dua puluh lima ribu!” jawab sopir bajaj. Aku mendekati sang ibu, “Ibu mau ke Jatinegara? Saya mau ke Kampung Melayu! Bareng saja Bu!” Ibu itu mengiyakan. “Pak, ke Kampung Melayu ya? Berapa?” tanyaku pada sang sopir. “Empat puluh ribu!” jawabnya. “Tiga puluh ya Pak!” tawarku. “Tiga lima deh!” jawab sang soper, final! Sepakat. Tiga puluh lima ribu sampai terminal kampung Melayu. Di dalam bajaj, aku berkenalan dengan ibu muda yang bernama Dina itu. Mbak Dina ternyata akan dijemput suaminya di Kampung Melayu. Wah, enak juga ya kalau dah punya “jemputan”. Hehe... batinku! But, the fight must go on....!!! Hujan sudah reda, tapi masih menyisakan dingin yang merasuk. Dan tentunya, kemacetan yang kian menggila. Pak sopir mengambil jalan alternatif saat bajaj sudah memasuki kawasan Salemba. Sampai juga di Matraman. Subhanallah, sepanjang jalan banyak orang yang menunggu angkot. Tak sedikit juga yang berjalan kaki. Setelah melewati Gramedia Matraman, tiba-tiba bajajnya berhenti. Macet. Berulang kali pak sopir berusaha menyalakan, tapi tak kunjung bisa. Akhirnya, aku dan mbak Dina mau tak mau turun di situ. Tiga puluh ribu melayang. Wow, perjalanan masih jauh untuk bisa sampai di terminal Kampung Melayu. Sudah hampir pukul 22.00. Ya Rabb... jadi teringat semasa di Solo. Jam 20.00 sudah tidak boleh ‘berkeliaran’. Melanggar jam malam nih! Deg-degan juga... Tak ada satupun angkot 01 yang lewat. Akhirnya kami memutuskan untuk jalan kaki. Alhamdulillah, kaki ini masih kuat untuk melangkah. Kami long march dari Matraman sampai Gang Kelor. Lumayan juga ‘jalan-jalan’nya! Alhamdulillah, di Gang Kelor kami bertemu dengan angkot 06 yang masih kosong dan akhirnya naik angkot itu. Sampai di kampung Melayu, Mbak Dina turun. Masih dengan angkot 06, aku menyusuri jalan Otista yang juga macet. Beberapa penumpang yang mobilnya terjebak di jalur busway, keluar dari mobilnya. Pukul 22.30 sampai jua di dekat ATM BCA Otista. Aku turun di situ. Aku masih harus berjalan melewati gang-gang kecil untuk bisa sampai di kost. Saat aku menengadah ke atas, ada senyum purnama bertahta di singgasana langit. Subhanallah, indahnya. Jalanan sepi. Aku mempercepat langkah. Ada cemas sekaligus harap, semoga jalan samping kost tidak tergenang banjir. Alhamdulillah, Allah menjawab doaku. Bersyukur sekali ada penjual nasi goreng yang masih mangkal. Akhirnya, aku membeli sebungkus nasi goreng dulu. Lapar nian! Setelah itu, aku masuk gang menuju kostku. Masya Allah, ternyata sore tadi banjirnya parah. Beberapa warga masih terjaga. Mereka membersihkan rumah yang sempat kemasukan air. Ternyata kostku juga. Lantai 1 kebanjiran. Dua kamar milik sahabatku terpaksa ‘dievakuasi’ barang-barangnya. Alhamdulillah kamarku (Redzone) berada di lantai 2, jadinya aman-aman saja. Jam dinding merah bermerk “Ummi” tepat menunjukkan pukul 23.00 saat aku memasuki Redzone. Alhamdulillah... langsung telepon Ibuk. Ternyata Babe dan Ibuk masih terjaga menunggu kabar dariku. Setelah itu makan malam bersama my supertwin yang tengah kelaparan menanti makanan yang aku bawa. Afwan ya! Subhanallah walhamdulillah, kisah yang luar biasa hari ini! Semoga bisa mengambil hikmahnya. Terus bersabar dan senantiasa bersyukur ya! Allah akan selalu bersama kita... aamiin...
"Yakinlah, wanita-wanita salehah yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, berbagi, berbuat baik, dan bersyukur. Kelak di hari akhir sungguh akan menjadi bidadari-bidadari surga. Dan kabar baik itu pastilah benar, bidadari surga parasnya cantik luar biasa."
