Jejak Karya

Jejak Karya

Tuesday, November 23, 2010

PEMUDA BERKUDA PUTIH

Tuesday, November 23, 2010 0 Comments

Pada zaman dahulu, ada seorang raja yang mengatakan kepada seorang pemuda yang bekerja sebagai pemelihara kuda kerajaan. “Pilihlah salah satu kuda terbaik di kandang ini, tunggangi dan jangkaulah daerah sebanyak yang kamu mampu. Aku akan memberikan wilayah sebanyak yang kamu jangkau.”

Tentu saja, pemuda tadi tidak menyiakan kesempatan yang diberikan sang raja. Tanpa ragu dia memilih seekor kuda putih yang merupakan kuda terbaik di kerajaan. Kemudian dengan cepat ia melompat naik ke atas kudanya dan secepat mungkin pergi untuk menjangkau wilayah sebanyak mungkin.

Dia terus memacu kudanya. Tak kenal lelah. Terus mencambuk si kuda putih agar terus berlari. Ketika ia merasa lapar atau lelah, ia tak mau berhenti karena ia ingin memperoleh wilayah sebanyak mungkin. Pada akhirnya, ketika ia telah menjangkau wilayah yang cukup banyak, ia kelelahan dan sekarat.

Pemuda berkuda putih itu lantas bertanya kepada dirinya sendiri, “Mengapa aku memaksakan diriku begitu keras untuk menjangkau begitu banyak wilayah? Sekarang aku sekarat dan hanya memerlukan sebidang tanah yang sangat kecil untuk menguburkan diriku sendiri.”
***
Kisah di atas hampir sama dengan perjalanan hidup kita. Setiap hari kita kerap memaksa diri kita dengan keras (dalam bahasa Jawa : ngoyo) untuk menghasilkan lebih banyak “kepuasan duniawi”, baik itu uang, kekuasaan, atau sekedar ketenaran.

Kita sering mengabaikan kesehatan kita, waktu bersama keluarga, dan parahnya kita sering lupa mengetuk pintu-Nya. Tak pernah khusyu’ saat ‘menghadap’ pada-Nya. Terlalu larut dan hanyut dalam aktivitas duniawi yang terkadang memang membuat kita “puas”, tapi sebenarnya kepuasan itu akhirnya berujung pada kegelisahan hati.

Seringku merasa bertaqwa pada-Mu
Tapi itu hanya perasaan saja
Seringku berdosa pada-Mu Illahi
Tapi sering ku mengingkarinya
Seringku mengingat cinta-Mu Illahi
Tapi lebih sering ku menjauhinya
Sering ku terlena dengan dunia ini
Hingga menjadi hamba yang merugi
Hari demi hari terus kulalui
Dalam keadaan sepinya hati ini
Ku mengharap cinta Illahi
Dapat bersemi di hati
Hari ini kuakan berubah
Ke arah yang lebih baik lagi
Ku ingin mengabdi pada Illahi
Agar cinta-Mu terus di hati
(Sesal – Heru Herdiana)
***
Hidup ini rapuh, jika kita tak membentengi diri dengan iman dan taqwa.
Hidup ini singkat, jika kita membiarkan lewat begitu saja, bisa jadi hanya penyesalan yang kita bawa.
Hidup ini sangat indah, jika kita tak melulu memandang ke atas dan merasa iri dengan kepunyaan orang lain yang tak kita punya.
Hidup ini luar biasa, jika kita sadari bahwa kita adalah pemain kehidupan yang harus melakonkan peran kita dengan sebaik-baiknya.
Selamat merangkai kisah kehidupan dalam naungan kasih dan ridho-Nya!
***
Keimanan dan ketaqwaan kita jadikan bekal
Tuk hidup bahagia kelak di akhirat
Harta kekayaan tiada akan bernilai...
Di hadapan Allah, hanyalah amal yang sholih

Saat subuhku berteman rintik hujan, 231110_05.25
Aisya Avicenna

Mencintai Penanda Dosa

Tuesday, November 23, 2010 1 Comments

(Oleh : Salim A. Fillah)

Dalam hidup, Allah sering menjumpakan kita dengan orang-orang yang membuat hati bergumam lirih, “Ah, surga masih jauh.” Pada banyak kejadian, ia diwakili oleh orang-orang penuh cahaya yang kilau keshalihannya kadang membuat kita harus memejam mata.

Dalam tugas sebagai Relawan Masjid di seputar Merapi hari-hari ini, saya juga bersua dengan mereka-mereka itu. Ada suami-isteri niagawan kecil yang oleh tetangganya sering disebut si mabrur sebelum haji. Selidik saya menjawabkan, mereka yang menabung bertahun-tahun demi menjenguk rumah Allah itu, menarik uang simpanannya demi mencukupi kebutuhan pengungsi yang kelaparan dan kedinginan di pelupuk mata.

“Kalau sudah rizqi kami”, ujar si suami dengan mata berkaca nan manusiawi, “Kami yakin insyaallah akan kesampaian juga jadi tamu Allah. Satu saat nanti. Satu saat nanti.” Saya memeluknya dengan hati gerimis. Surga terasa masih jauh di hadapan mereka yang mabrur sebelum berhaji.

Ada lagi pengantin surga. Keluarga yang hendak menikahkan dan menyelenggarakan walimah putra-putrinya itu bersepakat mengalihkan beras dan segala anggaran ke barak pengungsi. Nikah pemuda-pemudi itu tetap berlangsung. Khidmat sekali. Dan perayaannya penuh doa yang mungkin saja mengguncang ‘Arsyi. Sebab semua pengungsi yang makan hidangan di barak nan mereka dirikan berlinangan penuh haru memohonkan keberkahan.

Catatan indah ini tentu masih panjang. Ada rumah bersahaja berkamar tiga yang menampung seratusan pelarian musibah. Untuk pemiliknya saya mendoa, semoga istana surganya megah gempita. Ada juru masak penginapan berbintang yang cutikan diri, membaktikan keahlian di dapur umum. Ada penjual nasi gudheg yang sedekahkan 2 pekan dagangannya bagi ransum para terdampak bencana. Semoga tiap butir nasi, serpih sayur, dan serat lelaukan bertasbih untuk mereka.

