MELATI [6]: “MANUSIA CAHAYA”
Keisya Avicenna
Friday, July 27, 2012
0 Comments
by Norma Keisya Avicenna on Thursday, July 26, 2012 at 5:13pm ·
Aku berpikir dan menyusun kembali rencana-rencana jangka pendek. Tak mungkin aku tidak bersyukur karena dalam banyak keterbatasan, Allah Swt memberiku banyak anugerah yang tak terkira. Salah satu yang paling kusyukuri, pada tahun 2011 lalu aku sudah menyelesaikan pendidikan S1-ku di Solo. Alhamdulillah, Sarjana Science sudah mengikuti nama belakangku. Yasmin Nur Aini, S.Si.
“Ingatkan engkau kepada embun pagi bersahaja yang menemanimu sebelum cahaya…” penggalan lagu Letto sebagai nada dering dari handphoneku membuyarkan konsentrasiku.
Kututup buku harian dan kuambil handphoneku.
”Siapa sih pagi-pagi telepon?” gerutuku melihat nomor tak dikenal.
“Hallo. Assalaamu’alaykum…”
“Wa’alaykumussalam. Yasmin, Apa kabar?” suara seseorang di seberang.
Suara perempuan.
“Alhamdulillah, baik. Hey, maaf, siapa ya?” jawabku kurang ramah.
“Waduh, Yasmin. Kamu tidak berubah, ya? Galak! Ini Asty, ingat tidak?” perempuan di seberang akhirnya mengaku.
Betapa terperanjatnya aku.
“O, Asty. Wow, surprise di pagi hari nih! Apa kabar? Kamu kemana aja? Dah lama kita lost contact, aku bingung mau tanya siapa lagi,” berondongku tak sabar.
Asty tertawa terkikik.
“Syukur deh kalau kamu terkejut. Aku tidak sengaja menemukan nomormu di buku harianku, ternyata kamu masih setia dengan nomor ini. Alhamdulillah, kabarku baik. Aku terdampar di Pulau Borneo, ikut suami,” jawabnya.
Aku yang sudah kaget lebih kaget lagi.
“Apa? Suami? Kamu sudah nikah? Jangan-jangan aku juga sudah punya keponakan? Tega banget sih kamu tidak memberi kabar?“
Alisku sedikit terangkat. Aku semakin surprise setelah mengetahui banyak hal yang sudah jauh berbeda pada kehidupan sahabat terbaikku selama 3 tahun di SMA. Setidaknya kami memiliki kedekatan luar biasa, tak hanya bersahabat, kami juga memiliki tanggal lahir yang sama.
“Iya, tetapi kamu tidak usah terlalu heboh gitu. Ceritanya panjang, Yasmin. Kapan kita bisa ketemu? Aku sekarang lagi di Jakarta. Kata temen, kamu sekarang juga kerja di Jakarta, ya?”
Ucapan Asty membuatku semakin heboh, “Ah, yang benar? Kamu lagi di Jakarta? Oke-oke. Kita harus ketemu. Nanti SMS-an saja, ya!”
Luar biasa, akhirnya setelah hampir 5 tahun tidak bertemu, kerinduan ini akan terobati. Banyak kejutan untukku dari-Mu. Terima kasih, ya Rabb.
Aku segera beranjak dari tempatku duduk kemudian bersiap berangkat kerja. Ada semangat yang membuncah di dalam hati, semangat yang berbeda dari hari-hari sebelumnya.
***
Siang ini banyak naskah yang harus kuseleksi karena tiga hari lagi rapat redaksi. Pekerjaan menjadi editor di majalah yang menghadirkan informasi, hasil riset, segala hal yang berkaitan tentang flora dan fauna ini memang membutuhkan tenaga ekstra, tetapi aku sangat menikmatinya. Meski sedikit melenceng dari basic keilmuanku waktu kuliah namun aku tetap bisa mengeksplorasi ilmu science-ku dalam kemasan yang berbeda. Tidak melulu berkutat di laboratorium, aku juga merambah dunia jurnalistik.