Langit mencurahkan perasaannya pada bumi melalui tetes-tetes air hujan yang riang. Semakin lama semakin deras. Seakan puas membuat diri didera cemas. Harap mulai menyergap, moga air tak meninggi melebihi mata kaki.
Pukul 02.00 dini hari aku kembali terjaga saat “For The Rest of My Life”-nya Maher Zain terlantun dari ‘mesin ketik mini’ kesayanganku. Ah, tertanya netbook itu lupa dimatikan oleh seseorang. Seseorang yang waktu aku terbangun tadi, dia masih terlelap. Pulas. “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”-nya Tere Liye masih terpegang di kedua tanganku. Tapi kini posisinya sudah telungkup. Ternyata aku ketiduran saat tengah membacanya semalam. Membaca sambil tidur, bukan kebiasaanku memang, tapi jangan ditiru! Teringat petualangan kemarin. Pukul 09.00 aku menjemput seseorang di stasiun Jatinegara. Setelah itu, dia kuajak ke kost kemudian kami berdua bertandang ke Masjid Amir Hamzah, Taman Ismail Marzuki. Pertemuan dengan rekan-rekan FLP Jakarta memang selalu berbuah kesan. Termasuk pertemuannya kali ini, untuk pertama kalinya pula! Setelah dari situ, kami menyempatkan diri untuk makan siang. Baru setelah cukup energi, kami melanjutkan perjalanan ke Gramedia Matraman. Inilah program bulananku : BBG (Baca Buku Gratis). Dia kubiarkan berkeliling mencari buku pilihannya. Oh ya, "dia" adalah saudari kembarku. Kini, kami tengah dipertemukan-Nya dalam sebuah perjalanan hidup yang kelak entah akan membawa kami ke kisah yang seperti apa. Hanya Allah yang Maha Tahu kelanjutan dari kisah yang tengah kami lakoni ini. Aku bergerilya dari satu rak ke rak lainnya untuk mencari sebuah buku yang tepat untuk kubaca siang itu. Penasaran dengan sinopsis yang tertulis di halaman permulaannya, terambillah sebuah novel baru karya Tere Liye. Judulnya "Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”. Berikut rentetan tulisan yang kumaksud di atas :
Dia bagai malaikat bagi keluarga kami. Merengkuh aku, adikku, dan Ibu dari kehidupan jalanan yang miskin dan nestapa. Memberikan makan, tempat berteduh, sekolah dan janji masa depan yang lebih baik. Dia sungguh bagai malaikat bagi keluarga kami, Memberikan kasih sayang, perhatian dan teladan tanpa mengharap budi sekalipun. Dan lihatlah aku membalas itu semua dengan membiarkan mekar perasaan ini.
Ibu benar, tak layak aku mencintai malaikat keluarga kami. Tak pantas. Maafkan aku, Ibu. Perasaan kagum, terpesona, atau entahlah itu muncul tak tertahankan bahkan sejak rambutku masih dikepang dua.
Sekarang, ketika aku tahu dia boleh jadi tidak pernah menganggapku lebih dari seorang adik yang tidak tahu diri, biarlah.. Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun dan yang tidak pernah membenci angin meski harus terenggut dari tangkai pohonnya. ***
Aku penasaran. Tertarik, lantas mengambil novel yang sudah terbebas dari plastik pembungkusnya. Aku menuju ke tempat baca, ternyata kursi baca sudah ditempati semua. Tersisalah sebuah dinding kaca di dekat kursi baca itu. Punggung ini kusandarkan pada dinding, kemudian bab pertama novel bersampul hijau itu aku buka. Saat sedang khusyuk membaca, ada pengumuman dari operator, "Kepada segenap pengunjung yang berada di areal buku, diharapkan untuk tidak duduk di lantai" Beberapa pengunjung yang duduk di lantai langsung berdiri. Aku yang tengah bersandar di dinding kaca (jadi inget lagu masa kecil : thicko.. thicko di dinding... hehehe, salah ding!) dan masih asyik dengan novel itu mendadak terusik dengan gerak-gerik seseorang yang berada 1 meter sebelah kiriku. Awalnya dia duduk di lantai, setelah ada peringatan itu, dia memang beralih posisi. Dari duduk menjadi JONGKOK! Dia jongkok dan kembali fokus membaca. Cuek! Ahihihi... jadi tertawa dalam hati. Menjelang pukul tiga