Ada juga tukang pijit dan tukang cukur yang keliling cuma-cuma menyegarkan raga-raga letih, barak demi barak. Ad dokter-dokter yang rela tinggalkan kenyamanan ruang berpendingin untuk berdebu-debu dan berjijik-jijik. Ada lagi para mahasiswa dan muda-mudi yang kembali mengkanakkan diri, membersamai dan menceriakan bocah-bocah pengungsi. Semua kebermanfaatan surgawi itu, sungguh membuat iri.
***
“Ah, surga masih jauh.”
Setelah bertaburnya kisah kebajikan, izinkan kali ini saya justru mengajak untuk menggumamkan keluh syahdu itu dengan belajar dari jiwa pendosa. Jiwa yang pernah gagal dalam ujian kehidupan dariNya. Mengapa tidak? Bukankah Al Quran juga mengisahkan orang-orang gagal dan pendosa yang berhasil melesatkan dirinya jadi pribadi paling mulia?
Musa pernah membunuh orang. Yunus bahkan sempat lari dari tugas risalah yang seharusnya dia emban. Adam juga. Dia gagal dalam ujian untuk tak mendekat pada pohon yang diharamkan baginya. Tapi doa sesalnya diabadikan Al Quran. Kita membacanya penuh takjub dan khusyu’. “Rabb Pencipta kami, telah kami aniaya diri sendiri. Andai Kau tak sudi mengampuni dan menyayangi, niscaya jadilah kami termasuk mereka yang rugi-rugi.” Mereka pernah menjadi jiwa pendosa, tetapi sikap terbaik memuliakan kelanjutan sejarahnya.
Kini izinkan saya bercerita tentang seorang wanita yang selalu mengatakan bahwa dirinya jiwa pendosa. Kita mafhum, bahwa tiap pendosa yang bertaubat, berhijrah, dan berupaya memperbaiki diri umumnya tersuasanakan untuk membenci apa-apa yang terkait dengan masa lalunya. Hatinya tertuntun untuk tak suka pada tiap hal yang berhubungan dengan dosanya. Tapi bagaimana jika ujian berikut setelah taubat adalah untuk mencintai penanda dosanya?
Dan wanita dengan jubah panjang dan jilbab lebar warna ungu itu memang berjuang untuk mencintai penanda dosanya.
“Saya hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan”, ujarnya saat kami bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya sebagai penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih tangguh dari saya.
“Ah, surga masih jauh.”
Kisahnya dimulai dengan cerita indah di semester akhir kuliah. Dia muslimah nan taat, aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan di kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan. Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan bahagia di nafasnya.
Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang dan kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai ‘pembesar’ di kalangan para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah mengentas banyak kawan dan sungguh membanggakan. Awal-awal, si muslimah nan berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu tak percaya diri. Tapi niat baik dari masing-masing pihak mengatasi semuanya.
Tinggal sepekan lagi. Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke rumah yang dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka berencana meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar batas syari’at tetap terjaga.
“’Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. “’Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yang bisa mendampingi agar rencana hari ini tetap berjalan?”
“Sayangnya tidak ada. ‘Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?”
“Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?”
Akhirnya dengan memaksa dan membujuk, salah seorang kawan kontrakan sang Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi bi-idzniLlah, di tengah jalan sang teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya gawat dan darurat. “Saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan”, kata muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun kami jaga sebaik-baiknya dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya di belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu memudah-mudahkan. AstaghfiruLlah.”
Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu tak besar. Tapi asri dan nyaman. Tidak megah. Tapi anggun dan teduh.
Saat sang muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaithan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. “Di rumah yang seharusnya kami bangun surga dalam ridhaNya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat itu”, dia tersedu. Saya tak tega memandang dia dan sang ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya pada adik lelakinya di sebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil.
“Kisahnya tak berhenti sampai di situ”, lanjutnya setelah agak tenang. “Pulang dari sana kami berada dalam gejolak rasa yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus menangis di jok belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami kacau. Kami merasa hancur.”

Dan kecelakaan itupun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.
“Setelah hampir empat bulan koma”, sambungnya, “Akhirnya saya sadar. Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang awalnya saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung. Perzinaan terdosa itu membuahkan karunia.” Saya takjub pada pilihan katanya. Dia menyebutnya “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucap itu bagi orang yang terluka oleh dosa.
“Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit adalah”, katanya terisak lagi, “Ternyata calon suami saya, ayah dari anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan itu.”
“SubhanaLlah”, saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkaulah rupanya Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkaulah rupanya Nak, karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak, ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia tak sabar menyeru kaumnya.
“Doakan saya kuat Ustadz”, ujarnya. Tiba-tiba, panggilan “Ustadz” itu terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata di hadapan seorang yang begitu tegar menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat itu, mengatakan, “Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil ketaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang meninggal karena frustrasi?”
“Doakan saya Ustadz”, kembali dia menyentak. “Semoga keteguhan dan kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari mencintai anak itu sepenuh hati.” Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta doanya pun menakjubkan.
Allah, sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan sepenuh hati. Allah, jadikan wanita ini semulia Maryam. Cuci dia dari dosa-dosa masa lalu dengan kesabarannya meniti hari-hari bersama sang buah hati. Allah, balasi tiap kegigihannya mencintai penanda dosa dengan kemuliaan di sisiMu dan di sisi orang-orang beriman. Allah, sebab ayahnya telah Kau panggil, kami titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam pengasuhanMu nan Maha Rahman dan Rahim.
Allah, jangan pula izinkan hati kami sesedikit apapun menghina jiwa-jiwa pendosa. Sebab ada kata-kata Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Kitab Az Zuhd yang selalu menginsyafkan kami. “Sejak dulu kami menyepakati”, tulis beliau, “Bahwa jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya.”

-salim a. fillah, www.safillah.co.cc-
***
NB: sahibatul hikayah berpesan agar kisah ini diceritakan untuk berbagi tentang betapa pentingnya menjaga iman, rasa taqwa, dan tiap detail syari’atNya di tiap langkah kehidupan. Juga agar ada pembelajaran untuk kita bisa memilih sikap terbaik menghadapi tiap uji kehidupan. Semoga Allah menyayanginya.

KULIAH CINTA DARI DAPUR

Tuesday, November 23, 2010 0 Comments

KULIAH CINTA DARI DAPUR (Refleksi bagi lelaki, tentang perempuan di sekitarnya)
by Fatih Zam on Monday, November 22, 2010 at 8:15am

Engkau tidak bisa protes, hai lelaki. Bahwa perempuan memang lebih tinggi ketimbang kita. Barangkali engkau pernah mendengar bahwa Nabi Saw. menyebut sosok perempuan (ibu) sebanyak tiga kali sementara lelaki (ayah) hanya satu kali. Itu jawab Nabi kala ada sahabat yang bertanya, tentang siapakah yang mesti didahulukan penghormatannya.

Ragam kisah pun sudah menggambarkan kepada kita, betapa permata seorang ibu. Mungkin engkau pernah menyimak, bagaimana seorang lelaki menggendong ibunya untuk bertawaf di ka’bah. Lelaki itu menggendong ibunya dari tempat yang sangat jauh. Bertemulah dia dengan Nabi Saw, lalu bertanya, “Apakah sudah lunas utang budiku kepada ibuku?”