Saat jam istirahat, handphoneku bergetar.
“Sore ini bs ktmu d Halte Busway Harmoni?” SMS itu datang dari Asty.
Segera aku membalas, “Insya Allah. Hr ini ak slesai ngantor jam 16.30. Paling cpt smp Harmoni stngah jam. Ydh, nnti ketemuan d sana.”
Aku semakin semangat untuk segera menyelesaikan target pekerjaanku hari ini.
***
18.30 WIB di kontrakan Yasmin
Aku dan Asty melanjutkan kembali episode mengobati kerinduan di antara kami. Lima tahun bukan waktu yang singkat, betapa heboh pertemuan kami.
Dan pembicaraan berubah serius, “Yasmin, sebenarnya tujuanku ke Jakarta untuk berobat, lebih tepatnya melakukan pelepasan.”
Asty menatapku dengan roman muka berkerut. Ada gurat kesedihan di wajahnya.
Aku kaget sekali, “Hah, kamu kenapa? Pelepasan? Apa maksudmu?” alisku mencuat.
Wajah Asty berubah sendu, seolah tengah dilanda kegalauan yang maha hebat. Aku tenggelam dalam putaran arus kehidupan yang dilanda sahabatku itu.
“Perjalanan hidupku adalah lakon yang sulit ditebak, pernah menjadi sahabatmu, lalu pergi ke Jakarta mengikuti ayahku, di kota ini aku hamil yang tak kuketahui siapa ayah dari bayiku.”
“Aku pernah menjadi pelacur, melayani jumlah yang tak terhitung. Aku ditolong seorang lelaki yang mengentasku dari lembah hitam. Ia membawaku merintis hidup baru di Kalimantan. Sekarang, rahimku digerogoti kanker dan harus berobat di Jakarta.”
Lidahku kelu, tak menyangka dengan apa yang terjadi pada Asty.
***
“Ingatkan engkau kepada embun pagi bersahaja yang menemanimu sebelum cahaya…” nada deringku memanggil di saat aku tenggelam dalam mimpi.
Dari nomor tak dikenal.
“Hallo, Assalaamu’alaykum,” jawabku.
“Wa’alaykumussalam. Mohon maaf, saya harus menyampaikan kabar penting, Yasmin. Asty meninggal dunia,” jawab suara seorang laki-laki di seberang, aku mengenalinya sebagai suami Asty.
Aku terbelalak, kantukku langsung hilang.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, kemarin kami masih SMS-an dan Asty baik-baik saja. Mas Andre sekarang di mana?”
“Di Rumah Sakit Harapan,” kata laki-laki itu.
“Saya segera ke sana.”
Di rumah sakit kudapati Asty sudah tidak bernapas, amat konyol ketika aku mengguncang tangannya berusaha membangunkannya.
***
Mataku masih sembab meski telah tiga jam yang lalu aku mengantarkannya ke tempat peristirahatan yang terakhir.
“Yasmin, sebelum meninggal Asty menitipkan amplop ini kepadaku,” kata Mas Andre, sedikit mengagetkanku.
Dengan bergegas kubuka amplop itu, dan segera kukenali jenis tulisannya. Tulisan Asty.
Selamat ulang tahun, Yasmin!
“Kebahagiaan adalah saat kita mau memberi dan menjadi MANUSIA CAHAYA:
bermanfaat bagi orang lain.”
-Asty-
Tak terasa meneteslah air mataku saat menatap foto yang aku temukan di dalam amplop itu. Foto terakhir saat kita berdua. Aku berkata kepada foto itu seolah aku sedang berhadapan dengannya, ”Ginjalmu masih berfungsi dengan baik di dalam tubuhku, Ast. Terima kasih atas pengorbananmu kepadaku tujuh tahun yang lalu…Selamat ulang tahun, Asty!”
[Keisya Avicenna, lembar keenam Ramadhan. Sebuah cerpen lama yang detik ini membuatku merindukan “Asty”]