sore, novel setebal 256 halaman itu belum jua kubaca sampai setengahnya! Lha baca novelnya sambil YM-an sih! Kebetulan waktu asyik baca, ada YM yang masuk, dari seseorang yang baru saja membuka blogku. Seorang akhwat. Namanya Kartika. Mirip namaku. Biasa dipanggil Twika. Serasa buku-buku yang terbujur kaku di rak-rak itu menjadi saksi terkoneksinya kami. Ukhti Twika ternyata lolos ujian tertulis CPNS Kementerian Perdagangan RI. Beliau diskusi denganku terkait pengalamanku saat psikotes dan wawancara. Jadinya ya baca buku sambil YM-an deh. Alhamdulillah, lewat blog, aku jadi punya banyak saudara baru. Berhubung ada urusan yang harus kami selesaikan, aku pun mengembalikan novel yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama itu ke singgasananya semula. "Suatu saat aku ke Gramedia Matraman lagi saja, merampungkan novel ini. Toh, hampir tiap bulan aku ke sini", batinku. Akhirnya, aku membeli "Bidadari-Bidadari Surga"-nya Tere Liye. Saudari kembarku membeli sebuah buku juga. Setelah kami turun ke lantai 1, sempat aku membeli beberapa peralatan kantor yang aku butuhkan. Saat itulah ada yang berkecamuk dalam hatiku, PENASARAN! Ya, aku masih penasaran dengan kelanjutan kisah Tania dalam novel yang tadi belum selesai kubaca. Setelah bayar di kasir, aku bergegas ke lantai 3, tempat novel itu. Akhirnya, "Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin" resmi menjadi penghuni baru di Al-Firdaus, perpustakaan pribadiku. Menjadi rencanaku, bahwa aku ingin mengoleksi semua novelnya Tere Liye. Aku masih penasaran dengan penulisnya juga. Sampai detik ini belum ada kesempatan untuk bertemu!
Pulang dari Gramedia Matraman, saat sang mentari hampir sampai di tempat peraduannya, kami masih mencari rental komputer yang bisa mencetak warna. Hasilnya NIHIL!
Selang beberapa saat kemudian... "Ada mbak..." sebuah SMS balasan dari seorang adik mahasiswi STIS saat kutanya apakah di kostnya ada yang punya printer warna dan malam ini bisa digunakan. Sehabis Maghrib, aku dan saudari kembarku langsung meluncur ke kostnya. Subhanallah, sambutan yang luar biasa dari adik-adik STIS karena mereka 'terkejut' dengan kehadiran duplikatku. Hmm... heboh! ^^v Misi supertwin sukses! Menjelang tidur, ada rasa penasaran yang masih belum terjawab. Akhirnya aku membaca novel Tere Liye yang sempat 'terpending' sore tadi. Ternyata, malah tertidur saat tengah membacanya. Alhamdulillah, novel itu selesai setelah sahur keesokan harinya! ***
Novel itu berkisah tentang sepasang kakak beradik yang sehari-harinya bekerja sebagai pengamen jalanan, Tania dan Dede. Suatu hari, saat sedang mengamen di sebuah bus, mereka bertemu dengan seseorang yang kemudian menjadi malaikat dalam kehidupan mereka. Dia menolong Tania yang kakinya tertusuk paku payung. Seterusnya, dialah penopang kehidupan Tania, Dede dan ibunya. Pertemuan dengan seseorang itu juga mengajarkan Tania sebuah perasaan baru. Tania yang saat itu berusia 11 tahun tanpa sadar sudah berkenalan dengan rasa cemburu saat seseorang itu mengenalkannya dengan Ratna. Hari-hari setelah kehadiran seseorang itu merupakan sebuah awal baru dalam kehidupan Tania. Dia dan adiknya bisa bersekolah kembali, mereka bisa tinggal di tempat tinggal yang lebih layak, dan ibunya bisa memulai usaha yang dulu diidam-idamkannya. Sayangnya kebahagiaan itu terganti dengan duka. Dua tahun berselang, ibu Tania meninggal dunia. Ada sebuah pesan ibu Tania yang sekaligus menjadi janji yang terpatri dalam diri Tania. Janji apakah itu??? Setelah 'resmi' menyandang status sebagai yatim piatu, Tania dan Dede kembali diselamatkan oleh seseorang yang menjelma menjadi malaikat bagi mereka. Seseorang itu ternyata penulis, penyuka warna biru, dan pengunjung setia sebuah toko buku. Sosok