Lelaki tersebut tidak mendapatkan pengaminan dari sang Nabi. Karena apa yang dilakukannya belumlah seujung kuku.

Lalu, kita pun akan menjumpai kisah kontemporer. Tentang citra-citra anak yang durhaka dan mendapatkan kutukan mengerikan. Salah satunya barangkali Malin Kundang. Atau, Al Qamah di zaman Rasulullah. Mereka adalah aktor-aktor yang berperan sebagai manusia durhaka yang mengalami kesakitan di akhir hayat, tersebab oleh hal yang sama; mendurhakai ibunya, mendurhakai perempuan.


Sebuah tanya besar lantas menggantung dalam benak kita; kenapa Nabi Saw. mewartakan bahwa kaum perempuanlah terbanyak di neraka?

Mungkin, karena fitrah perempuan adalah bengkok. Karena dia tercipta dari rusuk Adam. Hal ini pun lalu menjadi sebuah informasi yang banyak disalahguna para lelaki. Para lelaki mengklaim bahwa kebengkokan perempuan ini mestilah diluruskan. Siapa yang meluruskan, tentu para lelaki (karena mereka yang memiliki klaim). Untuk mengesahkan klaim ini, para lelaki lalu menambahkan bahwa tabiat rusuk memang bengkok dan mesti pelan-pelan meluruskannya. Karena tulang rusuk begitu rapuh, dan semacamnya. Itulah klaim lelaki, yang lalu disulap menjadi klaim dunia. Kesepakatan bersama.

Klaim ini terus mengambang di angkasa dunia. Klaim bahwa tugas lelaki adalah sebagai arsitek yang meluruskan kebengkokan rusuk perempuan. Klaim yang ternyata membutakan mata para lelaki, bahwa kebanyakan mereka bukannya meluruskan tapi malah mematahkan. Tidak terpikir oleh para lelaki, bahwa bengkok itu tidak akan pernah lurus. Ya, bengkok itu selamanya tidak akan pernah lurus.


Satu pertanyaan besar untuk pernyataan saya “bahwa bengkok itu tidak akan pernah lurus” adalah; apa yang salah dengan ‘bengkok’? Apakah keindahan itu mesti selalu lurus?

Hal yang tidak mungkin bisa disangkal adalah bahwa lelaki adalah pemimpin perempuan. Itu sudah terukir di kitab suci. Tetapi, tidak serta-merta bahwa lelaki adalah pemimpin perempuan, lantas lelaki naik tahta menjadi sosok raja yang mesti “iya” segala inginnya. Sampai-sampai, sang pemimpin itu melakukan pemaksaan bahwa kebengkokan harus gegas diluruskan. Kepemimpinan yang membutakan sang raja, bahwa tangan besi pun adalah halal adanya.


Tidakkah kita, para lelaki, berpikir bahwa—sadar maupun tidak—kitalah yang memiliki andil menjebloskan perempuan itu ke liang neraka? Tidakkah kita berpikir bahwa akan selalu ada resiprokal di dunia ini. Tidak ada akibat tanpa sebab. Mungkin, perempuan itu tidak tahan dengan “tangan besi” sang raja. Sedangkan ketidakpatuhan perempuan (istri) kepada lelaki (suami) mampu mengundang marah malaikat. Kita (para lelaki) kadang tidak menyadari bahwa mereka punya batas kapasitas. Pemaksaan kitalah yang menyebabkan mereka berada pada satu pilihan yang memang satu-satunya; memberontak. Dan imbalan dari pemberontakan itu adalah laknat malaikat.


Oya, saya tidak sedang menjadi seorang feminis. Bukan pula seorang yang sudah berpengalaman “menangani” perempuan. Sama sekali bukan. Ini tersebab karena saya pun adalah aktor yang telah beberapa kali membuat kecewa perempuan, khususnya ibu saya.


Waktu kecil bahkan hingga kini—tanpa saya sadari—saya masih saja menanam duri kepada ibu saya. Saya selalu mengeluh dengan “pelayanan” ibu saya, mulai dari cucian yang tidak bersih, makanan yang tidak enak (sesuai lidah saya tentunya), dan lain-lain. Saya pun lalu menjumpai ibu saya marah, meski lebih banyak diamnya. Saya tidak berpikir, bahwa ulah saya itu pelan-pelan telah menempatkan ibu saya di posisi yang sulit, yakni—mungkin—mendapat laknat malaikat. Itu saya lakukan terus-menerus, hingga barangkali kejengkelan ibu saya sudah bertumpuk dan beranak pinak.


Beberapa waktu terakhir ini, saya selalu menyempatkan diri memasak. Meskipun masakan yang saya buat masih sederhana, dan baru lidah saya yang mengatakan bahwa masakan itu layak disebut sedap. Dari aktivitas ini, saya lalu menemukan pelajaran permata. Bukan semata pelajaran tata boga, tetapi lebih dari itu. Dari dapur inilah, saya menemukan bahwa adalah cinta yang membuat perempuan (istri sekaligus ibu) bertahan dan menghabiskan separuh usianya untuk berada di dapur; memasak makanan.


Di dapur, saya kadang mengiris bawang, cabai, dan bumbu lainnya. Bawang merah mampu memedihkan mata, bawang putih baunya luar biasa, cabai pun takayal memedihkan segala. Belum lagi cipratan minyak goreng panas, baunya terasi, asap yang menyergap. Mata memerah, keringat keluar, belum bau-bauan yang menusuk hidung sampai menimbulkan bersin, terkadang jari teriris pisau, adalah pengalaman yang saya dapatkan ketika beraktivitas di dapur. Luar biasa besar pengorbanan yang mesti disajikan hanya untuk mendapatkan satu atau dua porsi makanan.


Saya lantas bertanya kepada diri sendiri, bagaimana bisa seorang perempuan (istri sekaligus ibu) melakukan ini semua? Bahkan bukan sekali dua, melainkan separuh masa usia! Saya pun bertanya kepada diri saya sendiri (mewakili kaum lelaki), bagaimana bisa saya marah-marah seenaknya tersebab makanan yang tidak sesuai dengan keinginan saya? Bagaimana bisa saya mengeluh sampai berpeluh? Bagaimana bisa…bagaimana bisa….bagaimana bisa….?



Gampang saja bagi lelaki (anak atau suami) untuk memberikan penilaian tentang masakan. Gampang saja bagi lelaki untuk mengatakan bahwa masakan itu belum layak dikatakan enak, dan lain-lain. Dan secara manusiawi, kita pun seharusnya memaklumi, jengkel atau marahnya seorang perempuan (istri sekaligus ibu) ketika mendapati diri kita sebagai sosok yang tidak memiliki kepekaan menghargai.



Itu baru dari memasak, belum dari mencuci, menyetrika, membersihkan rumah, mengelola keuangan, dan sebagainya. Bisakah lelaki mengerjakan itu semua dalam satu waktu? Patutkah kita marah-marah kepada mereka atas apa yang mereka kerjakan, sementara Nabi Saw berkata bahwa bentuk jihad perempuan adalah di rumahnya?



Tuhan, ampuni saya yang sudah menjelma lelaki durhaka. Lelaki yang sudah menyulap jihad mereka menjadi sesuatu yang tidak berharga. Lelaki yang telah menjungkalkan mereka ke liang neraka, dengan ingin dan pinta yang bahkan tidak sesuai realita.



Tuhan, muliakanlah para ibu, para istri, dan para perempuan. Tuhan, berikanlah kepekaan hebat kepada para lelaki. Jadikanlah kami lelaki yang selalu menghargai. Amin.


::catatan reflektif

Fatih ZAM

Monday, November 22, 2010

Pertengkaran Kecil

Monday, November 22, 2010 0 Comments
SP : "Bagi sy, mnulis bkn utk dinilai.Skedar menulis…menulis..
dan menulis…"
AA : "Tp ada kalanya penilaian itu perlu utk mlihat sjauh
mana kualitas tulisan kita. Dgn begitu, kita bisa blajar mjd lbh baik lg."
SP : "Menikmati tulisan orang lain jg bs djadikan parameter,
karena setiap penulis pny resepnya masing2, sebagaimana cheef… mmpu meramu
bumbu2 dasar mjd makanan yg lezat…"

MUHARROM SEBENTAR LAGI TIBA..APA KEISTIMEWAAN MUHARROM..? YUK KITA SIMAK...!!!

Monday, November 22, 2010 0 Comments
MUHARROM SEBENTAR LAGI TIBA..APA KEISTIMEWAAN MUHARROM..? YUK KITA SIMAK...!!!
by Ratu Surya Atmajaya on Friday, November 19, 2010 at 8:40pm

Bulan muharam adalah bulan pertama dalam kalender Hijriah. Bulan ini termasuk salah satu dari empat bulan haram (suci), sebagai mana yang difirmankan oleh Allah:

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram”. (At-Taubah: 36).

Semua ahli tafsir sepakat bahwa empat bulan yang tersebut dalam ayat di atas adalah Zulqa’dah, Zul-Hijjah, Muharam dan Rajab.

Ketika haji wada’ Rasulallah bersabda:

Dari Abi Bakrah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Setahun ada dua belas bulan, empat darinya adalah bulan suci. Tiga darinya berturut-turut; Zulqa’dah, Zul-Hijjah, Muharam dan Rajab”. (HR. Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad).



Dalam hadist di atas Nabi SAW hanya menyebut nama empat bulan, dan ini bukan berarti selain dari nama bulan yang disebut di atas tidak suci, karena bulan Ramadhan tidak disebutkan dalam hadist diatas. Dan kita semua tahu bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan kesucian, ada Lailatul Qadar, juga dinamakan dengan bulan rahmat, maghfirah dan pembebasan dari api neraka.

Ibnu Rajab al-Hambali ( 736 – 795 H ) mengatakan, Muharam disebut dengan syahrullah (bulan Allah) karena memiliki dua hikmah. Pertama, untuk menunjukkan keutamaan dan kemuliaan bulan Muharam. Kedua, untuk menunjukkan otoritas Allah SWT dalam mensucikankan bulan Muharam.

Bulan Muharram mempunyai karakteristik tersendiri, dan diantara karakteristik bulan Muharram adalah:

Pertama: Semangat Hijrah Setiap memasuki tahun baru Islam, kita hendaknya memiliki semangat baru untuk merancang dan melaksanakan hidup ini secara lebih baik. Kita seharus merenung kembali hikmah yang terkandung di balik peristiwa hijrah yang dijadikan momentum awal perhitungan Tahun Hijriyah.

Tahun hijriyah mulai diberlakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Sistem penanggalan Islam itu tidak mengambil nama ‘Tahun Muhammad’ atau ‘Tahun Umar’. Artinya, tidak mengandung unsur pemujaan seseorang atau penonjolan personifikasi, tidak seperti sistem penanggalan Tahun Masehi yang diambil dari gelar Nabi Isa, Al-Masih (Arab) atau Messiah (Ibrani).

Tidak juga seperti sistem penanggalan Bangsa Jepang, Tahun Samura, yang mengandung unsur pemujaan terhadap Amaterasu O Mi Kami (dewa matahari) yang diproklamasikan berlakunya untuk mengabadikan kaisar pertama yang dianggap keturunan Dewa Matahari, yakni Jimmu Tenno (naik tahta tanggal 11 pebruari 660 M yang dijadikan awal perhitungan Tahun Samura) Atau penangalan Tahun Saka bagi suku Jawa yang berasal dari Raja Aji Saka.

Penetapan nama Tahun Hijriyah (al-Sanah al-Hijriyah) merupakan kebijaksanaan Khalifah Umar. Seandainya ia berambisi untuk mengabadikan namanya dengan menamakan penanggalan itu dengan Tahun Umar sangatlah mudah baginya melakukan itu. Umar tidak mementingkan keharuman namanya atau membanggakan dirinya sebagai pencetus ide sistem penanggalaan Islam itu.

Ia malah menjadikan penanggalan itu sebagai zaman baru pengembangan Islam, karena penanggalan itu mengandung makna spiritual dan nilai historis yang amat tinggi harganya bagi agama dan umat Islam. Selain Umar, orang yang berjasa dalam penanggalan Tahun Hijriyah adalah Ali bin Abi Thalib. Beliaulah yang mencetuskan pemikiran agar penanggalan Islam dimulai penghitungannya dari peristiwa hijrah, saat umat Islam meninggalkan Makkah menuju Yatsrib (Madinah).

Dalam sejarah hijrah nabi dari Makkah ke madinah terlihat jalinan ukhuwah kaum Ansor dan Muhajirin yang melahirkan integrasi umat Islam yang sangat kokoh. Kaum Muhajirin-Anshar membuktikan, ukhuwah Islamiyah bisa membawa umat Islam jaya dan disegani. Bisa dimengerti, jika umat Islam dewasa ini tidak disegani musuh-musuhnya, menjadi umat yang tertindas, serta menjadi bahan permainan umat lain, antara lain akibat jalinan ukhuwah Islamiyah yang tidak seerat kaum Mujahirin-Anshar.

Dari situlah mengapa konsep dan hikmah hijrah perlu dikaji ulang dan diamalkan oleh umat Islam. Setiap pergantian waktu, hari demi hari hingga tahun demi tahun, biasanya memunculkan harapan baru akan keadaan yang lebih baik. Islam mengajarkan, hari-hari yang kita lalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Dengan kata lain, setiap Muslim dituntut untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari.