yang misterius. Aku sangat suka dengan karakter misterius seperti seseorang dalam novel ini. Keren!! Waktu terus berjalan. Tania yang cerdas berhasil mendapat beasiswa untuk bersekolah di Singapura. Kok bisa? Lantas, bagaimana dengan nasib Dede dan seseorang itu? Apa ia jadi menikahi Ratna? Bagaimana akhir kisah cinta Tania? Apa ia berani berkata jujur bahwa ia mencintai seseorang bak malaikat itu? Ada rahasia terpendam yang akhirnya terungkap. Rahasia apakah itu??? Untuk urusan bercerita, Tere Liye memang tak perlu diragukan lagi. Dilihat dari segi sudut pandang, penokohan, alur, setting, ahhh... pokoknya jadi tak mau berhenti membaca kelanjutan dari setiap bab. Rasa penasaran mendera untuk segera meloncat ke bab berikutnya. Secara keseluruhan, novel ini cukup menarik untuk dibaca. Sayang, rasa penasaran itu masih saja menggelayut sampai akhir kata dalam novel ini. Tere Liye masih menyisakan pertanyaan di akhir novel seharga Rp 32.000,00 tersebut.
Apa ya kalimat yang dibisikkan seseorang itudi telinga Tania di akhir cerita itu?
*** Beberapa baris tulisan yang mengesankan bagi saya.
“Tania, kehidupan harus berlanjut. Ketika kau kehilangan semangat, ingatlah kata-kataku dulu. Kehidupan ini seperti daun yang jatuh... Biarkanlah angin yang menerbangkannya...” (70) “Dalam urusan perasaan, di mana-mana orang jauh lebih pandai ‘menulis’ dan ‘bercerita’ dibandingkan saat ‘praktik’ di lapangan. (174) “Daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Bahwa hidup harus menerima... penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti... pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami... pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu ditakuti. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawanya pergi entah ke mana. Dan kami akan mengerti, kami akan memahami... dan kami akan menerima” (197) “Lebih baik menunggu. Kau tidak ingin terjebak oleh kebaikan itu sendiri. Ada banyak kebaikan yang justru berbalik menikam, menyakitkan pemberinya.” (213) “Pria selalu punya ruang tersembunyi di hatinya. Tak ada yang tahu, bahkan percayakah kau, ruang sekecil itu jauh lebih absurd daripada seorang wanita terabsurd sekalipun.” (213) “Dia memandang lamat-lamat sepotong kehidupan itu. Menjahitnya. Membuat pakaian masa depan yang rapuh dari semua masa lalu yang getas" (221). “Orang yang memendam perasaan sering kali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta" (227)
*** Novel ini memang betul-betul akan mengaduk perasaan. Terharu dan bisa memecah benteng pertahanan air mata kita! Sama sekali tidak ada rasa kecewa saat berhasil menyelesaikan novel ini dalam waktu yang tak lama. Novel yang menyuguhkan sebuah kisah cinta yang sederhana, dibalut dengan gaya tulisan yang sangat indah, serta jalan cerita yang tak mudah ditebak. Tentang cinta, kepedulian, optimisme, dan kasih sayang pada sesama.
Kalau ingin menyelami kisah "CINTA DALAM DIAM", belilah novel ini! Kemudian, bacalah! Kalau tak mau membeli, pinjam ke aku juga boleh! ^^v
Selamat membaca dan terinspirasi karena novel ini!
Setiap individu mempunyai 'dunia'nya sendiri-sendiri. Sebuah 'dunia' yang memiliki dinamika dan kompleksitas yang berbeda-beda. Sebuah dunia yang memiliki batas-batas otoritas dan wilayah-wilayah sendiri yang tak semua orang bisa memasukinya!
~Ada kalanya, terperangkap dalam batas-batas otoritas 'dunia' itu memang membuat kita tenggelam dalam renungan. Muhasabah, kemudian menyadari sesuatu dan berusaha memperbaiki yang seharusnya diperbaiki!~
Assalammu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Selamat Datang di Zona Inspirasi Keisya Avicenna.
-Mulia karena taqwa, bercahaya dalam karya, dan menginspirasi dengan prestasi-.
Untuk informasi lebih lanjut, klik di sini →