Hadis Rasulullah yang sangat populer menyatakan, ”Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang beruntung”.

Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi, dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin, adalah orang celaka.” Oleh karena itu, sesuai dengan firman Allah:

”Hendaklah setiap diri memperhatikan (melakukan introspeksi) tentang apa-apa yang telah diperbuatnya untuk menghadapi hari esok (alam akhirat) dan bertakwalah, sesungguhnya Allah maha tahu dengan apa yang kamu perbuatkan”. (QS. Al-Hasyar: 18).

Karakteristik Kedua: Di sunnahkan berpuasa Pada zaman Rasulullah, orang Yahudi juga mengerjakan puasa pada hari ‘asyuura. Mereka mewarisi hal itu dari Nabi Musa AS.

Dari Ibnu Abbas RA, ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa.

Rasulullah SAW bertanya, “Hari apa ini? Mengapa kalian berpuasa?” Mereka menjawab, “Ini hari yang agung, hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun. Maka Musa berpuasa sebagai tanda syukur, maka kami pun berpuasa. “Rasulullah SAW bersabda, “Kami orang Islam lebih berhak dan lebih utama untuk menghormati Nabi Musa daripada kalian.” (HR. Abu Daud).

Puasa Muharram merupakan puasa yang paling utama setelah puasa ramadhan. Rasululllah SAW bersabda: Dari Abu Hurairah RA, Rasululllah SAW bersabda: “Sebaik-baik puasa setelah puasa ramadhan adalah puasa dibulan muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu adalah shalat malam”. (HR. Muslim, Abu Daud, Tarmizi, dan Nasa’ ).

Puasa pada bulan Muharam yang sangat dianjurkan adalah pada hari yang kesepuluh, yaitu yang lebih dikenal dengan istilah ‘asyuura.

Aisyah RA pernah ditanya tentang puasa ‘asyuura, ia menjawab, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW puasa pada suatu hari yang beliau betul-betul mengharapkan fadilah pada hari itu atas hari-hari lainnya, kecuali puasa pada hari kesepuluh Muharam.” (HR Muslim).

Dalam hadits lain Nabi juga menjelaskan bahwa puasa pada hari ‘asyura (10 Muharram) bisa menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah lewat.

Dari Abu Qatadah RA, Rasululllah SAW ditanya tentang puasa hari ‘asyura, beliau bersabda: ”Saya berharap ia bisa menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang telah lewat” (HR. Muslim).

Disamping itu disunnahkan untuk berpuasa sehari sebelum ‘Asyura yaitu puasa Tasu’a pada tanggal 9 Muharram, sebagaimana sabda Nabi SAW yang termasuk dalam golongan sunnah hammiyah (sunnah yang berupa keinginan/cita2 Nabi tetapi beliau sendiri belum sempat melakukannya):

Ibnu Abbas RA menyebutkan, Rasulullah SAW melakukan puasa ‘asyuura dan beliau memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Para sahabat berkata, “Ini adalah hari yang dimuliakan orang Yahudi dan Nasrani. Maka Rasulullah saw. bersabda, “Tahun depan insya Allah kita juga akan berpuasa pada tanggal sembilan Muharam.” Namun, pada tahun berikutnya Rasulullah telah wafat. (HR Muslim, Abu Daud).

Berdasar pada hadis ini, disunahkan bagi umat Islam untuk juga berpuasa pada tanggal sembilan Muharam. Sebagian ulama mengatakan, sebaiknya puasa selama tiga hari: 9, 10, 11 Muharam.

Ibnu Abbas r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Puasalah pada hari ‘asyuura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Puasalah sehari sebelum ‘asyuura dan sehari sesudahnya.” (HR Ahmad).

Ibnu Sirrin berkata: melaksanakan hal ini dengan alasan kehati-hatian. Karena, boleh jadi manusia salah dalam menetapkan masuknya satu Muharam. Boleh jadi yang kita kira tanggal sembilan, namun sebenarnya sudah tanggal sepuluh. (Majmuu’ Syarhul Muhadzdzab VI/406) .

Mudah-mudahan dengan masuknya awal tahun baru hijriyah ini, kita bisa merancang hidup kita kedepan agar lebih baik dan bermanfaat bagi umat manusia, yakni mengubah perilaku buruk menjadi baik, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.



Saturday, November 20, 2010

PENCARIAN TERBESAR DALAM HIDUP

Saturday, November 20, 2010 0 Comments

Adalah CINTA, yang membawa kita datang

meriah kehidupan tanpa henti

mewarna tiada rupa

menerangi hati sanubari

dalam denting sang detik

dalam laku sang langkah

menapak..menjejak...

mencari tempat tuk singgah



Adalah HARAPAN,

menemani kita

mereka-reka

merupa tiada henti

berulang tiada lelah



Adalah cinta,

yang membawa kita pulang

diterangi warna-warni

ditangisi, ditertawai atau disyukuri



Adalah cinta dan harapan

yang membawa kita pulang

karena cinta dan harapan juga

yang membuatmu datang...

merupa tiada warna

mensketsa langit malam-Nya

penuh cinta...



Bagimu sahabat, ketika kedukaan itu bukan lagi tangisan. kita bersiap pergi, tidak dgn airmata. tidak dgn luka. tidak atas nama kekalahan atau kemenangan. kita pergi bersama janji yang melahirkan kita!! ya, JANJI.... ... Di situlah rahasia kehidupan yang sebenarnya...^^


~Pencarian Terbesar dalam Hidup...~


[Keisya Avicenna..."sendiri menyepi tenggelam dalam renungan"...Sabtu, 20 November 2010...]

CINTA LAKI-LAKI BIASA

Saturday, November 20, 2010 0 Comments

Cinta
Laki-laki Biasa
(Karya Asma Nadia)

Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan
alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru
setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui,
gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan
semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang;
Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman
Nania. Mereka ternyata sama herannya.
"Kenapa?" tanya mereka di hari Nania mengantarkan
surat undangan. Saat itu teman-teman baik Nania sedang
duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru
saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.

Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya
berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya
sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beterbangan
di otak melebihi kapasitas.

Mulut Nania terbuka.
Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari
sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan
enyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak
jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia
menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus
adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara
mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu
saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk
melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang
tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi
ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga
membawa serta buntut mereka.

"Kamu pasti bercanda!"
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di
wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak
nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama
membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika
mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan
keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan
gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

"Nania serius!" tegasnya sambil menebak-nebak, apa
lucunya jika Rafli memang melamarnya.

"Tidak ada yang lucu," suara Papa tegas, "Papa hanya
tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang
paling cantik!"

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa
barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak
sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang
mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh
selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang
duduk layaknya pesakitan.

"Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?" Mama
mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan
nada penuh wibawa,

"maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun,
tapi jawabannya tidak harus iya, toh?"

Nania terkesima.
"Kenapa?"
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik. Sebab kamu
paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang
busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat
bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu
bagus! Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu
meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar
biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki
manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia
kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub
dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata
'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

"Nania Cuma mau Rafli," sahutnya pendek dengan airmata
mengambang di kelopak. Hari itu dia tahu, keluarganya
bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak
menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium
empat. Parah.

"Tapi kenapa?"
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa,
dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan
pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka
matanya.

"Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!" Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya
ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan
seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana
tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan
seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan
membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak
tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya
fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak
'luar biasa'.

Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang
telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur
duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di
sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.
***

Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih
sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa
sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania
masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan
Rafli agar tampak dimata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli,...

(Bersambung ke Kumpulan cerpen Emak ingin Naik Haji terbitan Asma Nadia Publishing House. Hasil royalti buku tersebut akan disumbangkan sepenuhnya untuk sosial. Jadi dengan membelinya, maka akan mendapatkan sekumpulan cerita bermutu sekaligus beramal buat orang-orang yang membutuhkan. So? Tunggu apa lagi? ^_^)

Thursday, November 18, 2010

DALAM MALAM DI SEPERTIGA BAGIANNYA

Thursday, November 18, 2010 0 Comments



Masih dini untuk ia sebut pagi
Karena gulita masih terhampar di luar sana
Karena shift malam belum usai tunaikan tugasnya
Karena aku masih dalam episode ‘sebelum cahaya’
Dingin menyusup lembut, menerobos pori-pori kulit

Ada yang menyendiri sambil menatap langit
Menumpahkan setiap resah jiwa
Sebentuk kegelisahan yang saat ini tengah melanda
Hujan pertanyaan “mengapa” masih saja mencoba meruntuhkan benteng pertahanan hatinya

Dalam patahan waktu…
Menanti bagian jiwa yang lain
Merasakan desiran angin memainkan musik
Dentingan menyayat seperti terkoyak masa

Ia masih bertemu dengan sepotong malam di sepertiga bagiannya…
Desahan nafas kerinduan memecah kesunyian
Ia sungguh menikmati proses perenungan panjang ini..
Mencoba menguatkan pijakan
Melahirkan kedamaian dalam sanubari
Melarikan hati yang dirundung duka

Bagai rinai titik hujan yang liar menerobos sela-sela bumi
Ia pun ingin terbebas dari belenggu ‘kebimbangan’
Untuk terus menanti ataukah menghentikan episode penantian ini?
Karna sampai detik inipun ia takkan pernah bisa menceraikan sang melati dari harumnya..
Maka opsi pertama yang masih ia pilih :
“MENANTI”

Dan kini, sambil menikmati penghujung sang malam
Ia menanti sang mentari kembali merekah
Menghadirkan pesona batang-batang cahaya yang penuh harapan
Harapan yang menguatkan..
Melarutkan segala kepedihan…
Menggantikan itu semua dengan rasa bahagia yang tak terperikan…

Karena sebentar lagi ‘penulis cahaya’ yang dinanti itu akan datang
dalam hati yang penuh bahasa kasih
dalam keagungan cinta…
dalam kedamaian yang menjadi istananya…

Ia membiarkan skenario Allah menunjukkan kebesaran-Nya
Karena “proses” itu menentukan keberkahan…

Maka wahai diri…
”BERSABARLAH DALAM KEISTIQOMAHAN DALAM OPTIMISME PENANTIAN”…

[Keisya Avicenna, 9 November 2010…dalam malam-Mu di sepertiga bagiannya, di sudut ruang Masjid Perjuangan NH IC…03:03 WIB. Dedicated to mysupertwin : MASIH BANYAK YANG HARUS KITA PERJUANGKAN DALAM FASE PENANTIAN INI!!! Ayo, SEMANGAT BERKARYA!!!! ^^v]



ANGAN SAKINAH : “Sebuah rumah yang senantiasa dimetaforkan sebagai surga, tempat kenikmatan paripurna. Sebagai angan tentu saja ideal, dan sesuatu yang ideal biasanya tetap melangit. Meskipun demikian, bukan berarti kita tak mampu menariknya mendekat ke bumi. Langit merupakan padang gembala ideal-ideal yang terus membuat kepala mendongak. Namun, dari sanalah justru ada mimpi yang terus menggelorakan gerak hidup untuk meraihnya.

INILAH SIKAP TERBAIK AKTIVIS DAKWAH DALAM KEHIDUPAN

Thursday, November 18, 2010 0 Comments

INILAH SIKAP TERBAIK AKTIVIS DAKWAH DALAM KEHIDUPAN...SIMAKLAH..!!!
by Ratu Surya Atmajaya on Thursday, November 18, 2010 at 7:54am

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS. Al Anfal: 60)

Kemenangan merupakan anugerah Allah swt. yang sangat berharga. Ia juga menjadi harapan orang yang sedang berjuang. Bagi mereka yang berada di medan juang kemenangan amat dinanti-nanti segera tiba. Mereka ingin kemenangan itu jadi dekat. Akan tetapi perlu diketahui bahwa kemenangan tidak akan datang secara ujug-ujug. Melainkan ada beberapa persoalan yang patut untuk dilakukan agar bisa menghadirkannya.

Kemenangan bagian dari ketentuan Allah swt. atas urusan hamba-Nya (Qudratullah). Dia yang Maha Tahu akan nasib yang dialami ciptaan-Nya. Dia pula yang berhak untuk memberikan kemenangan ataupun menundanya. Kemenangan dari Allah swt. pasti datangnya baik di dunia ataupun akhirat. Sehingga tidak ada kamus kekalahan di hati para pejuang.

Namun kemenangan itu datang dengan jalan-jalan yang akan memuluskan kehadirannya. Melalui upaya maksimalitas manusia (ikhtiyar basyariyah). Adapun mereka yang telah melakukan upaya yang maksimal untuk mencapai prasyarat kemenangan, maka kemenangan menjadi haknya. Oleh karena itu ikhtiyar basyariyah juga menjadi bagian yang harus diperhitungkan oleh mereka yang menunggu-nunggu kemenangan. Ikhtiyar basyariyah yang optimallah yang perlu dibangun dalam perjuangan ini agar kememangan itu menjadi hak yang mutlak.

Bila para dai yang sedang berada di barisan terdepan dalam medan perjuangan ini memahami akan hakikat kemenangan dari dua hal di atas, maka sikap utama dari diri mereka tidak lain adalah sikap siap untuk digerakkan dalam menunaikan sebuah operasionalisasi dakwah ini (isti’dad lil amal). Adapun upaya yang mesti dilakukannya sebagai berikut:

1. Kesanggupan untuk dimobilisasi (Al Qudrah li tanfidz)

Kesanggupan dimobilisasi dengan cepat dalam berbagai keadaan merupakan watak para pahlawan Islam dalam memenangkan dakwah di medan peperangan. Sikap ini secara umum memang perilaku prajurit sejati. Kesanggupan diri membuat mereka berani maju menghadapi tugas dan amanah dakwah sekalipun berat rasanya. Baginya tidak ada pilihan lain kecuali kemenangan yang hakiki. Hidup mulia atau mati syahid.

Bagi seorang prajurit yang siap, memikul tugas dan tanggung jawab adalah kemuliaan. Sehingga mereka akan mengerahkan segenap kemampuan untuk tetap berada di garis tugasnya. Berbalik ke belakang sama artinya dengan mewariskan keburukan dan kekalahan. Karena itu mereka berupaya untuk menunaikannya dengan sebaik-baiknya.

Semangat Abdullah bin Rawahah RA. yang berapi-api di Perang Muktah memacu keberanian para sahabat sehingga mampu mengobarkan kepahlawanan mereka. Membuat jiwa para sahabat lebih mencintai harumnya syurga dari pada pulang kembali ke Madinah. Padahal mereka harus menghadapi musuh dengan jumlah dan kekuatan yang besar. Kecintaan pada hari akhirat menjadi landasan sikap mereka menyongsong tugas mulia. Dan modal itulah kaum muslimin memenangkan pertarungan dan mewariskan perilaku keimanan yang sebenar-benarnya kepada generasi berikutnya.

Hari yang kita lalui saat ini tampak sangat jelas. Karena jelasnya tugas dan amanah yang mesti kita tunaikan. Bila kita runut tugas itu satu persatu maka akan kita dapati begitu banyak tugas yang menanti kita. Tugas itu sedang antri untuk diselesaikan. Masalahnya adalah siapakah gerangan yang akan menunaikannya. Apalagi jika ditinjau dari waktu yang tersedia untuk penyelesaiannya, maka ia memerlukan kader dakwah yang amat banyak.

Dalam situasi dan kondisi yang pelik dimana tugas dan waktu saling berlomba. Maka perilaku dai sejati untuk selalu siap dimobilisasi harus dikedepankan dari pada sikap gamang untuk menunaikannya. Karena kegamangan dalam melaksanakan tugas sering menghambat kemampuan untuk berpartisipasi aktif dalam menunaikan tugas mulia tersebut. Sikap gamang bagi kader dakwah merupakan batu sandungan yang harus segera disingkirkan. Dan yang perlu dihidupkan adalah sikap untuk selalu sanggup dimobilisasi dengan cepat dalam berbagai situasi. Selanjutnya menempati pos-pos yang lowong dengan sabar dan disiplin.

Pada jihad siyasi banyak pos-pos dakwah yang perlu diisi dengan segera. Karena waktu dan tugas yang perlu diselesaikan saling mendahului. Kader dakwah mesti tanggap dengan kemampuannya dan pos yang ada. Sehingga bisa segera mengistijabahi tugas-tugas mulia tersebut.

2. Bersabar berada di pos-pos dakwah (As Shabru fi ‘aba’i ad da’wah)

Berada pada pos dakwah terkadang banyak kendala dan cobaan. Baik yang menyenangkan maupun yang menyulitkan. Ini memang ujian dakwah yang diberikan Allah swt. pada kita untuk menilai sejauh mana tingkat kesabaran dan kesetiaan prajurit sejati pada tugasnya. Serta keberhasilannya dalam menjalankan amanah yang diberikan padanya.

Adakalanya berada pada pos-pos tugas membosankan bahkan menegangkan karena beban yang berat. Namun adakalanya juga menyenangkan karena fasilitas dan pendapatan yang menggiurkan. Tidak jarang kita jumpai orang yang minta dipindahkan ke pos lain karena tidak suka pada tugas yang harus dikerjakan sehari-hari. Ada pula yang minta terus berada pada posnya karena penghasilan dan fasilitas yang ia dapatkan. Akhirnya tugas itu dinilai dari kesenangan material.

Kaum muslimin pernah mengalami pelajaran pahit di medan Uhud. Ini mesti menjadi catatan mahal umat Islam. Tatkala pos-pos tugas itu dinilai dengan pandangan kesenangan material maka berakibat fatal bagi mereka. Sebab pos-pos yang harusnya dijaga dengan sabar dan disiplin, akhirnya ditinggalkan begitu saja. Kekosongan pos tugas itu menjadi peluang musuh untuk mengkocar-kacir barisan kaum muslimin hingga porak poranda. Dan kerugianlah yang diperolehnya.

Padahal Rasululah saw. mengingatkan mereka dengan komandonya: “Berjagalah di pos kalian ini dan lindungilah pasukan kita dari belakang. Bila kalian melihat pasukan kita berhasil mendesak dan menjarah musuh, janganlah sekali-kali kalian turut serta menjarah. Demikian pula andai kalian melihat pasukan kita banyak yang gugur, janganlah kalian bergerak membantu.” (HR. Bukhari)

Kasus Uhud menjadi ibroh (pelajaran) berharga bagi orang-orang beriman. Cukup sekali saja hal itu terjadi. Tidak boleh terulang lagi apalagi sampai berulang-ulang. Oleh karena itu bekal kesabaran dan keteguhan hati perlu terus dipasok jangan sampai berkurang sedikitpun. Panglima Saad bin Abi Waqqas r.a. menyerukan pasukan yang akan menghadapi tentara Persia dengan instruksinya: “Tempati pos kalian dan bersabarlah, karena kesabaran menjadi jalan kemenangan.”

Bagi kader dakwah ketika sudah menempati pos tugasnya, ia akan menjaganya dengan baik. Ia tidak akan tergiur sekejappun untuk meninggalkannya. Ia juga tidak tergoda oleh kesenangan material yang mengganggunya. Namun ia akan terus berada pada posnya dengan penuh kesabaran. Sebagaimana Sang Junjungan telah mengingatkan bahwa, “Prajurit yang baik adalah bila ditugaskan di bagian belakang, maka ia ada di tempatnya. Bila ia ditugaskan di barisan terdepan, maka ia pun ada di tempatnya.” (HR. An-Nasai).

3. Siap siaga menyongsong tugas (Al Istijabah lil amal)

Bila peluit sang komandan telah dibunyikan, berarti tugas-tugas harus segera diselesaikan. Kesiagaan menyongsong tugas menjadi indikasinya. Dari sana kadang menang dan kalah dapat diperkirakan. Mereka yang siap siaga artinya mereka siap menghadapi situasi apapun. Akan tetapi mereka yang lengah berarti mereka akan menjerumuskan dirinya pada jurang kebinasaan.

Kesiagaan kader dakwah indikasi kesiapannya untuk bertarung. Tentunya, siap di segala sektor. Kesiapan ruhiyah, fikriyah, jasadiyah dan nafsiyah. Dengan kesiapan yang demikian, maka dapat dipetakan kekuatan diri dan musuhnya. Dan seberapa besar kendala yang peluang kemenangan yang akan didapatinya.

Manakala kesiapan itu sudah begitu gamblang di hati kaum muslimin dan kader dakwah secara khusus, maka Allah swt. yang akan memback-upnya. Yang Maha Kuat dan Perkasalah yang akan menggerakkan seluruh potensi yang dimiliki kader dakwah apabila sudah digerakkan sejak awal.

“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mu’min, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Anfal: 17)

Yang menjadi persoalannya adalah apakah kader dakwah saat ini seluruhnya sudah siap siaga menyongsong tugas atau masih asyik termangu dengan kebingungannya. Semuanya kembali pada diri masing-masing. Akan tetapi yang perlu diingat adalah bila kader dakwah belum siap siaga menyongsong tugas jangan berharap hari esok lebih baik dari kemarin.

Generasi Qur’ani masa lalu menjadi umat terbaik bukan terletak pada keberadaan Rasul bersama mereka. Melainkan sikap mereka terhadap Qur’an dan sikap mereka secara keseluruhan yang siap siaga menerima tugas dan perintah. Bila saat itu disodorkan amanah tugas, maka saat itu pula mereka kerjakan tanpa reserve. Nah, kalau begitu sikap mereka itulah yang perlu kita ulang pada diri kita saat ini. Karena tugas dan instruksi komandan untuk jihad siyasi saat ini begitu sangat jelas.

4. Pantang Mundur (Adamul dubur)

Bila pertarungan sudah di hadapan, hanya satu sikap saja yang dilakukan, yaitu maju ke depan. Tidak boleh ada kata mundur atau balik ke belakang. Karena mundur artinya kekalahan. Dan kekalahan adalah kehinaan bagi kader dakwah di dunia dan akhirat. Allah swt. sudah menegaskan: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS. Al Anfal: 15 -16)

Bagi kader dakwah tugas mulia menjadi jalan mulus untuk masa depan. Ia tidak akan pernah berpikir balik ke belakang. Ia akan maju terus menyongsong masa depan. Begitulah kemenangan kaum muslimin di berbagai tempat, termasuk di Eropa. Panglima Thariq bin Ziyad menyampaikan pidatonya di hadapan para prajurit, “Wahai kaum muslimin di belakangmu lautan lepas, tidak ada lagi perahu yang akan membawa kalian ke negeri kampung halaman. Dan di depanmu musuh menghadang. Tidak ada pilihan lain untuk kemenangan kecuali maju ke hadapan songsong musuh dengan hati lapang. Sambut tugas dengan ringan.”

Menghadapi kenyataan ini, keberanianlah yang perlu kita perbesar. Berani karena benar dan berani karena membawa misi kesucian. Kader dakwah pemberani dalam melaksanakan tugas dapat menjadi pintu kegemilangan. Khususnya kegemilangan dakwah di negeri dambaan ini.

5. Tidak bermaksiat (Adamul Ma’shiyah)

Kemenangan dan kekalahan yang dialami kaum muslimin sangat dipengaruhi oleh perbuatan para prajuritnya. Kemaksiatankah atau ketaatan. Kemaksiatan dapat menjadi penyebab kekalahan dan ketaatan dapat membawa kemenangan.

Para pemimpin Islam selalu mewasiatkan untuk mewaspadai perilaku kemaksiatan kadernya. Karena kemaksiatan yang dilakukan satu orang dapat berakibat buruk bagi yang lainnya. Kemaksiatan yang dilakukan seorang kader dakwah harus lebih ditakuti daripada besarnya jumlah dan kekuatan musuh. Sebab maksiatan membuat Allah swt. menjauhi mereka. Dan tidak akan memberikan bala bantuan-Nya.

Catatan hitam dari kasus Uhud pun terjadi lantaran kemaksiatan sebagian prajurit muslim. Mereka tidak mematuhi perintah Rasulullah saw. karena tergiur dengan rampasan perang yang berserakan di depan mereka. Lalu mereka meninggalkan bukit Uhud dan mengumpulkan ghanimah tersebut. Akhirnya pos yang kosong itu segera diambil alih musuh sebagaimana yang diingatkan Allah swt.

“Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu; dan sesungguhnya Allah telah mema`afkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Iman: 152)

Cukuplah Uhud menjadi pelajaran besar bagi kita. Satu hal yang perlu dicamkan. Jangan pernah bermaksiat sedikitpun ketika pertarungan telah di hadapan. Kemaksiatan lobang jurang kebinasaan dan kehinaan dunia dan akhirat.

Manakala anashir-anashir kemenangan tersebut dapat terealisir di jiwa para kader dakwah, maka pertolongan dan bala bantuan yang dijanjikan Allah swt. akan tampak nyata di depan mata. Kemenangan tersebut menjadi hak bagi para pejuang (nashrullah wal futuhat). Sebagaimana kemenangan dan penaklukan Kota Mekkah, banyak musuh-musuh dakwah yang tunduk terhina di hari itu dan segera menjadi pengikut Nabi saw. dan kemuliaan orang beriman sebagai pakaian para pejuang yang dahulu telah memberikan investasinya pada dakwah ini. Dan kita telah memahaminya bahwa hal itu melalui proses yang panjang dan rumit. Wallahu ‘alam bishshawab.

MENIKMATI HUJAN

Thursday, November 18, 2010 0 Comments

MENIKMATI HUJAN

Denting hujan meramaikan kebisuan
Membuat jiwa terjaga dari lamunan panjangnya
Menyejukkan nurani dari kegersangan cinta
Yang tlah lama terbuai nestapa

Hujan, menawarkan kerinduan dari tiap tetesannya
Titik yang menjadi rintik
Pelan, kemudian menderas….
Menghujam bumi dengan laju yang pasti

Kurindukan dalam alunan rintiknya yang damai
Tak membawa angkara
Tak jua resahkan jiwa

Kunantikan hujan yang kan hapus kesedihan
Meski dalam setiap tetesannya
Ia masih mencari “apa itu arti cinta?”

Bait-bait hujan merenda harapan
Akan cinta dalam penantian
Bilakah ia kan datang selepas hujan mengering???


[GO Veteran, 6 Oktober 2010…”Menikmati Hujan” di saat para siswa tengah asyik mengerjakan test harian…^^]